Dilihat dari sisi economic welfare, adanya bea anti-dumping mengurangi surplus konsumen dari harga pasar yang sebelumnya lebih murah, dan di saat bersamaan mengurangi kerugian yang diterima oleh produsen domestik. Pada Gambar 2, dapat dilihat bahwa ketika diterapkan bea anti-dumping, harga yang diterima pasar domestik pasca praktik dumping (Pdumping) akan kembali ke tingkat harga sebelum dumping (Panti-dumping).
Seperti yang terdapat pada Gambar 3, adanya kenaikan harga tersebut akan mengurangi aggregate welfare, di mana koreksi akan distributive effect yang berkaitan dengan adanya dumping menyebabkan welfare setelah kebijakan anti-dumping lebih kecil dibandingkan sebelumnya (Fondapol, 2020).
Meskipun begitu, lain hal apabila kebijakan anti-dumping diterapkan ketika negara pengekspor telah melakukan subsidi ekspor. Subsidi ekspor yang diterapkan akan mengurangi welfare produsen di negara pengimpor, sehingga dampak yang dirasakan adalah adanya pengurangan produksi domestik, hancurnya lapangan pekerjaan, dan potensi ditutupnya lokasi-lokasi produksi (Fondapol, 2020). Dampak tersebut sudah dapat dilihat pada industri tekstil Indonesia saat ini. Apabila hal tersebut telah terjadi, adanya kebijakan anti-subsidi---layaknya kebijakan anti-dumping---akan memberikan efek penyeimbang yang memaksa harga pasar, baik di negara pengekspor maupun pengimpor untuk konvergen kembali ke tingkat harga yang berlaku di rezim perdagangan bebas, sehingga baik surplus konsumen maupun produsen tidak ada yang berkurang. Dapat dilihat pada Gambar 4, kebijakan anti-dumping tersebut justru akan meningkatkan welfare bagi negara pengimpor, yang kini mendapatkan pendapatan negara dari bea masuk yang diterapkan.
Pada kenyataannya, diterapkannya BMAD belum tentu menjadi solusi yang sempurna untuk masalah impor TPT. Pasalnya, banyak dari barang impor yang mengalir masuk merupakan impor ilegal, sehingga tidak akan terjawab oleh kebijakan BMTP dan BMAD yang impornya melalui jalur resmi. Asosiasi Produsen Serta dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) mencatat bahwa pada tahun 2022, Indonesia kehilangan pendapatan hingga 19 triliun rupiah akibat produk TPT---termasuk pakaian bekas---ilegal yang berjumlah 320.000 ton. Jumlah tersebut lebih banyak dibandingkan impor pakaian legal yang berjumlah 250.000 ton (Antara, 2024).
Sementara itu, berdasarkan data Trademap yang diolah oleh Kementerian Koperasi dan UKM, potensi nilai produk tekstil China ke Indonesia yang tidak tercatat bahkan mencapai angka 29,5 triliun rupiah pada 2022 dan 29,7 triliun rupiah pada 2021. Hal ini dilihat dari adanya ketidaksesuaian antara nilai ekspor China ke Indonesia dan nilai angka impor Indonesia dari China.
Bila demikian, masihkah ada harapan bagi industri tekstil Tanah Air?
Tudingan Sunset Industry: Akankah Sang Primadona Bangkit Kembali?
Diterjang dari segala sisi, problematika bak benang kusut yang sulit untuk diuraikan telah mengguncang kinerja industri TPT Indonesia. Narasi sunset industry bertebaran, di mana industri TPT yang sudah terkategorikan sebagai industri petahana, dinilai telah mengalami penurunan dan tidak mampu melakukan inovasi untuk beradaptasi. Meski begitu, untuk mengatakan bahwa salah satu industri yang merupakan salah satu penopang terbesar ekspor Indonesia ini akan mati tampaknya adalah ramalan yang pesimis.