Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tapera: Cita-Cita yang Terlukis di Langit atau Beban yang Menghimpit?

14 Juni 2024   20:15 Diperbarui: 14 Juni 2024   20:15 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1. Pengeluaran per orang per bulan menurut kelas. Sumber: Kompas.id

Menyelesaikan Keterjangkauan Rumah?

Harapan akan rumah masa depan dan terselesaikannya backlog perumahan tampaknya banyak menghadapi rintangan. Rintangan ini mencakup kenaikan harga yang pasti akan terjadi, dampak dari penawaran rumah yang relatif tetap tak berubah. Seperti mimpi yang terhalang kabut tebal, impian memiliki rumah terasa semakin jauh dari jangkauan.

Grafik 2. Kurva Keseimbangan Rumah. Sumber: Economicsonline
Grafik 2. Kurva Keseimbangan Rumah. Sumber: Economicsonline

Kebutuhan perumahan masyarakat Indonesia tumbuh bagai deret ukur, sementara penawaran rumah meningkat layaknya deret hitung, hal ini tercermin dari kurva penawaran yang bersifat inelastis, sedangkan kurva permintaan bersifat elastis. Indonesia emas pada tahun 2045 akan di dominasi oleh tenaga kerja usia produktif, kemungkinan besar akan terjadi job-residence spatial mismatch akibat dari tenaga kerja yang relatif memilih tinggal di area yang terhubung dengan pusat kota, akibat upah yang diberikan lebih baik dari pada daerah suburban. Urbanisasi tenaga kerja ke kota tentunya akan menyebabkan peningkatan permintaan untuk rumah, secara kurva akan meningkatkan rata-rata harga rumah dan angka backlog perumahan.

Kenaikan harga properti, bisakah kita menyeimbanginya? Belum lagi bayangan inflasi yang terus menghantui, harga perumahan pun terus melambung, menorehkan jarak yang kian lebar antara harapan dan kenyataan. Permasalahan kian meruncing ketika fungsi TAPERA yang hanya menghimpun dana tak mampu memastikan ketersediaan rumah yang layak dengan pusat kota, ditambah dengan kondisi sekarang, industri perumahan diprivatisasi, harga perumahan melambung tinggi. Tercatat, meski kebijakan seperti Bapertarum-PNS telah hadir untuk menyelesaikan masalah perumahan, namun realitanya masih ada sekitar dua juta pegawai negeri sipil di Indonesia yang belum memiliki tempat tinggal mereka sendiri (CNBC, 2023). Kebijakan ini seakan menari di permukaan masalah, tanpa menyentuh akar permasalahan backlog perumahan.

Selain itu, kebermanfaatan kebijakan TAPERA ini tidak bersifat universal. Manfaat TAPERA adalah memperoleh KPR rendah bagi masyarakat berpenghasilan rendah, kebijakan ini bersifat redistributif, mengalir dari penghasilan menengah dan tinggi ke penghasilan rendah. Seperti beban yang tak terduga, kebijakan ini dapat menghimpit kalangan kelas menengah jika mereka dipaksa untuk membayar iuran TAPERA, menambah beban pada pundak yang sudah lelah. Mereka (kelas menengah) hanya dapat menikmati dana dan imbal hasil iuran ketika kepesertaannya berakhir. Kebijakan ini terasa tumpang tindih antara layanan pemerintah lainnya. Program TAPERA yang bertujuan menyalurkan rumah terjangkau bagi masyarakat berpendapatan rendah semakin membingungkan masyarakat kelas menengah. Di satu sisi, ada program serupa, Jaminan Hari Tua (JHT), yang juga menawarkan KPR, menciptakan ambiguitas dalam kebijakan yang diterapkan, kebijakan ini justru menambah beban tambahan iuran para pekerja untuk kalangan non-berpenghasilan rendah.

Polemik Investasi Publik Terulang Kembali?

Bayang-bayang kelam kasus penyalahgunaan investasi publik seperti Asabri dan Jiwasraya menciptakan skeptisisme di kalangan publik, yang memandang Tapera tidak berbeda dengan Asabri dan Jiwasraya yang penuh masalah. Tercatat BPK menemukan bahwa BP Tapera memiliki tunggakan terhadap 125.690 ASN Pensiun dan Ahli Waris (Kompas.id, 2024). Hal ini ditengarai oleh sistem birokrasi, sistem birokrasi menjadi sorotan, apakah mereka siap menjalankan kebijakan dengan cakupan lebih luas, meliputi sektor non-formal? Pertanyaan ini menggantung di udara, sementara ketidakpastian membayangi.

Jika akumulasi kejadian ini dan track record kasus korupsi menyebabkan masyarakat distrust terlebih dahulu dan menciptakan skeptisisme di kalangan publik. Distrust akan kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pemerintah menjadi peringatan, bagaimana kebijakan yang seharusnya diambil sebagai solusi untuk menyelesaikan masalah backlog rumah.

Dalam menjalankan kebijakan ini, perlu ada trust oleh masyarakat akan kebijakan publik. Kebijakan ini merupakan upaya redistributif dari kalangan non-kelas bawah. Kebijaksanaan para pemangku kepentingan sangat dinantikan untuk menjalankan amanah ini dengan penuh tanggung jawab. Transparansi menjadi landasan penting untuk memastikan kebijakan ini mencakup seluruh tenaga kerja, tidak hanya aparatur sipil negara (ASN), tetapi juga pegawai swasta dan pekerja lepas. Hal ini untuk menghindari terciptanya distrust terhadap kebijakan publik.

Tanam Paksa Menjadi Tabung Paksa, Berkaca Pada Filipina

Melihat secara objektif, program Tapera ini bisa kita katakan sebagai compulsory saving yang cukup baik untuk negara-negara berkembang yang memiliki masalah dalam pengelolaan keuangan, negara-negara berkembang relatif cenderung memiliki literasi finansial yang kurang dibandingkan negara maju. Bila kita merujuk pada Niebyl (1943), compulsory saving berguna untuk mencegah ketidakstabilan ekonomi, mengurangi tekanan inflasi, dan mempromosikan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Hal ini berimplikasi pada, negara memaksa individu untuk menyisihkan sebagian pendapatan mereka, program tabungan wajib dapat meningkatkan tingkat tabungan nasional. Penemuan ini linear dengan teori Solow-Swan, tingkat tabungan yang lebih tinggi dapat mengarah pada tingkat investasi yang lebih tinggi, yang pada akhirnya dapat meningkatkan output dan pertumbuhan ekonomi. Peningkatan tabungan ini bisa menjadi sumber dana yang stabil untuk investasi publik dan swasta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun