Jika kita berbicara mengenai potensi perdagangan karbon di Indonesia, jawabannya sangatlah besar. Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia mengestimasi bahwa hutan Indonesia mampu menyerap 5.5 Giga Ton karbondioksida, hampir 10% kredit karbon secara keseluruhan berasal dari Indonesia.Â
-    Kalimantan Forests and Climate Partnership (KFCP)
KFCP diluncurkan pada tahun 2007 sebagai perjanjian hutan dan iklim bilateral antara pemerintah Indonesia dan Australia. Proyek ini dikelola bersama oleh AusAID dan Departemen Perubahan Iklim dan Efisiensi Energi (DCCEE) Australia, dan melibatkan beberapa LSM termasuk Wetlands International, Borneo Orangutan Survival Foundation, CARE, dan WWF. Di perjanjian ini Australia menjanjikan dana sebesar AUS$ 47 juta untuk KFCP. Bank Dunia seharusnya bertindak sebagai perantara keuangan untuk alokasi AUS$ 8,4 juta dari dana ini, dengan tugas "memberikan pembayaran berbasis kinerja kepada penerima manfaat." KFCP bertujuan untuk melindungi 70.000 hektar hutan gambut, mengalirkan kembali 200.000 hektar lahan gambut yang telah dikeringkan, dan menanam 100 juta pohon selama periode 30 tahun di Kalimantan Tengah, Indonesia.Â
Masalah mulai muncul tidak lama setelah proyek KFCP dimulai pada tahun 2007. Secara khusus, proyek ini menyebabkan konflik lahan di antara masyarakat lokal (suku Ngaju Dayak) yang seharusnya menjadi penerima manfaatnya. Selain itu, pendanaan yang terus mengalir tampak tidak memiliki hasil dan proyek ini terkesan stagnan, alhasil penanaman pohon di wilayah konservasi masih jauh dibawah target. Hanya 50.000 pohon yang berhasil ditanam, dari target awal 100 juta pohon.Â
Pada tahun 2013, jurnalis Anett Keller mengungkap realita REDD+ di Indonesia dalam koran harian di Jerman, dia mengatakan bahwa politisi-politisi datang bergantian dan menyampaikan optimismenya terkait REDD+ di depan kamera wartawan. Namun, disaat yang bersamaan para penduduk hutan setempat merasakan hal yang berbeda. Mereka bahkan tidak mengetahui apa yang dilakukan orang-orang tersebut dirumah mereka. Yang cukup ironis ketika anggota dewan Australia, Christine Milne mengatakan "This project has been a total failure."Â
- Â Â Â Katingan Mentaya Project
Katingan Mentaya Project merupakan proyek REDD+ terbesar di dunia, dengan donatur yang juga tidak main-main, Shell merupakan contoh dari donatur yang notabene merupakan perusahaan ekstraksi fosil. Masalah lainnya yang timbul, ketika masyarakat setempat mengalami konflik lahan dengan pihak pengelola Katingan Mentaya Project. Namun, yang lebih disesalkan adalah hutan konservasi ini seringkali mengalami kebakaran, yang terjadi semata-mata bukan karena fenomena alam, melainkan karena penanaman sawit di sekitar hutan konservasi yang menyerap air dari hutan dan menyebabkan kekeringan. Akan tetapi, Kementerian LHK tidak bertindak tegas terhadap regulasi penanaman sawit di sekitar area konservasi, bahkan memapas separuh dari lahan konservasi untuk perusahaan kelapa sawit, yang hasilnya didistribusikan kepada perusahaan multinasional seperti Unilever dan Nestle. Ketika perusahaan seperti Shell mencoba untuk melakukan upaya "cuci dosa" pada saat yang bersamaan Unilever dan Nestle merusak ekosistem di wilayah konservasi tersebut.
Kegagalan yang Dipertahankan
Pemerintah Australia meyakini stagnasi dari KFCP diakibatkan oleh masalah kepemilikan lahan. Namun, yang absen dari pemikiran Australia tentang REDD+ di Indonesia adalah adanya campur tangan korupsi, penebangan illegal, lemahnya tata kelola hukum, dan timbulnya peran raksasa-raksasa kelapa sawit dalam mengganggu berjalannya REDD+.
Enrici dan Hubacek (2018) menemukan bahwa laju deforestasi di Indonesia tidak mengalami penurunan ataupun konstan meskipun REDD+ telah dilaksanakan dari tahun 2007. Hal ini dikarenakan kurangnya keterlibatan masyarakat yang menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat lokal terhadap pengembang proyek, akibatnya praktik penebangan ilegal dan pembukaan lahan untuk keuntungan pribadi tetap berlangsung dan berkontribusi pada penurunan jumlah aset modal alam. Dalam banyak kasus, masyarakat tidak pernah diminta apakah mereka menyetujui proyek REDD+ dan informasi yang diberikan bersifat bias atau tidak lengkap. Masyarakat lokal yang dijanjikan berbagai hal, seperti bantuan dana berbasis kinerja, seringkali tidak memperoleh realisasi atas janji-janji tersebut. Kumpulan dari hal-hal inilah yang menyebabkan masyarakat lokal enggan untuk berkorporasi.
Bahkan, dalam beberapa kasus justeru masyarakat lokal dituduh menjadi penyebab deforestasi, khususnya bagi petani kecil yang melaksanakan praktik pembukaan lahan. Tentunya praktik tersebut tidak dapat dibenarkan, tetapi yang sering dilupakan,  penyebab utama dari deforestasi adalah ekstraksi minyak, batu bara, pertambangan, infrastruktur, bendungan skala besar, penebangan industri, dan perkebunan sawit  yang bahkan tidak disebutkan atau tidak ditangani dalam inisiatif REDD+.  Padahal, REDD+ tidak akan berhasil jika masalah-masalah ini tidak bisa diatasi.Â