Dalam suatu kelas dengan Chatib Basri, saya berkesempatan untuk bertanya mengenai carbon trade dan implikasi dari REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) di Indonesia. Jawaban yang diberikannya cukup lugas dan jelas. Mengenai carbon trade, secara garis besar bahwa dalam konteks global masih sulit untuk dijalankan karena nilai ekonomi karbon dari setiap negara berbeda-beda. Di skala nasional, pemerintah sedang melakukan konstruksi kebijakan terkait NEK (Nilai Ekonomi Karbon), mekanisme perdagangan, serta pajak karbon. Namun, yang menarik perhatian saya adalah jawaban mengenai REDD+, "tidak jalan" ucap mantan menteri tersebut dengan tegas.
REDD+ 101
23 tahun sejak Pertemuan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadopsi Konvensi Kerangka Kerja tentang Perubahan Iklim pada tahun 1992, dan 18 tahun telah berlalu sejak sebagian besar negara industri menandatangani Protokol Kyoto pada tahun 1997. Namun, emisi yang disebabkan oleh konsumsi bahan bakar fosil masih terus meningkat, termasuk di negara-negara industri yang seharusnya memiliki tanggung jawab utama atas peningkatan emisi di atmosfer sejak menggerakkan 'revolusi industri'. Oleh karena itu, dikeluarkan berbagai mekanisme terkait dengan perdagangan karbon.Â
Secara umum, terdapat 2 mekanisme utama yang digunakan, yaitu cap-and-trade dan offset. Melalui sistem cap-and-trade terdapat kesepakatan batas atas (cap) bagi perusahaan dalam menghasilkan emisi karbon, apabila perusahaan menghasilkan karbon lebih dari batas yang sudah ditetapkan tersebut, maka perusahaan harus melakukan pembelian karbon dari perusahaan lain yang memiliki kuota karbon lebih.Â
Namun, offset merupakan sistem di bawah skema Clean Development Mechanism (CDM), yang menyatakan apabila perusahaan menghasilkan karbon lebih dari yang seharusnya, maka perusahaan tersebut wajib membuat proyek yang mendukung pembangunan ekosistem berkelanjutan yang ramah lingkungan khususnya di negara berkembang, misalnya membangun pembangkit listrik tenaga surya di India.
Bulan Desember 2015 di Paris, Prancis, pada pertemuan tahunan Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang iklim, pemerintah diharapkan untuk mengadopsi perjanjian iklim internasional yang memiliki dampak lebih signifikan. Peran hutan dalam perjanjian ini telah menjadi topik kontroversial sejak adanya usulan mengenai REDD+.Â
REDD disertai  tanda plus (+) melambangkan kegiatan tambahan terkait hutan yang melindungi iklim, yaitu pengelolaan hutan berkelanjutan dan konservasi serta peningkatan saham karbon. REDD+ pertama kali dibahas dalam pertemuan iklim PBB tahun 2007 di Bali, Indonesia dan implementasinya berjalan dibawah UNFCCC (United Nation Framework Convention on Climate Change). Pada dasarnya, REDD+ merupakan suatu skema yang dibuat bagi korporasi untuk menginvestasikan dana bagi kepentingan konservasi hutan. Nantinya 'produk' yang dihasilkan oleh proyek-proyek ini berupa kredit karbon yang akan dijual kepada industri penghasil emisi karbon.Â
UNFCCC menetapkan 3 tahapan dalam menjalankan REDD+. Diawal, dilakukan pengembangan strategi nasional untuk mempersiapkan infrastruktur proyek. Selanjutnya, pemerintah bersama pihak pelaksana melakukan  pembangunan dan transfer teknologi, serta proyek demonstrasi. Terakhir, setiap tindakan yang sudah dilakukan diukur, dilaporkan, dan diverifikasi untuk memperoleh kredit karbon.
Ratusan juta euro telah digelontorkan sejak tahun 2007 bersamaan dengan berjalannya perbincangan PBB mengenai REDD+. Dampak dari proyek-proyek REDD+ di seluruh dunia dan banyak pro-kontra yang dituai dan mempengaruhi ribuan orang. Bagi yang menolak, suara mereka konon diredam oleh para elit yang tegas meyakini bahwa REDD+ tidak hanya akan melindungi hutan-hutan yang tersisa dan mengurangi dampak perubahan iklim, tetapi juga akan menjadi peluang bisnis yang menguntungkan.Â
Keyakinan ini berakar pada struktur dan kepentingan yang sama, yaitu memungkinkan "pencemar" untuk menghindari tindakan nyata dalam mengurangi emisi dan menghasilkan privatisasi gas rumah kaca melalui perdagangan karbon. Secara singkat REDD+ dapat menjadi sarana "cuci dosa" para pemangku kepentingan industri. Lantas, apa yang sebenarnya terjadi di lapangan?Â
Realita REDD+ di Indonesia: Gagal Total?
Jika kita berbicara mengenai potensi perdagangan karbon di Indonesia, jawabannya sangatlah besar. Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia mengestimasi bahwa hutan Indonesia mampu menyerap 5.5 Giga Ton karbondioksida, hampir 10% kredit karbon secara keseluruhan berasal dari Indonesia.Â
-    Kalimantan Forests and Climate Partnership (KFCP)
KFCP diluncurkan pada tahun 2007 sebagai perjanjian hutan dan iklim bilateral antara pemerintah Indonesia dan Australia. Proyek ini dikelola bersama oleh AusAID dan Departemen Perubahan Iklim dan Efisiensi Energi (DCCEE) Australia, dan melibatkan beberapa LSM termasuk Wetlands International, Borneo Orangutan Survival Foundation, CARE, dan WWF. Di perjanjian ini Australia menjanjikan dana sebesar AUS$ 47 juta untuk KFCP. Bank Dunia seharusnya bertindak sebagai perantara keuangan untuk alokasi AUS$ 8,4 juta dari dana ini, dengan tugas "memberikan pembayaran berbasis kinerja kepada penerima manfaat." KFCP bertujuan untuk melindungi 70.000 hektar hutan gambut, mengalirkan kembali 200.000 hektar lahan gambut yang telah dikeringkan, dan menanam 100 juta pohon selama periode 30 tahun di Kalimantan Tengah, Indonesia.Â
Masalah mulai muncul tidak lama setelah proyek KFCP dimulai pada tahun 2007. Secara khusus, proyek ini menyebabkan konflik lahan di antara masyarakat lokal (suku Ngaju Dayak) yang seharusnya menjadi penerima manfaatnya. Selain itu, pendanaan yang terus mengalir tampak tidak memiliki hasil dan proyek ini terkesan stagnan, alhasil penanaman pohon di wilayah konservasi masih jauh dibawah target. Hanya 50.000 pohon yang berhasil ditanam, dari target awal 100 juta pohon.Â
Pada tahun 2013, jurnalis Anett Keller mengungkap realita REDD+ di Indonesia dalam koran harian di Jerman, dia mengatakan bahwa politisi-politisi datang bergantian dan menyampaikan optimismenya terkait REDD+ di depan kamera wartawan. Namun, disaat yang bersamaan para penduduk hutan setempat merasakan hal yang berbeda. Mereka bahkan tidak mengetahui apa yang dilakukan orang-orang tersebut dirumah mereka. Yang cukup ironis ketika anggota dewan Australia, Christine Milne mengatakan "This project has been a total failure."Â
- Â Â Â Katingan Mentaya Project
Katingan Mentaya Project merupakan proyek REDD+ terbesar di dunia, dengan donatur yang juga tidak main-main, Shell merupakan contoh dari donatur yang notabene merupakan perusahaan ekstraksi fosil. Masalah lainnya yang timbul, ketika masyarakat setempat mengalami konflik lahan dengan pihak pengelola Katingan Mentaya Project. Namun, yang lebih disesalkan adalah hutan konservasi ini seringkali mengalami kebakaran, yang terjadi semata-mata bukan karena fenomena alam, melainkan karena penanaman sawit di sekitar hutan konservasi yang menyerap air dari hutan dan menyebabkan kekeringan. Akan tetapi, Kementerian LHK tidak bertindak tegas terhadap regulasi penanaman sawit di sekitar area konservasi, bahkan memapas separuh dari lahan konservasi untuk perusahaan kelapa sawit, yang hasilnya didistribusikan kepada perusahaan multinasional seperti Unilever dan Nestle. Ketika perusahaan seperti Shell mencoba untuk melakukan upaya "cuci dosa" pada saat yang bersamaan Unilever dan Nestle merusak ekosistem di wilayah konservasi tersebut.
Kegagalan yang Dipertahankan
Pemerintah Australia meyakini stagnasi dari KFCP diakibatkan oleh masalah kepemilikan lahan. Namun, yang absen dari pemikiran Australia tentang REDD+ di Indonesia adalah adanya campur tangan korupsi, penebangan illegal, lemahnya tata kelola hukum, dan timbulnya peran raksasa-raksasa kelapa sawit dalam mengganggu berjalannya REDD+.
Enrici dan Hubacek (2018) menemukan bahwa laju deforestasi di Indonesia tidak mengalami penurunan ataupun konstan meskipun REDD+ telah dilaksanakan dari tahun 2007. Hal ini dikarenakan kurangnya keterlibatan masyarakat yang menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat lokal terhadap pengembang proyek, akibatnya praktik penebangan ilegal dan pembukaan lahan untuk keuntungan pribadi tetap berlangsung dan berkontribusi pada penurunan jumlah aset modal alam. Dalam banyak kasus, masyarakat tidak pernah diminta apakah mereka menyetujui proyek REDD+ dan informasi yang diberikan bersifat bias atau tidak lengkap. Masyarakat lokal yang dijanjikan berbagai hal, seperti bantuan dana berbasis kinerja, seringkali tidak memperoleh realisasi atas janji-janji tersebut. Kumpulan dari hal-hal inilah yang menyebabkan masyarakat lokal enggan untuk berkorporasi.
Bahkan, dalam beberapa kasus justeru masyarakat lokal dituduh menjadi penyebab deforestasi, khususnya bagi petani kecil yang melaksanakan praktik pembukaan lahan. Tentunya praktik tersebut tidak dapat dibenarkan, tetapi yang sering dilupakan,  penyebab utama dari deforestasi adalah ekstraksi minyak, batu bara, pertambangan, infrastruktur, bendungan skala besar, penebangan industri, dan perkebunan sawit  yang bahkan tidak disebutkan atau tidak ditangani dalam inisiatif REDD+.  Padahal, REDD+ tidak akan berhasil jika masalah-masalah ini tidak bisa diatasi.Â
Inisiatif Baik, Implementasi Salah
Alasan hutan-hutan banyak dirusak banyak kaitanya dengan eksternalitas. Ini adalah konsep ekonomi yang sederhana, dimana kita seringkali tidak memperhitungkan dampak negatif yang dihasilkan dari kegiatan ekonomi kita. Bila kita memperhitungkannya dengan benar, kemungkinan besar kita tidak akan pernah memulai suatu aktivitas ekonomi. Jika digambarkan dengan sederhana, ketika alam dirusak/dicemari, banyak penyakit yang timbul, dan tentunya masyarakat harus melakukan pengeluaran tambahan untuk mengatasi permasalahan kesehatan dan hal tersebut akan meningkatkan pemasukan negara. Dampak negatif yang dihasilkan oleh pencemaran alam ternyata secara hitungan tertulis menghasilkan keuntungan. Market failure akan terjadi jika eksternalitas tidak diperhitungkan. Ketika ekonomi mengalami pertumbuhan, disaat yang bersamaan alam menderita.
Inisiatif REDD+ merupakan suatu kerangka yang baik jika dapat diimplementasikan dengan benar, ketika semua pemangku kepentingan dapat memperhitungkan segala aspek dari segi kemanusiaan, lingkungan, dan bukan hanya mengenai untung-rugi. REDD+ dapat menjadi sarana perlindungan hutan dari deforestasi dan mengurangi emisi dengan terserapnya CO2. Banyak pihak yang mendukung REDD+ karena perhitungan opportunity cost yang lebih rendah untuk melakukan deforestasi dibandingkan menurunkan penggunaan bahan bakar fosil sebagai upaya reduksi emisi. Hal yang harus digarisbawahi adalah sekma REDD+ tidak dapat menjadi akhir atau "gong" dari upaya reduksi emisi, industri-industri di seluruh dunia tetap harus mengimplementasikan upaya-upaya pengurangan bahan bakar fosil. Pada akhirnya tetap harus ada harga yang dibayar untuk mempertahankan keberlanjutan bumi.
Dalam penelitian di Brazil, REDD+ berhasil menunjukan hasil yang baik dalam mereduksi deforestasi, bahkan hingga 50%. Selain itu, proyek REDD+ di Kenya dikatakan meningkatkan proteksi atas hak kepemilikan tanah warga lokal dan hal ini menimbulkan kemauan masyarakat lokal untuk melindungi hutan. Berdasarkan data yang diperoleh dari proyek REDD+ di Peru, peneliti menemukan adanya korelasi antara transparansi dan akuntabilitas penyokong proyek terhadap keberhasilan REDD+ di daerah tersebut. Kunci dari kesuksesan REDD+ adalah ketika pelaksana program REDD+ mengerti bahwa hutan bukanlah bahan objektifikasi untuk meraup keuntungan, ketika pohon tidak dikonversi menjadi sebatas kredit karbon, dan dimana seharusnya mereka menyadari ada banyak kehidupan yang terdapat di dalamnya. Oleh karena itu, masyarakat lokal kawasan hutan harus turut menjadi key stakeholders, turut mengawasi jalannya program, serta mendapatkan manfaat.Â
Kita mengerti kondisi dunia saat ini yang sudah sangat tercemar dan masa depan yang akan terjadi apabila kita tidak berbuat apa-apa. Namun, kita dapat memilih masa depan yang lebih baik dengan merubah cara kerja dalam melangsukan suatu model perekonomian, termasuk REDD+. Jangan sampai, REDD+ hanya menjadi alat bagi negara-negara maju untuk membenarkan tindakan pencemaran yang mereka lakukan dan masyarakat lokal  menjadi korban atas kapitalisasi hutan.
Pembicaraan singkat saya dengan Pak Chatib diakhiri dengan kalimat "it's better to start than never". Saya rasa hal ini memberikan suatu harapan bagi perekonomian dalam kerangka keberlanjutan. Apa yang merusak harus dicabut hingga akarnya dan apa yang memberikan harapan ditanam benihnya.Â
Diulas oleh: Jocelyn Emmanuella Mok| Ilmu Ekonomi 2023| Trainee Divisi Kajian Kanopi FEB UI 2023/2024
 Referensi
Bulletin 267 - Oktober 2023. Bulletin 267 - October 2023 | World Rainforest Movement. (n.d.). https://www.wrm.org.uy/bulletins/issue-267Â
A colonial mechanism to enclose lands: A critical review of two redd+-focused special issues. A colonial mechanism to enclose lands: A critical review of two REDD+-focused special issues | Ephemeral Journal. (n.d.-a). https://ephemerajournal.org/contribution/colonial-mechanism-enclose-lands-critical-review-two-redd-focused-special-issues#:~:text=We%20conclude%20that%20REDD%2B%20is,means%20of%20climate%20mitigation%20orÂ
A colonial mechanism to enclose lands: A critical review of two redd+-focused special issues. A colonial mechanism to enclose lands: A critical review of two REDD+-focused special issues | Ephemeral Journal. (n.d.-b). https://ephemerajournal.org/contribution/colonial-mechanism-enclose-lands-critical-review-two-redd-focused-special-issues#:~:text=We%20conclude%20that%20REDD%2B%20is,means%20of%20climate%20mitigation%20orÂ
How does redd+ work?. Coalition for Rainforest Nations. (2021, Maret 26). https://www.rainforestcoalition.org/how-does-redd-work/Â
Ken, S., Entani, T., Tsusaka, T. W., & Sasaki, N. (2020). Effect of REDD+ projects on local livelihood assets in Keo Seima and Oddar Meanchey, Cambodia. Heliyon, 6(4). https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2020.e03802Â
Kim, Y.-S., Latifah, S., Afifi, M., Mulligan, M., Burke, S., Fisher, L., Siwicka, E., Remoundou, K., Christie, M., Masek Lopez, S., & Jenness, J. (2018). Managing forests for global and Local Ecosystem Services: A case study of carbon, water and livelihoods from Eastern Indonesia. Ecosystem Services, 31, 153--168. https://doi.org/10.1016/j.ecoser.2018.03.018Â
Komlik, O. (2020, December 30). Yes, the planet got destroyed. but for a beautiful moment in time we created a lot of value for shareholders!. Economic Sociology & Political Economy. https://economicsociology.org/2014/10/07/yes-the-planet-got-destroyed-but-for-a-beautiful-moment-in-time-we-created-a-lot-of-value-for-shareholders/Â
Lang, C. (2019, September 5). "nature cannot be fooled." Kevin Anderson on mitigation as if climate mattered. "Nature cannot be fooled." Kevin Anderson on mitigation as if climate mattered. https://reddmonitor.substack.com/p/nature-cannot-be-fooled-kevin-andersonÂ
Redaksi. (2022, Desember 24). REDD+: Apa Saja Yang perlu diperbaiki agar Mampu Menghentikan Deforestasi di Indonesia?. Readers.ID - Berita Hari Ini dan Terkini. https://www.readers.id/read/redd-apa-saja-yang-perlu-diperbaiki-agar-mampu-menghentikan-deforestasi-di-indonesia/amp.htmlÂ
REDD+: A scheme rotten at the core. World Rainforest Movement. (n.d.). https://www.wrm.org.uy/bulletin-articles/redd-a-scheme-rotten-at-the-coreÂ
REDD.plus -- a central registry and exchange for REDD+ results. (n.d.). https://www.redd.plus/Â
Redd: A collection of conflicts, contradictions and lies - wrm. (n.d.). https://wrm.org.uy/wp-content/uploads/2014/12/REDD-A-Collection-of-Conflict_Contradictions_Lies_expanded.pdfÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H