Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Sisi Gelap Tragedy of the Commons: Membatasi Kebebasan Individu demi Kesejahteraan Bersama

1 September 2023   18:59 Diperbarui: 1 September 2023   19:00 572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"To protect humanity, some humans must be sacrificed. To ensure your future, some freedoms must be surrendered."
-  V..I.K.I pada film I, Robot

Duarrrr!!! Gemuruh kerumunan orang berteriak panik dalam sekejap berubah menjadi keheningan maut. Tanpa keraguan sedikit pun, sebanyak 22 pengunjung Walmart di El Paso tewas terbunuh akibat peluru yang ditembakkan dari senjata tipe AKM WASR-10. Di tempat lain, tepatnya di dua masjid yang berdekatan di Selandia Baru, hanya dalam kurun waktu 10 menit, seorang pria secara terencana melesatkan peluru ke segala arah, membunuh setidaknya 51 orang jamaah salat Jumat secara sadis. Mirisnya, kedua pembunuhan massal yang tragis ini dilatarbelakangi oleh motif yang sama, yaitu sebuah kekhawatiran ekstrim terhadap kelebihan populasi (overpopulation) dan kerusakan lingkungan (The Washington Post, 2021).

Di kalangan akademisi, diskusi terkait overpopulasi bisa dibilang cukup kental. Bagaimana cara untuk menyelesaikan permasalahan overpopulasi? Sayangnya, tidak ada solusi yang "pasti" (no technical solution), begitulah jawaban dari Garret Hardin, seorang profesor human ecology di University of California. Lebih lanjut, ia menjelaskan tentang betapa kompleksnya permasalahan populasi, bagaimana skema "invisible hand" gagal bekerja untuk mencapai "populasi yang optimum". 

Salah satu argumen terkenalnya adalah masalah Tragedy of the Commons, yaitu kecenderungan manusia untuk mengeksploitasi barang kepemilikan bersama (common goods) secara berlebihan. Hal ini terjadi karena tiap orang akan mengutamakan kepentingan individu dibandingkan kelompok untuk barang yang bisa diakses oleh semua pihak (non-exclusive) tapi perlu berebut untuk mengonsumsinya (rivalry) -- konsep yang terinspirasi dari ekonom bernama William Lloyd.

Contoh klasik untuk menjelaskan konsep Tragedy of the Commons adalah dengan membayangkan sekumpulan peternak sapi di satu lahan rumput milik bersama. Keputusan untuk menambah jumlah sapi ternaknya datang dari dua pertimbangan:

  • Kepentingan Individu -- menambah kepuasan individunya, karena peternak mendapat manfaat penuh dari tambahan hasil penjualan sapi ternaknya (anggap kepuasan bertambah 1 unit).
  • Kepentingan Sosial -- mengurangi kepuasan, karena meningkatkan kelangkaan akibat eksploitasi lahan rumput secara berlebihan, namun dirasakan secara merata oleh seluruh peternak sapi (anggap kepuasan turun kurang dari 1 unit).

Alhasil, keputusan rasional dari tiap peternak adalah menambah jumlah sapi ternaknya di lahan tersebut. Kemudian ditambah lagi, dan lagi... hingga tanpa batas. Adapun ilustrasi sederhana yang digunakan oleh Financial Times yaitu seperti sepasang kakak-beradik yang saling berebut sebungkus popcorn milik keduanya. Logika yang sama juga dapat menjelaskan masalah polusi. 

Tiap perusahaan yang rasional akan tetap mencemari lingkungan selama biaya dari kerusakan lingkungan masih lebih rendah dibandingkan biaya yang ia tanggung sendiri dari mengolah limbah dan mencegah pencemaran lingkungan. Menurut Hardin, masalah polusi dan kerusakan lingkungan merupakan konsekuensi atau imbas dari permasalahan populasi -- sebuah pandangan kontroversial yang akan kita bahas di akhir artikel ini.

Memahami Tragedy of Freedom dalam Overpopulasi sebagai Akar Permasalahan

Siapa yang menyangka kelahiran seorang bayi perempuan di Filipina bisa menjadi catatan sejarah penting bagi dunia? Ya, ia bernama Vinice Mabansag, yang secara simbolis tercatat sebagai penduduk dunia yang ke-8.000.000.000 sesuai hitungan PBB. Apakah hal ini dipandang sebagai berita baik? Meski Sekretaris PBB mengklaim peristiwa ini merupakan milestone yang pantas "dirayakan" sebagai pertanda kemajuan pembangunan manusia, pandangan Garret Hardin akan berbeda 180 derajat dalam kasus ini. Ia mengkritik keras deklarasi PBB tahun 1967 terkait Hak Asasi Manusia, yang berbunyi:

"...segala keputusan terkait ukuran (jumlah personil) keluarga harus diserahkan secara menyeluruh oleh keluarga itu sendiri, dan keputusan ini tidak dapat dibuat oleh pihak lain."

Menurut Hardin, kebebasan untuk berkembang biak tidak dapat ditoleransi (freedom to breed is intolerable). Semua orang "terjebak dalam sistem" yang mempercayai akan kebebasan dalam kepemilikan bersama, yang pada akhirnya membawa "bencana" bagi semua pihak akibat dari tiap orang yang hanya mengejar kepentingan individunya. 

Dengan kata lain, mempertahankan kebebasan untuk melahirkan demi kepentingan moralitas hanya dianggap Hardin sebagai bentuk penyangkalan (psychological denial) yang kuno terhadap masalah overpopulasi yang semakin nyata. Ia kemudian menggunakan kata "tragedi" yang bermakna tak hanya terbatas pada ketidakbahagiaan, melainkan juga mencakup hal (seperti kehidupan manusia) yang sangat tidak bisa dihindari -- terinspirasi dari seorang filsuf bernama Whitehead.

Implikasi dari argumen di atas adalah kebebasan berkembang biak harus dihilangkan, atau setidaknya "dilepaskan" secara bertahap. Bagi Hardin, mempromosikan konsep kebebasan untuk melahirkan, sekaligus mempercayai semua orang yang lahir punya hak yang sama terhadap barang kepemilikan bersama, akan mengarahkan dunia ini ke sebuah kondisi yang tragis (tragic course of action).

Sudut pandang ini secara historis telah melahirkan berbagai kebijakan publik yang cukup ekstrim terkait kontrol populasi. Ambil contoh, Kebijakan Satu Anak (One Child Policy) yang pernah diterapkan di Cina selama 35 tahun. Tentu kebijakan ini tak lepas dari hujan kritik. Berbagai dokumenter seperti One Child Nation menggambarkan buruknya pengaruh dari kebijakan tersebut, mulai dari perpecahan keluarga, paksaan aborsi dan sterilisasi, hingga peningkatan human trafficking dari bayi perempuan yang "tidak diinginkan". Belum lagi melihat masifnya propaganda dari kontrol kelahiran ini, misalnya penayangan kartun anak yang mengilustrasikan orang yang punya lebih dari satu anak dianggap kriminal, terbelakang, dan bodoh (Chang, 2019). 

Pada akhirnya, tingkat kelahiran menurun drastis, namun pemerintah Cina justru akhirnya berusaha meningkatkan kembali angka kelahiran anak di tengah stigma masyarakat perempuan yang menganggap anak sebagai beban karir, sehingga mengubah kebijakan ini menjadi "Kebijakan Dua hingga Tiga Anak" disertai insentif potongan pajak, subsidi, pemberian tunai, dan lainnya.

Kebijakan kontrol populasi lain yang tidak kalah kontroversialnya yaitu kampanye mengerikan dari Sanjay Gandhi pada tahun 1976 untuk mensterilkan penduduk miskin. Sekitar 6,2 juta pria India akhirnya disterilkan hanya dalam kurun waktu setahun, di mana terdapat 2.000 pria diantaranya yang meninggal dunia karena operasi yang gagal, menurut jurnalis sains Mara Hvistendahl (BBC, 2014). Selaras dengan argumen Hardin, larangan untuk memiliki banyak anak relatif lebih mudah dalam proses penetapan sebagai peraturan pemerintah, tetapi relatif sulit pada implementasinya, terutama terkait kemauan diri sendiri. Dengan demikian, dari dua contoh diatas, menganggap pertumbuhan populasi sebagai akar permasalahan seringkali dianggap sebagai kebijakan yang tidak tepat dan tidak demokratis.

Konsep "Keterbatasan" vs "Kelangkaan" dan Etika Sekoci (Lifeboat Ethics)

"There is enough for everyone's need, but maybe not enough for everyone's greed"

- Gandhi

Sesuai dengan kutipan bijak diatas, kita perlu memahami bahwa keterbatasan (limits) tidak selalu mengakibatkan kondisi kelangkaan (scarcity). Ambil contoh kasus makanan --- kita harus memberi makan 3 hingga 4 miliar lebih banyak orang di abad mendatang. Jika saat ini kita bisa mencegah sisa makanan yang terbuang sia-sia, apalagi mencakup sepertiga dari total makanan yang diproduksi; mengurangi konsumsi makanan yang berlebihan; ataupun mengalihkan konsumsi susu dan daging yang membutuhkan 70% dari penggunaan lahan pertanian dunia, kita dapat memenuhi kebutuhan populasi yang meningkat, sekaligus mengatasi masalah lain seperti emisi gas rumah kaca, polusi air, biaya kesehatan dari obesitas, dan masih banyak lagi.

Dari konsep kelangkaan ini, Hardin memperkenalkan konsep "Etika Sekoci" (Lifeboat Ethics) sebagai metafora untuk menggambarkan dilema distribusi sumber daya sekaligus mendetailkan konsep Tragedy of The Commons. Bayangkan terdapat sebuah sekoci yang berisi 50 orang dari total kapasitas 60 orang. Di sisi lain, terdapat 100 orang yang mengambang di laut lepas dan butuh pertolongan. Dalam kasus ini, pihak yang berada di sekoci dihadapi beberapa pilihan:

1) Selamatkan semua orang yang butuh pertolongan -- yang menyebabkan sekoci kelebihan kapasitas dan menenggelamkan semua yang selamat. Hardin menyebutkan kondisi ini sebagai keadilan menyeluruh yang berujung pada musibah yang menyeluruh (complete justice, complete catastrophe).

2) Selamatkan 10 dari 100 orang ke dalam kapal -- yang mengakibatkan pengurangan sisa jatah penumpang sehingga safety factor berkurang, misalnya jatah berat tambahan untuk mengangkut makanan selama di kapal. Hardin juga mempertanyakan siapa 10 orang yang sebaiknya diselamatkan, apakah dipilih melalui skema siapa cepat dia dapat, hingga bagaimana justifikasi untuk disampaikan kepada 90 orang sisanya yang tidak diselamatkan.

3) Tidak selamatkan orang sama sekali -- untuk memastikan keselamatan mereka yang sudah berada di sekoci. Meskipun begitu, Hardin mengingatkan untuk selalu waspada terhadap pihak yang ingin naik ke sekoci tersebut.

Dari ketiga pilihan tersebut, Hardin melihat pilihan yang terakhir sudah jelas menjamin keselamatan semua. Akan tetapi, kebanyakan orang merasa punya "beban moral" yang ditanggung atau penyesalan dari mereka yang selamat di atas kematian dan penderitaan orang lain. Untuk mengatasi penyesalan ini, Hardin menjawab solusi sederhana, yaitu menukar jatah tempat mereka yang merasakan penyesalan ini dengan orang yang berada dibawah (Get out and yield your place to others).

Sumber: United Nations (2015)
Sumber: United Nations (2015)

Etika sekoci inilah yang kemudian digunakan oleh Hardin untuk mempertanyakan berbagai kebijakan dari negara maju, seperti bantuan luar negeri, imigrasi, dan bank makanan (food banks). Ia mengumpamakan Amerika Serikat dan negara maju lainnya tinggal di atas sekoci, sementara negara berkembang lainnya terombang-ambing di laut lepas. Secara empiris, dapat dilihat pada data PBB tahun 2015 (Grafik 1) bagaimana negara yang kurang maju (least developed countries) di wilayah Afrika punya angka fertilitas (rata-rata kelahiran per wanita) yang jauh lebih tinggi dibandingkan negara lain yang lebih maju. Perlu diingat kembali bagaimana besarnya kebutuhan hidup ditentukan oleh ukuran populasi, yang kemudian bergantung pada besarnya angka reproduksi. Hardin berargumen bahwa negara maju seharusnya menghitung secara matang sebesar apa biaya yang ditanggung untuk menopang kehidupan penduduk negara miskin yang bertumbuh secara besar-besaran. Bagaimana jika pada akhirnya penduduk dunia didominasi oleh populasi dari negara miskin akibat permasalahan Tragedy of the Commons untuk berkembang biak? Siapa yang bertanggung jawab jika pada akhirnya populasi yang tidak terkontrol ini menimbulkan bencana alam bagi semua negara, baik maju dan berkembang. Argumen proteksionisme inilah yang juga kemudian menjelaskan preferensi politik penduduk untuk memilih tokoh populis, misalnya slogan "America First" dari mantan Presiden AS Donald Trump.

Sudut Lain dari Overpopulasi dan Tragedy of The Commons: Apa Pelajaran yang dapat Kita Ambil?

Pada kenyataannya, kesimpulan untuk menyalahkan jumlah populasi sebagai penyebab utama kerusakan lingkungan dianggap kurang tepat akibat cakupan analisis yang terlalu sederhana (oversimplified). Mengutip persamaan IPAT dari Ramaswami (2012),

Impact = Population x Affluence x Technology
atau
Dampak Lingkungan = Populasi x Kekayaan x Teknologi

Sejak tahun 2000, laporan PBB menunjukkan bahwa:

  • Kekayaan (affluence) -- penggunaan sumber daya global didominasi efek dari peningkatan kemakmuran, bukan populasi. Hal ini dibuktikan dari bagaimana negara-negara berpenghasilan tinggi hingga menengah ke atas menyumbang 78 persen dari konsumsi materiil, meskipun memiliki tingkat pertumbuhan populasi yang lebih rendah dibandingkan negara lainnya yang lebih miskin.
  • Populasi (population) -- di negara-negara berpenghasilan rendah, dengan proporsi dari populasi dunia yang meningkat hampir dua kali lipat sejak tahun 2000, permintaan terhadap sumber daya tetap konstan hanya sekitar 3 persen dari total permintaan global.
  • Teknologi (technology) -- juga dinilai bergerak ke arah yang salah (Ramaswami, 2012). Tren global selama dua dekade terakhir adalah penggunaan lebih banyak sumber daya untuk membuat lebih sedikit barang, terutama karena globalisasi telah memindahkan produksi ke tempat di mana sistem energi dan mesin kurang efisien.

Selain itu, Elinor Ostrom juga menemukan bahwa pada kenyataannya manusia dapat menyelesaikan masalah tragedy of the commons melalui institusi lokal (local solution), meski tanpa adanya regulasi terpusat. Terobosan ini didasarkan dari penelitian lapangannya terhadap bagaimana orang di komunitas lokal yang kecil dapat berhasil mengatur sumber daya alam milik bersama, seperti lahan rumput di kedua desa Jepang, Hirano dan Nagaike; mekanisme irigasi huerta di Spanyol; dan hutan komunitas di wilayah Terai Nepal. Penemuan ini menjadi topik fundamental dalam bidang institutional economics dan kemudian menjadikan Ostrom sebagai peraih penghargaan Nobel Ekonomi tahun 2019, sekaligus menjadi wanita pertama peraih Nobel Ekonomi sepanjang sejarah.

Dari kedua sudut pandang ini, kita dapat melihat bagaimana pentingnya kontribusi Hardin dalam mengidentifikasi dan menjelaskan kompleksitas permasalahan yang dihadapi dunia saat ini. Namun, penelitian lanjutan seperti yang dilakukan oleh Ostrom juga menunjukkan peran krusial untuk mengisi gap pengetahuan yang sudah ada. Akhir kata, mengutip dari tokoh ilmuwan sains bernama Paul Dirac,

"The measure of greatness in a scientific idea is the extent to which it stimulates thought and opens up new lines of research."

Diulas oleh: Zulfandi Yahya | Ilmu Ekonomi 2021 | Vice Manager Economic Studies Division Kanopi FEB UI 2023/2024

Referensi

Achenbach, J. (2019, August 18). Two mass killings a world apart share a common theme: "ecofascism." Washington Post. https://www.washingtonpost.com/science/two-mass-murders-a-world-apart-share-a-common-theme-ecofascism/2019/08/18/0079a676-bec4-11e9-b873-63ace636af08_story.html

Biswas, S. (2014, November 14). India's dark history of sterilisation. BBC News. https://www.bbc.com/news/world-asia-india-30040790

Desjardins, J. (2021, December 1). Population Boom: Charting how we got to nearly 8 billion people. World Economic Forum. https://www.weforum.org/agenda/2021/12/world-population-history/

Gupta, J. (2018). The Puzzle of the Global Commons or The Tragedy of Inequality: Revisiting Hardin. Environment: Science and Policy for Sustainable Development, 61(1), 16--25. https://doi.org/10.1080/00139157.2019.1540808

Hardin, G. (1975). Lifeboat Ethics. The Hastings Center Report, 5(1), 4. https://doi.org/10.2307/3560937

Hardin, G. (2009). The Tragedy of the Commons. Journal of Natural Resources Policy Research, 1(3), 243--253. https://doi.org/10.1080/19390450903037302

Hegarty, S. (2022, November 15). As the 8 billionth child is born, who were 5th, 6th and 7th? BBC News. https://www.bbc.com/news/world-63623307

Kaplan, S. (2021, May 25). It's wrong to blame "overpopulation" for climate change. Washington Post. https://www.washingtonpost.com/climate-solutions/2021/05/25/slowing-population-growth-environment/

Ramaswami, A., Weible, C., Main, D., Heikkila, T., Siddiki, S., Duvall, A., ... & Bernard, M. (2012). A socialecologicalinfrastructural systems framework for interdisciplinary study of sustainable city systems: An integrative curriculum across seven major disciplines. Journal of Industrial Ecology, 16(6), 801-813.

United Nations, Department of Economic and Social Affairs, Population Division (2017). World Fertility Report 2015 - Highlights (ST/ESA/SER.A/415).

United Nations Environment Programme & Division Of Technology Industry And Economics. (2020). GLOBAL RESOURCES OUTLOOK 2019 : natural resources for the future we want. United Nations.

Where growth is concerned, is population destiny? (2019, April 17). The Economist. https://www.economist.com/finance-and-economics/2019/04/17/where-growth-is-concerned-is-population-destiny

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun