"To protect humanity, some humans must be sacrificed. To ensure your future, some freedoms must be surrendered."
- Â V..I.K.I pada film I, Robot
Duarrrr!!! Gemuruh kerumunan orang berteriak panik dalam sekejap berubah menjadi keheningan maut. Tanpa keraguan sedikit pun, sebanyak 22 pengunjung Walmart di El Paso tewas terbunuh akibat peluru yang ditembakkan dari senjata tipe AKM WASR-10. Di tempat lain, tepatnya di dua masjid yang berdekatan di Selandia Baru, hanya dalam kurun waktu 10 menit, seorang pria secara terencana melesatkan peluru ke segala arah, membunuh setidaknya 51 orang jamaah salat Jumat secara sadis. Mirisnya, kedua pembunuhan massal yang tragis ini dilatarbelakangi oleh motif yang sama, yaitu sebuah kekhawatiran ekstrim terhadap kelebihan populasi (overpopulation) dan kerusakan lingkungan (The Washington Post, 2021).
Di kalangan akademisi, diskusi terkait overpopulasi bisa dibilang cukup kental. Bagaimana cara untuk menyelesaikan permasalahan overpopulasi? Sayangnya, tidak ada solusi yang "pasti" (no technical solution), begitulah jawaban dari Garret Hardin, seorang profesor human ecology di University of California. Lebih lanjut, ia menjelaskan tentang betapa kompleksnya permasalahan populasi, bagaimana skema "invisible hand" gagal bekerja untuk mencapai "populasi yang optimum".Â
Salah satu argumen terkenalnya adalah masalah Tragedy of the Commons, yaitu kecenderungan manusia untuk mengeksploitasi barang kepemilikan bersama (common goods) secara berlebihan. Hal ini terjadi karena tiap orang akan mengutamakan kepentingan individu dibandingkan kelompok untuk barang yang bisa diakses oleh semua pihak (non-exclusive) tapi perlu berebut untuk mengonsumsinya (rivalry) -- konsep yang terinspirasi dari ekonom bernama William Lloyd.
Contoh klasik untuk menjelaskan konsep Tragedy of the Commons adalah dengan membayangkan sekumpulan peternak sapi di satu lahan rumput milik bersama. Keputusan untuk menambah jumlah sapi ternaknya datang dari dua pertimbangan:
- Kepentingan Individu -- menambah kepuasan individunya, karena peternak mendapat manfaat penuh dari tambahan hasil penjualan sapi ternaknya (anggap kepuasan bertambah 1 unit).
- Kepentingan Sosial -- mengurangi kepuasan, karena meningkatkan kelangkaan akibat eksploitasi lahan rumput secara berlebihan, namun dirasakan secara merata oleh seluruh peternak sapi (anggap kepuasan turun kurang dari 1 unit).
Alhasil, keputusan rasional dari tiap peternak adalah menambah jumlah sapi ternaknya di lahan tersebut. Kemudian ditambah lagi, dan lagi... hingga tanpa batas. Adapun ilustrasi sederhana yang digunakan oleh Financial Times yaitu seperti sepasang kakak-beradik yang saling berebut sebungkus popcorn milik keduanya. Logika yang sama juga dapat menjelaskan masalah polusi.Â
Tiap perusahaan yang rasional akan tetap mencemari lingkungan selama biaya dari kerusakan lingkungan masih lebih rendah dibandingkan biaya yang ia tanggung sendiri dari mengolah limbah dan mencegah pencemaran lingkungan. Menurut Hardin, masalah polusi dan kerusakan lingkungan merupakan konsekuensi atau imbas dari permasalahan populasi -- sebuah pandangan kontroversial yang akan kita bahas di akhir artikel ini.
Memahami Tragedy of Freedom dalam Overpopulasi sebagai Akar Permasalahan
Siapa yang menyangka kelahiran seorang bayi perempuan di Filipina bisa menjadi catatan sejarah penting bagi dunia? Ya, ia bernama Vinice Mabansag, yang secara simbolis tercatat sebagai penduduk dunia yang ke-8.000.000.000 sesuai hitungan PBB. Apakah hal ini dipandang sebagai berita baik? Meski Sekretaris PBB mengklaim peristiwa ini merupakan milestone yang pantas "dirayakan" sebagai pertanda kemajuan pembangunan manusia, pandangan Garret Hardin akan berbeda 180 derajat dalam kasus ini. Ia mengkritik keras deklarasi PBB tahun 1967 terkait Hak Asasi Manusia, yang berbunyi:
"...segala keputusan terkait ukuran (jumlah personil) keluarga harus diserahkan secara menyeluruh oleh keluarga itu sendiri, dan keputusan ini tidak dapat dibuat oleh pihak lain."