Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Dunia Serba Kapitalis: Globalisasi Keuangan dan Pengaruhnya terhadap Volatilitas Ekonomi Makro

28 Juli 2023   19:04 Diperbarui: 28 Juli 2023   19:09 960
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mari kita bayangkan seorang petani yang memenuhi kebutuhan hidupnya dengan menjual hasil tani seperti jagung dan kelapa sawit. Tentunya, petani tersebut membutuhkan lahan untuk menanam segala bibitnya. Berbeda dengan zaman feodalisme di mana lahan ini bisa ditukar dengan manpower yang disuguhkan kepada tuan tanah, di dunia serba kapitalis ini, uang merupakan segalanya.

Lantas, apa kaitan dari cerita ini dengan globalisasi keuangan? Bagaimana kemudian globalisasi keuangan semakin marak terjadi? Apa pengaruh yang ditimbulkan terhadap volatilitas ekonomi makro?

The Great Reversal dan Kapitalisme sebagai Pemicu 

Di zaman feodalisme, produksi surplus merupakan prasyarat bagi keberadaan ekonomi dalam bentuk apa pun -- khususnya sebagai berikut:

Production Distribution Debt/Credit

Proses ini dimulai dengan para petani yang mengerjakan tanah dan menghasilkan output. Lalu, tuan feodal mengambil bagiannya secara paksa. Setelah ia berhasil menikmati apa yang dia ambil, tuan feodal akan menjual apapun yang tersisa untuk mendapatkan uang yang memungkinkannya untuk membeli barang, membayar layanan, dan memberikan pinjaman. Akan tetapi, begitu tanah dan tenaga kerja dikomodifikasi, The Great Reversal terjadi: alih-alih distribusi surplus datang setelah produksi, distribusi dimulai bahkan sebelum produksi dimulai. Bagaimana ini dapat terjadi?

Pada saat itu di Inggris, para petani ditendang dari tanahnya dan digantikan oleh domba. Mantan petani kemudian menyewa tanah dari pemilik tanah dan mengawasi produksi wol serta tanaman yang dapat dijual untuk mendapatkan keuntungan. Namun, untuk menjalankan proses produksi, pengusaha skala kecil baru ini membutuhkan sejumlah uang untuk memulai -- untuk membayar upah, mendapatkan benih dan tentu saja membayar sewa mereka kepada tuan tanah -- sebelum mereka menghasilkan barang apa pun. Sebagai mantan petani yang menjadi pengusaha, mereka tidak pernah punya cukup uang untuk membayar semua ini sebelum hasil panen wolnya dijual, ia harus meminjam. Siapa yang meminjamkannya uang? Sangat sering tuannya sendiri, atau rentenir lokal yang kemudian membebankan bunga kepadanya. Bagaimanapun, utang datang lebih dulu. Seperti inilah The Great Reversal terjadi, mengubah hutang menjadi faktor utama dan pelumas penting dari proses produksi.

Lalu, beberapa abad setelahnya, dikenalkanlah ide kapitalisme. Robert E. Lerner dalam Western Civilization (1988) menyebutkan bahwa revolusi komersial dan industri pada dunia modern awal dipengaruhi oleh asumsi-asumsi kapitalisme. Memiliki gagasan yang sama dengan sebelumnya, kapitalisme adalah ketika produksi barang dan jasa dilakukan demi keuntungan dan berada di tangan swasta. Hal ini berlawanan dengan pasar. Di pasar, prinsipnya, seperti yang dijelaskan Marx, adalah produk - uang - produk. Seorang petani mungkin pergi ke pasar dengan telur, mendapatkan uang dari menjual telur, dan dengan uang ini membeli susu. Jadi, uang hanyalah alat. Seorang kapitalis bekerja sebaliknya, dimulai dengan uang. Entah Anda mengambil pinjaman atau Anda punya uang untuk diinvestasikan. Anda membuat produk Anda hanya untuk menghasilkan lebih banyak uang daripada yang Anda miliki di awal. Jadi, prinsipnya adalah uang - produk - lebih banyak uang. 

Krisis Ekonomi dan Perang Dunia: Era Awal Globalisasi

Mari kita percepat ke dua peristiwa besar dalam sejarah perekonomian dunia, yaitu: Perang Dunia 1 dan Perang Dunia 2 sampai disepakatinya Bretton Woods System. Artikel ini mempertimbangkan operasi pasar modal internasional dalam dua periode globalisasi, sebelum 1914 dan setelah 1971, dengan fokus pada masalah krisis yang terjadi. Menjelajahi gagasan bahwa terjadinya krisis dalam dua periode ini mencerminkan bagaimana arus modal tertanam dalam sistem ekonomi yang lebih besar.

Dari tahun 1816 hingga pecahnya Perang Dunia I pada tahun 1914, dunia diuntungkan dengan tatanan keuangan yang terintegrasi dengan baik, terkadang dikenal sebagai "era pertama globalisasi". Penemuan kapal uap berdampak besar pada gelombang pertama globalisasi. Sebelum penemuannya, rute perdagangan bergantung pada pola angin, tetapi kapal uap mengurangi waktu pengiriman dan biaya pengiriman. Pada tahun 1850, hampir 129 negara menggunakan kapal uap untuk perdagangan, dan sekitar 5.000 impor dan ekspor dilakukan ke 5.000 kota, sehingga berdampak besar pada ekonomi global. Standar emas juga merupakan pilar utama di era pertama globalisasi. 

Tahun-tahun antara perang dunia digambarkan sebagai periode "de-globalisasi", karena perdagangan internasional dan arus modal menyusut dibandingkan dengan periode sebelum Perang Dunia I. 

Ketika The Great Depression memuncak pada tahun 1930, lembaga keuangan terpukul keras bersamaan dengan perdagangan; pada tahun 1930 saja, 1345 bank Amerika runtuh. Program New Deal oleh Franklin D. Roosevelt tidak cukup untuk membawa Amerika keluar dari resesi, dan baru setelah Perang Dunia Kedua dan program pengeluaran publik besar-besaran yang dihasilkannya, AS akhirnya pulih (Varoufakis, 2015, p.55).

Begitu perang mulai surut, para pembuat kebijakan Inggris dan Amerika menjadi khawatir bahwa resesi akan kembali terjadi. Untuk mengatasinya, pada tahun 1944, mereka mengorganisir Konferensi Bretton Woods, sebuah pertemuan para pemimpin global yang akan menentukan rancangan ekonomi global pascaperang. 

Dua institusi juga dirancang pada pertemuan ini dan masih berlanjut sampai sekarang, yaitu International Monetary Fund (IMF) dan World Bank. Peristiwa Bretton Woods pada tahun 1944 menandakan era baru dari globalisasi. Sistem Bretton Woods menguntungkan Amerika Serikat yang pada saat itu keluar dari Perang Dunia Kedua sebagai kekuatan utama dunia dengan surplus anggaran.

Rancangan Sistem Bretton Woods sedemikian rupa sehingga negara-negara hanya dapat menerapkan konvertibilitas ke emas untuk mata uang utama -- dolar Amerika Serikat. Negara-negara yang mengikuti sistem ini, menukarkan cadangan devisa mereka dengan dollar dan tidak dapat menurunkan nilai mata uangnya untuk meningkatkan daya saing barang ekspor mereka dalam perdagangan. Namun, seiring berjalannya waktu, Amerika Serikat menghadapi masalah besar. 

Biaya yang dikeluarkan dari Perang Vietnam memperbesar defisit anggaran mereka sehingga Amerika Serikat harus terus mencetak uang kertas baru untuk menutup defisit tersebut. Melihat hal ini, negara-negara yang terlibat dalam Sistem Bretton Woods mulai kehilangan kepercayaan terhadap dollar AS dan mempertanyakan simpanan emas dan juga komitmen mereka terhadap Perjanjian Bretton Woods. 

Banyak kemudian menuntut penukaran dollar oleh emas dengan nilai tukar tetap. Sampai akhirnya, pada tahun 1971 Presiden Robert Nixon mengumumkan bahwa dia mengakhiri pertukaran dolar dengan emas, dan segera sistem Bretton Woods terurai.

Surplus Recycling Mechanisms: Sesuatu yang Tanpanya, Kapitalisme Tidak Dapat Bertahan

Rencana Global terurai karena cacat desain utama dalam racangannya. John Maynard Keynes telah melihat kelemahan tersebut selama konferensi Bretton Woods tahun 1944 tetapi ditolak oleh Amerika. Apa itu? Itu adalah kurangnya Global Surplus Recycling Mechanism (GSRM) yang akan menjaga ketidakseimbangan perdagangan sistematis terus-menerus.

Daur ulang surplus merupakan komponen integral dari masyarakat mana pun yang mengatur produksi melalui pasar. Di zaman feodal, itu tidak perlu, karena, ingat dari apa yang telah kita diskusikan sebelumnya, distribusi datang setelah produksi. Namun, setelah sistem feodal runtuh, para pengusaha harus meminjam uang untuk melakukan produksi, dengan harapan bahwa pendapatan mereka di masa depan akan menunjukkan sedikit surplus (yaitu melebihi jumlah pinjaman, bunga, dan pembayaran sewa). Jadi, sejak saat itu distribusi pendapatan sebagian besar ditentukan sebelum panen tiba.

Ini berarti bahwa nilai 'barang' yang belum diproduksi dan surplus yang diantisipasi dari produksinya, didaur ulang dari masa depan ke masa kini. Dalam pengertian inilah daur ulang surplus selalu merupakan komponen integral dari kapitalisme. Secara umum, setiap sistem ekonomi mengandung unit-unit yang cenderung menunjukkan surplus dan unit-unit lain yang cenderung melaporkan defisit. Untuk menjaga keseimbangan, sistem harus menampilkan mekanisme daur ulang surplus yang mempertahankan aliran surplus dari masa depan ke masa kini, dari pusat perkotaan ke daerah pedesaan, dan dari daerah maju ke daerah kurang berkembang.

Hal inilah yang menjadi kekhawatiran Keynes pada saat itu, di mana, jika perdagangan global sangat tidak seimbang, dengan beberapa negara (misalnya Amerika Serikat) menikmati surplus yang besar dan yang lainnya mengalami defisit yang besar dan memicu resesi yang dapat menyebar menjadi bencana global lainnya.

Emerging Markets dengan Segala Tantangannya: Globalisasi Keuangan di Masa Sekarang

Akhir-akhir ini cukup umum bahwa Anda dapat berinvestasi dalam produk keuangan dari seluruh dunia. Dan bahkan jika Anda tidak melakukannya, bank atau dana pensiun Anda pasti melakukannya. Dimulai pada akhir 1970-an atau awal 1980-an abad sebelumnya, globalisasi keuangan terus mempermudah investasi internasional. Lalu, apakah perkembangan ini mengarah kepada sesuatu yang lebih baik? Atau sebaliknya?

Emerging market economies, cenderung memiliki modal domestik yang masih cukup langka. Potensi keuntungan tinggi yang dihasilkan atas aset pada pasar ini merupakan faktor utama yang menarik investor internasional untuk menginvestasikan modal mereka di negara-negara berkembang. Kelompok negara berkembang yang telah berpartisipasi aktif dalam globalisasi keuangan, secara rata-rata telah mencatat hasil pertumbuhan yang lebih besar daripada negara-negara yang belum berpartisipasi.

Source: International Monetary Fund
Source: International Monetary Fund

Hal ini didorong oleh pelonggaran pembatasan modal di beberapa negara tersebut untuk mengantisipasi keuntungan yang akan ditawarkan oleh arus lintas batas dalam hal peluang pembagian risiko internasional dan alokasi modal global yang lebih baik. Foreign Direct Investment (FDI) merupakan salah satu sumber populer dan dominan arus modal swasta ke ekonomi pasar berkembang. Globalisasi keuangan, dikombinasikan dengan kebijakan ekonomi makro dan tata kelola domestik yang baik, tampak kondusif bagi pertumbuhan. 

Meskipun kita dapat sedikit optimis tentang keuntungan keseluruhannya, perlu disadari bahwa ketika negara-negara beralih dari integrasi pasar keuangan yang kurang ke integrasi pasar keuangan yang lebih besar, mereka cenderung menghadapi komplikasi yang signifikan. Pasar modal internasional telah mengalami booms and busts sebelumnya pada dua episode luar biasa di abad ke-20, yaitu The Great Depression dan runtuhnya sistem Bretton Woods yang sudah dibahas sebelumnya. Selain itu, Krisis Finansial Asia pada tahun 1997--98 dan Resesi Hebat pada tahun 2008 juga merupakan beberapa contoh yang menarik perhatian dunia. Efek dari berbagai fenomena tersebut tidak hanya dirasakan oleh satu negara atau satu kawasan saja, namun banyak negara terpapar efek spill-over dari krisis ini. Artinya, semakin terbukanya suatu negara terhadap arus global, maka ia juga semakin rentan terhadap risiko krisis yang substansial. Bagaimana hal ini bisa terjadi?

Ketika Keuangan Internasional Ikut Campur dalam Siklus Keuangan Domestik

Pasar keuangan tidak bekerja seperti pasar pada umumnya, yaitu mereka dicirikan oleh positive feedback loop. Di mana, jika harga suatu aset naik, lebih banyak orang ingin membelinya, dengan spekulasi mereka dapat memperoleh keuntungan. Kehadiran positive feedback loop ini membuat pasar keuangan dan aset lebih rentan terhadap siklus boom-bust.

Mari kita bahas suatu contoh kasus, jika lebih banyak pinjaman disalurkan ke pasar real estate, maka harga real estate itu akan naik. Dan, apabila harga suatu real estate naik, bank akan merasa lebih "aman" untuk memberikan utang kepada investor di pasar ini, di mana underlying asset sering berfungsi sebagai jaminan. Sama seperti sistem keuangan domestik yang dapat membuat gelembung real esatate, keuangan internasional memperbesar gelembung keuangan lokal dan pasar aset lokal dengan hanya meningkatkan kumpulan investor yang tersedia. Dengan masuknya investor internasional, gelembung tersebut dapat tumbuh lebih besar dan lebih cepat.

Maka, hubungan yang dapat kita lihat dari peristiwa ini adalah modal internasional tidak hanya dapat memperkuat potensi investasi di suatu negara, tetapi juga dapat memperbesar potensi utang. Misalnya, pikirkan housing bubble yang terjadi di Amerika Serikat pada tahun 2006. Gelembung ini sangat besar dengan banyak sekali orang Amerika yang berinvestasi di dalamnya. Namun anehnya, sebagian besar dibiayai oleh bank-bank Eropa seperti Royal Bank of Scotland, ABN Amro, dan Deutsche Bank. Itulah mengapa sektor perbankan Eropa sangat terpukul ketika gelembung tersebut pecah.

Ini hanyalah satu dari banyak fenomena yang mungkin, atau bahkan pernah, terjadi dengan masifnya globalisasi keuangan di dunia. Terlebih lagi, tercatat per tahun 2023, global debt sudah mencapai angka $305 triliun. Hampir 3 kali lipat lebih besar daripada global GDP di angka $112.6 triliun. Artinya, pasar keuangan bisa dibilang lebih mendominasi dibandingkan sektor riil saat ini. Apa dampak yang dapat ditimbulkan? Namun, mari kita simpan pembahasan itu untuk lain waktu.

Globalisasi keuangan masih menjadi topik yang cukup kontroversial. Dari perspektif sejarah, globalisasi finansial bukanlah fenomena baru, namun kedalaman dan keluasan globalisasi saat ini belum pernah terjadi sebelumnya. Gelombang globalisasi baru-baru ini telah menimbulkan perdebatan sengit di antara para ekonom, menarik baik pendukung maupun penentang yang kuat. Bagaimana menurutmu? Apakah ini sepadan dengan risikonya?

Diulas oleh: Aiko Putri Fauzi | Ilmu Ekonomi 2022 | Staff Divisi Kajian Kanopi FEB UI 2023

References

Prasad, E., Rogoff, K., Wei, S.-J., & Kose, M. A. (2003). Effects of Financial Globalisation on Developing Countries: Some Empirical Evidence. Economic and Political Weekly, 38(41), 4319--4330. http://www.jstor.org/stable/4414133 

M Ayhan Kose & Eswar Prasad & Kenneth Rogoff & Shang-Jin Wei, 2009. "Financial Globalization: A Reappraisal," IMF Staff Papers, Palgrave Macmillan, vol. 56(1), pages 8-62, April. https://ideas.repec.org/a/pal/imfstp/v56y2009i1p8-62.html 

Svrtinov, V.G., Nikolovski, K. and Paceskovski, V. (no date) Positive and negative effects of financial globalization on developing and emerging economies [Preprint].

Eichengreen, B. and Bordo, M. (2002) Crises now and then: What lessons from the last era of financial globalization [Preprint]. doi:10.3386/w8716. 

Varoufakis, Y. and Moe, J. (2019) Talking to my daughter about the economy: A brief history of capitalism. Vintage. 

Varoufakis, Y. (2011) The global minotaur: America the true origins of the financial crisis and the future of the World Economy. London: Zed Books. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun