Gemuruh buruh menyerukan suaranya Senin (01/05) lalu. Hari buruh atau 'May Day' yang diperingati pada setiap 1 Mei menjadi momentum bagi seluruh pekerja untuk menyuarakan serta melantangkan aksi untuk menuntut hak-hak dasar pekerja.Â
Tak lain dan tak bukan, persoalan terkait upah dan jaminan tenaga kerja terus bergeming setiap tahunnya. Namun, benang kusut permasalahan ketenagakerjaan tidak usai di situ saja.Â
Terdapat masalah lainnya yang dirasa-rasa masih jarang dijamah oleh pemerintah. Persoalan terkait nasib nestapa pekerja informal adalah satu di antaranya.Â
Status Quo Pekerja Informal
Menginjak 77 tahun Indonesia merdeka, pekerja pada sektor informal masih setia mengisi sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia.Â
Per Agustus 2022, 59.31% penduduk bekerja pada sektor informal. Fenomena ini merupakan hal yang lumrah dalam perekonomian negara berkembang.Â
Di tengah pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk yang masif, sektor informal menjadi "rumah" bagi mereka yang tidak terserap di sektor formal.Â
Hal ini turut menjadi alasan mengapa pengemudi ojek daring, pedagang kaki lima, Â UMKM, serta pekerja tidak tetap lainnya mudah dijumpai di sekitar masyarakat Indonesia.Â
Jumlah pekerja informal yang cenderung meningkat sekaligus menunjukkan bahwa sektor informal dapat menyerap tenaga kerja dan menekan jumlah pengangguran. Hal ini mengindikasikan kabar baik, lalu mengapa dipermasalahkan?Â
Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kembali mengacu pada cakupan pekerja informal. Pekerja informal didefinisikan oleh International Labour Organization (ILO) sebagai pekerja di sektor informal yang hak dan kewajibannya tidak diatur di dalam undang-undang. Hal ini kemudian menjadikan status pekerja informal sebagai pekerja yang rentan.Â
Nihilnya regulasi yang memayungi pekerja informal menjadi bumerang bagi mereka --yang mengemban status 'pekerja' dan diiming-imingi fleksibilitas dalam bekerja. Implikasinya, pekerja pada sektor informal cenderung tidak terlindungi dan minimnya jaring pengamanan sosial.Â
Di sisi lain, tidak adanya pemasukkan pajak dari sektor informal akan membatasi pemerintah untuk menyediakan public and goods services (Levy, 2008).Â
Tidak hanya itu, tidak adanya pemasukkan pajak turut menjadi penyebab dibalik rendahnya rasio pajak negara. Dengan demikian, meningkatnya jumlah pekerja informal seharusnya dapat menjadi sebuah peringatan bahwa kondisi ketenagakerjaan Indonesia sedang tidak baik-baik saja.
Quo Vadis Industri Manufaktur?: Kemunduran Industrialisasi Indonesia
Fenomena stagnasi tenaga kerja Indonesia sekaligus tercermin pada data di atas. Bahkan, hal ini turut menujukkan bahwa adanya tren informalisasi tiap kuartalnya. Kepelikan fenomena yang terjadi, menghadirkan pertanyaan baru: lantas, apa penyebab dari tren informalisasi?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari kita memutar waktu ke tahun 1990-an. Orde Baru menjadi saksi sejarah Indonesia menjadi primadona dunia dari Asia Tenggara. Hal tersebut ditunjukkan salah satunya melalui keperkasaannya di sektor manufaktur.Â
Pada tahun 1980-1995, Indonesia menjadikan manufaktur sebagai pendorong pertumbuhan ekspor. Hal ini ditunjukkan melalui pertumbuhannya yang signifikan, yakni dari 2% hingga 50% (Aswicahyono et al. 2013, p. 185).Â
Transformasi struktural yang didorong oleh adanya labour-intensive manufacturing serta adanya pertumbuhan yang masif berhasil membuat Indonesia masuk ke klasemen "high performing Asian economies" (World Bank, 1993).Â
Sayangnya, Indonesia harus menerima realita pahit pada tahun 1997. Asian Financial Crisis meruntuhkan keperkasaan Indonesia di mata dunia.Â
Pertumbuhan PDB Indonesia pada 1998, turun drastis hingga -13.1%. Â Tidak selesai sampai di situ, 'kekalahan' industrialisasi Indonesia ditunjukkan melalui lambatnya pemulihan ekonomi pasca krisis dan kegagalan untuk mengembalikan laju pertumbuhan ekonomi saat momentum commodity price boom pada tahun 2002.Â
Kemalangan ini semakin ditimpa dengan laju pertumbuhan industri manufaktur yang kian menurun setiap tahunnya.Â
Fenomena penurunan kontribusi sektor manufaktur yang bahkan sebelum mencapai puncaknya menunjukkan Indonesia masuk ke deindustrialisasi prematur.
Fenomena deindustrialisasi prematur merugikan berbagai hal, khususnya tenaga kerja. Sektor manufaktur sebagai sektor yang padat nilai tambah dan tinggi produktivitasnya lambat laun mulai menurun laju pertumbuhannya.Â
Alhasil, penawaran kerja pada sektor manufaktur berkurang dan tidak dapat menyerap seluruh permintaan kerja.Â
Di sisi lain, pertumbuhan produktivitas sektor jasa yang lambat tidak dapat menjadi alternatif absolut dalam mengatasi dampak fenomena ini. Pekerja yang tidak terserap oleh kedua sektor tersebut kini dihadang oleh dua pilihan: menganggur atau bekerja di sektor informal.
Apabila disandingkan dengan kedua situasi tersebut, memilih bekerja di sektor informal merupakan pilihan yang bijak. Tentunya, hidup dengan adanya pemasukkan akan menjadi jauh lebih baik daripada tidak sama sekali.Â
Pemikiran ini kemudian mendorong 'mereka' untuk pindah ke sektor informal, yakni sektor jasa dan kewirausahaan dengan nilai tambah yang kecil.Â
Fenomena ini sekaligus menekankan bahwa motivasi seseorang berbisnis pada sektor informal bukanlah untuk menjadi kaya, melainkan sebagai cara mereka untuk bertahan (survival).
Transformasi Sektor Informal
Benang kusut persoalan ketenagakerjaan ini tidak jauh-jauh dari kurangnya ketersediaan lapangan pekerjaan. Namun, tidak berhenti pada kata pekerjaan saja, lapangan pekerjaan haruslah layak.Â
Dalam konteks ini, kata 'layak' memiliki makna bahwa terdapat jaminan sosial, pengupahan yang adil, serta kondisi kerja yang aman.Â
Memperjuangkan dan mewujudkan lapangan pekerjaan yang layak bukanlah sekadar angan-angan belaka. Manifestasi lapangan pekerjaan yang layak dapat diwujudkan dalam sektor formal. Selain itu, industri manufaktur memiliki peran yang tak kalah penting dalam mewujudkan angan tersebut.
Pemahaman terkait pentingnya penciptaan lapangan pekerjaan tertuang pada kebijakan Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK).Â
Permana (2023) mengungkapkan bahwa kebijakan tersebut merupakan salah satu upaya untuk membangun iklim kemudahan berusaha (ease of doing business). Upaya membangun iklim kemudahan bisnis ini kemudian menciptakan kebijakan industrialisasi.
Kebijakan industrialisasi diharapkan dapat mendorong terciptanya lapangan pekerjaan bagi pekerja berketerampilan tinggi, menengah, bahkan rendah.Â
Kendati demikian, kebijakan iklim kemudahan berusaha hanya dapat memastikan pada level pembukaan lapangan pekerjaan saja.Â
Lantas, apakah persoalan terkait penciptaan lapangan kerja yang layak dapat terpecahkan? Dengan demikian, diperlukan evaluasi mendalam terkait isi dari kebijakan tersebut.Â
Di sisi lain, human capital memiliki peran yang tak kalah penting. Penciptaan human capital yang berkualitas merupakan investasi bagi negara.Â
Pertama, kemudahan akses ke pendidikan dan pelatihan vokasi pada lingkup individu. Kemudahan akses ke pendidikan dapat diperoleh melalui adanya bantuan finansial layaknya Kartu Indonesia Pintar Kuliah.
Selanjutnya, pelatihan vokasi dilaksanakan dengan program pelatihan yang menekankan pada kemampuan yang dibutuhkan pada abad ke-21. Adanya pelatihan dan pendidikan dapat membantu meningkatkan 'nilai' pekerja dan menjadi bekal untuk berkompetisi di sektor formal.Â
Dari perspektif wirausaha, kebijakan tidak bisa hanya berkutat pada pengarahan, tetapi harus ada aksi konkret, seperti pelatihan dan dukungan finansial. Kegiatan tersebut diharapkan dapat membantu wirausaha agar bisa lebih produktif.
Akhir kata, pekerja informal tetaplah pekerja atau buruh. Hal ini dinyatakan sebagaimana tertulis di Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bahwa pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.Â
Maka dari itu, pekerja informal berhak menuntut hak dasar pekerja tanpa terkecual dan tidak boleh ada yang menutup mata akan hal tersebut. Dengan ini, benang kusut permasalahan ketenagakerjaan pada pekerja informal harus segera diurai dan diselesaikan.Â
Selamat hari buruh.
Diulas oleh: Teresa Tiara Puspita | Ilmu Ekonomi 2022 | Staff Divisi Kajian Kanopi FEB UI 2023/2024
Referensi
American Indonesian Exchange Foundation. (2020, March 2). Made in Somewhere Else: How Premature Deindustrialization Undermines the Development of Indonesia and other Emerging Economies. AMINEF. https://www.aminef.or.id/made_in_somewhere_else_how_premature_deindustrialization_undermines_the_development_of_indonesia_and_other_emerging_economies/
Andarbeny. (2019, May 1). Nasib Pekerja Informal di Tengah Gegap Gempita May Day. Kompasiana.com. https://www.kompasiana.com/andarbeny/5cc964f795760e12f0261784/nasib-pekerja-informal-ditengah-gegap-gempita-may-day
Basri, M. C. (2020, Januari 10). Kelas Menengah dan Ketimpangan Ekonomi. Kompas. https://www.kompas.id/baca/opini/2020/01/10/kelas-menengah-dan-ketimpangan-ekonomi/
Direktorat Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan. (2022, December 14). Indikator Pasar Tenaga Kerja Indonesia Agustus 2022. Badan Pusat Statistik. www.bps.go.id/publication/download.html?nrbvfeve=NTkwZDgxYmU2N2JlZTA0MDI0MTgzYTBl&xzmn=aHR0cHM6Ly93d3cuYnBzLmdvLmlkL3B1YmxpY2F0aW9uLzIwMjIvMTIvMTQvNTkwZDgxYmU2N2JlZTA0MDI0MTgzYTBlL2luZGlrYXRvci1wYXNhci10ZW5hZ2Eta2VyamEtaW5kb25lc2lhLWFndXN0dXMtMjAyM
International Labour Organization. (n.d.). 13. Informal Economy (Decent work for sustainable development (DW4SD) Resource Platform). ILO. https://www.ilo.org/global/topics/dw4sd/themes/informal-economy/lang--en/index.htm
Khan, M. E., Zhuang, J., & Hill, H. (Eds.). (2012). Diagnosing the Indonesian Economy: Toward Inclusive and Green Growth. Anthem Press.
Levy, S. (2010). Good Intentions, Bad Outcomes: Social Policy, Informality, and Economic Growth in Mexico. Brookings Institution Press.
Nazara, S. (2010). Ekonomi informal di Indonesia: ukuran, komposisi dan evolusi. ILO.
Permana, Y. (2023, April 26). Cipta Kerja Layak Makin Mendesak. Kompas.id. https://www.kompas.id/baca/opini/2023/04/25/cipta-kerja-layak-makin-mendesak
SMERU Research Institute. (n.d.). Perkembangan dan Stagnasi Mata Pencaharian Pekerja Informal di Negara Ekonomi Berkembang: Bukti Jangka Panjang dari Indonesia | The SMERU Research Institute. Smeru. https://smeru.or.id/id/research-id/perkembangan-dan-stagnasi-mata-pencaharian-pekerja-informal-di-negara-ekonomi-berkembang
Tadjoeddin, M. Z., & Chowdhury, A. (2019). Employment and Re-Industrialisation in Post Soeharto Indonesia. Palgrave Macmillan UK. https://doi.org/10.1057/978-1-137-50566-8
Theodora, A. (2022, May 25). Fatamorgana Pemulihan. Kompas.id. https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2022/05/18/analisis-fatamorgana-pemulihan
World Bank. (1993). The East Asian Miracle: Economic Growth and Public Policy : Summary. World Bank.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H