Kemalangan ini semakin ditimpa dengan laju pertumbuhan industri manufaktur yang kian menurun setiap tahunnya.Â
Fenomena penurunan kontribusi sektor manufaktur yang bahkan sebelum mencapai puncaknya menunjukkan Indonesia masuk ke deindustrialisasi prematur.
Fenomena deindustrialisasi prematur merugikan berbagai hal, khususnya tenaga kerja. Sektor manufaktur sebagai sektor yang padat nilai tambah dan tinggi produktivitasnya lambat laun mulai menurun laju pertumbuhannya.Â
Alhasil, penawaran kerja pada sektor manufaktur berkurang dan tidak dapat menyerap seluruh permintaan kerja.Â
Di sisi lain, pertumbuhan produktivitas sektor jasa yang lambat tidak dapat menjadi alternatif absolut dalam mengatasi dampak fenomena ini. Pekerja yang tidak terserap oleh kedua sektor tersebut kini dihadang oleh dua pilihan: menganggur atau bekerja di sektor informal.
Apabila disandingkan dengan kedua situasi tersebut, memilih bekerja di sektor informal merupakan pilihan yang bijak. Tentunya, hidup dengan adanya pemasukkan akan menjadi jauh lebih baik daripada tidak sama sekali.Â
Pemikiran ini kemudian mendorong 'mereka' untuk pindah ke sektor informal, yakni sektor jasa dan kewirausahaan dengan nilai tambah yang kecil.Â
Fenomena ini sekaligus menekankan bahwa motivasi seseorang berbisnis pada sektor informal bukanlah untuk menjadi kaya, melainkan sebagai cara mereka untuk bertahan (survival).
Transformasi Sektor Informal