“Jokowi adalah antitesis dari semua gaya dan model berpolitik para politisi selama ini.”
“Pertama apa, Jokowi ini kita lihat sebagai tesa, tesis, berpikir dan kerja, tesisnya kan begitu Jokowi. Lalu kita mencari antitesa, antitesa nya apa? Dari antitesa Jokowi ini yang cocok itu, Anies,"
Bagaimana dengan Kepemimpinan Indonesia Selanjutnya?
Dua pernyataan diatas mensinyalir bahwa kita sedang berada di tahun politik. Konteks pernyataan pertama merujuk pada waktu saat Jokowi digadang-gadang sebagai calon presiden di tahun 2014.
Konteks pernyataan kedua merujuk pada waktu setelah hampir satu dekade bapak Jokowi menahkodai Indonesia, dan sekarang saatnya bagi para penerus untuk unjuk gigi dan menjalankan kampanye politiknya.
Memang, ada beberapa figur yang kemudian bermunculan dan digadang-gadang sebagai penerus bangsa ini, mulai dari Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan juga Puan Maharani.
Namun, ketimbang pembahasan mengenai para penerus, kita justru lebih sering mendengar tentang bapak Jokowi, berbagai kehebatannya dan bahkan sempat ada rumor mengenai kelanjutannya di periode ketiga. Rumor tersebut dibantah, tetapi justru menjadi sebuah rumor yang menarik.
Rumor tentang perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi ke tiga periode utamanya dikarenakan naratif kesuksesan besar Jokowi dalam memajukan perekonomian Indonesia dan menyejahterakan masyarakatnya. Selain itu, karisma dan daya tarik Jokowi dalam memimpin juga menjadi perhatian sejak awal.
Namun, terlepas dari seberapa hebatnya seorang pemimpin, tidak ada seorang pun yang sempurna dan pastinya ada perbaikan, terutama dalam kebijakan ekonomi, yang masih dapat dilakukan.
Dalam aspek pembangunan jangka panjang sebuah negara, diperlukan mekanisme untuk memastikan kontinuitas namun juga error correction, agar pemerintah pada periode-periode selanjutnya dapat melanjutkan kebaikan dan juga membenahi kesalahan dari yang sebelumnya.
Apakah ada sistem yang dapat memastikan berjalannya hal tersebut?
Mengenal Konsep Antitesis dalam Konteks Kepemimpinan dan Indonesia
Teori dan konsep antitesis berangkat dari pemikiran seorang ahli yang bernama GW Friedrich Hegel. Hegel menuliskan bahwa sejarah berkembang secara dialektis, dengan fase tesis, antitesis, dan sintesis yang berurutan.
Antitesa kepemimpinan itu sendiri adalah perbedaan dan kebaruan dalam kepemimpinan.
Namun, konsep antitesis ini seringkali disalah artikan, dan maka dari itu harus bisa dipahami bahwa antitesis yang dibicarakan di dalam konteks teori dialektika, bukan semata-mata sebuah pernyataan pertentangan terhadap pemimpin tertentu.
Relasi tesis-antitesis-sintesis yang digagas oleh Hegel adalah relasi internal yang dihubungkan bersama untuk menjelaskan dan menyelesaikan kontradiksi internal dari hubungan itu sendiri.
Setiap tesis selalu menawarkan kontradiksi dalam dirinya, siapa pun dan sehebat apa pun orang itu, yang kemudian melahirkan kontradiksi. Kontradiksi dalam dialektika Hegelian ini tidak muncul di luar tesis tetapi justru di dalamnya.
Dialektika Hegel ingin mengajarkan kita untuk melihat realitas sebagai sebuah proses yang berhubungan erat dengan logika negasi. Tetapi negasi sebenarnya adalah antitesis, yang kemudian melampaui tesis dan antitesis sebelumnya.
Sejarah kepemimpinan Indonesia yang berganti dari periode ke periode, hampir bisa dikatakan semuanya berangkat dari teori antitesis, dimana ada calon presiden untuk menggantikan presiden sebelumnya.
Lalu, kita bisa melihat bagaimana setiap pemimpin baru Indonesia memiliki gaya memimpin yang berbeda, tetapi yang paling krusial adalah memiliki fokus kebijakan yang berbeda dengan sebelumnya.
Kita akan langsung mulai dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Selama 10 tahun memimpin, bapak SBY memiliki berbagai prestasi dalam memajukan perekonomian Indonesia, dan prestasi tersebut dibuktikan ketika ia berhasil membawa Indonesia ke dalam kelompok 20 ekonomi terbesar di dunia atau G20.
Keanggotaan G20 dapat dicapai karena bapak SBY berpegang pada salah satu pilar utama kebijakan pembangunan, yaitu kebijakan pro-growth, dimana ia mengklaim rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia periode 2009-2013 mencapai 5,9 persen, hanya di belakang Tiongkok dan India di kelompok G20.
Meskipun pemerintahan SBY berhasil menjaga stabilitas keamanan dalam negeri dan mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih tinggi dari pemerintahan sebelumnya, ia dianggap lemah dalam diplomasi internasional (Rahman, 2022), dan kebijakannya kurang memerhatikan pembangunan infrastruktur yang menghubungkan antara pertumbuhan ekonomi Jawa dengan non-Jawa.
Maka dari itu, dipilihlah Jokowi sebagai antitesis dari SBY, karena Jokowi menawarkan visi yang menjadi antitesis langsung dari pemerintahan SBY, yakni pemerataan pembangunan di seluruh daerah Indonesia.
Selain itu, latar belakang Jokowi yang merupakan seseorang yang sederhana dan tidak berasal dari keluarga konglomerat ataupun anggota militer dipandang sebagai antitesis dari latar belakang kepemimpinan presiden-presiden sebelumnya (Rahman, 2022).
Dalam acara Pertemuan Tahunan Bank Indonesia pada bulan November lalu, disebutkan bahwa rasio investasi yang masuk ke luar Pulau Jawa sudah mencapai 53 persen, meningkat signifikan jika dibandingkan ketika infrastruktur belum terbangun di Timur Indonesia.
Jokowi menyebutkan bahwa rasio diluar Jawa mencapai 53 persen, dibandingkan dahulu yang hanya mencapai 30 persen. Hal ini merupakan keberhasilan pembangunan infrastruktur yang telah menumbuhkan titik–titik pertumbuhan baru.
Esensi Demokrasi dan Antitesis dalam Pembangunan Jangka Panjang
Perubahan kepemimpinan yang termasuk dalam mekanisme antitesis memiliki dampak yang signifikan pada pembangunan ekonomi. Seorang pemimpin baru dapat membawa ide dan kebijakan yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan pada masanya.
Contoh antitesis kepemimpinan yang berdampak pada pembangunan ekonomi adalah pergantian kepemimpinan di Amerika Serikat pada tahun 2017.
Presiden Donald Trump menerapkan kebijakan yang berbeda dari pendahulunya, seperti pemotongan pajak perusahaan, pencabutan peraturan, dan negosiasi ulang kesepakatan perdagangan. Kebijakan ini menyebabkan peningkatan kepercayaan bisnis, pertumbuhan pasar saham, dan pengurangan pengangguran (Kopp et al., 2019).
Namun, hal itu juga menciptakan ketidakpastian dan mengganggu hubungan perdagangan dengan beberapa mitra dagang AS yang mengarah ke tarif dan sengketa perdagangan, yang pada gilirannya menyebabkan beberapa perlambatan di beberapa sektor dan kenaikan harga beberapa barang dan jasa (Altig et al., 2019).
Di sisi lain, ketika Presiden Joe Biden mulai menjabat pada tahun 2021, dia mengusulkan untuk menaikkan pajak perusahaan dan meningkatkan peraturan pada industri tertentu, seperti sektor energi dan keuangan, dengan tujuan menciptakan ekonomi yang lebih adil dan mengatasi perubahan iklim. Hal ini dapat mengarah pada ekonomi yang lebih berkelanjutan dan tangguh dalam jangka panjang.
Esensi antitesis juga dapat dilihat pada sejarah pembangunan ekonomi Inggris, salah satunya ketika Perdana Menteri Tony Blair menggantikan Margaret Thatcher sebagai Perdana Menteri pada tahun 1997.
Blair yang berasal dari Partai Buruh memiliki pendekatan ekonomi yang berbeda dari Thatcher yang berasal dari Partai Konservatif, dimana pemerintahnya menerapkan kebijakan seperti peningkatan belanja publik dan investasi di bidang infrastruktur, yang membantu mendorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja.
Selain itu, pemerintahan Blair juga memperkenalkan kebijakan yang mempromosikan kewirausahaan dan pertumbuhan usaha kecil, yang membantu mendiversifikasi ekonomi dan meningkatkan peluang investasi.
Kebijakan ini berkontribusi pada periode pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan pengangguran yang rendah di Inggris selama masa jabatan Blair sebagai Perdana Menteri.
Dengan contoh kasus diatas, kita bisa melihat bahwa sistem antitesis bekerja ketika adanya pergantian pemimpin, dan hal tersebut lebih banyak di sebuah sistem demokrasi, seperti Amerika Serikat dan Inggris.
Tetapi, bagaimana dengan negara otokrasi? Data dari Center for Economic and Policy Research menunjukkan bahwa Tiongkok, sebagai sebuah negara otokrasi, mampu memajukan perekonomiannya secara pesat, bahkan mencapai salah satu pertumbuhan tertinggi di dunia selama dua dekade terakhir.
Tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita yang berada di sekitar 10 persen per tahun telah menyebabkan salah satu penurunan terbesar dalam kemiskinan absolut yang pernah dialami dunia.
Mengapa beberapa negara otokrasi dapat berkinerja lebih baik daripada yang lain? Riset oleh Center for Economic and Policy Research menyimpulkan bahwa keberadaan institusi politik membuat pemimpin politik akuntabel dan bergantung pada kinerja kebijakan untuk bertahan di pemerintahan.
Dengan tidak adanya pemilihan presiden, apa insentif bagi para "elit" untuk mendukung pemimpin yang merumuskan kebijakan yang baik? Sebagai warga negara, kelompok ini tentu saja diuntungkan oleh kemakmuran ekonomi.
Namun, pada saat yang sama, mereka cenderung jatuh ke dalam perangkap kekuasaan dengan membentuk aliansi dengan para pemimpin otokratis.
Untuk alasan egois, para "elit" lebih cenderung menciptakan insentif berbasis kinerja untuk pemimpin mereka, dan akan dengan senang hati menurunkannya jika kinerjanya buruk.
Akuntabilitas otokratis juga berfungsi dalam situasi ini, selama faksi dapat tetap berkuasa dan menghukum pemimpin yang buruk.
Kasus diatas menunjukkan bahwa bahkan untuk sebuah otokrasi, antitesis merupakan sebuah hal yang bisa dilakukan, di mana para pemilih dapat mengendalikan dan mendisiplinkan kinerja yang buruk.
Di Tiongkok, pemilihnya terdiri dari sekitar 20 anggota Politbiro Partai Komunis. Ketika Hu Jintao menggantikan Jiang sebagai sekretaris jenderal pada tahun 2002, Jiang dikabarkan mencoba membujuk rekan-rekan Politbironya untuk mengizinkannya tetap berkuasa.
Namun ia gagal karena para pemilih takut ketimpangan pendapatan Tiongkok akan meluas di bawah kepemimpinan Jiang, sehingga menurunkan keberhasilan ekonomi secara keseluruhan.
Kemudian, riset oleh Center for Economic and Policy Research menunjukkan bahwa negara otokrasi dengan pertumbuhan tinggi harus memiliki tingkat pergantian kepemimpinan yang lebih tinggi daripada negara otokrasi dengan pertumbuhan rendah.
Otokrasi dengan pertumbuhan tinggi memiliki probabilitas perubahan kepemimpinan sebesar 13 persen, dan otokrasi dengan pertumbuhan rendah memiliki probabilitas sebesar 7 persen.
Tetapi mengapa demokrasi pada akhirnya tetap menawarkan situasi yang lebih baik daripada otokrasi? Antitesis memiliki aspek yang serupa dengan demokrasi, di mana kebebasan berpendapat dijunjung tinggi dan diterima dengan baik oleh pemimpin.
Demokrasi dan juga antitesis memiliki unsur inklusi, partisipasi dan akuntabilitas. Sedangkan otokrasi tidak begitu mendukung unsur-unsur tersebut.
Pernyataan bahwa demokrasi lebih akomodatif bagi sistem antitesis tercermin dalam dinamika kepemimpinan dan pertumbuhan ekonomi Tiongkok.
Awalnya, kesuksesan ekonomi Tiongkok dicapai dengan liberalisasi peraturan ekonomi yang dilakukan oleh Deng Xiaoping pada akhir 1970-an, dimana ia sadar akan pentingnya kebebasan kepemilikan pribadi. Usaha kecil mulai diperbolehkan, dan investasi asing juga diizinkan masuk.
Namun, kita bisa melihat bahwa pertumbuhan ekonomi Tiongkok sudah melambat dalam beberapa tahun terakhir. Salah satu masalah terbesarnya adalah upaya pemimpinnya untuk mengendalikan rakyat dan ekonominya.
Penanganan Presiden Xi dalam mengendalikan virus corona menunjukkan tangan besinya yang tidak dapat dilawan oleh masyarakat.
Kebijakan zero covid telah membuat kota-kota besar terkunci dan menutup pelabuhan. Hal ini dikombinasikan dengan pengendalian vaksin yang kacau, dimana rakyat Tiongkok hanya diperbolehkan menggunakan vaksin lokal.
Kebijakan lain yang menunjukkan bahwa pemimpin Tiongkok tidak memberi ruang perbaikan adalah saat ia memberlakukan peraturan membatasi sektor teknologinya, seperti kasus Ant Group yang menghambat inovasi lebih lanjut.
Hal tersebut menunjukkan bahwa Tiongkok tidak mendukung adanya sistem antitesis, karena pemimpinnya tidak menerima suara rakyat dan tidak memberi ruang untuk perbaikan.
Evaluasi dari Pemerintahan Jokowi
Dalam konteks Pilpres 2024, antitesis bukan berarti bahwa presiden yang terpilih nanti mengabaikan program pembangunan sebelumnya, tetapi yang terpilih justru perlu menyelesaikan kontradiksi sebelumnya.
Selama tujuh tahun masa jabatan Pak Jokowi, hasil pemerintahannya bisa dilihat secara objektif. Program pembangunan infrastruktur yang ekstensif, aset-aset utama Republik Indonesia telah pulih, dan perekonomian stabil.
Dan yang terpenting, Jokowi memiliki pemerataan pembangunan yang merata di seluruh daerah. Gerakan ini sedikit berbeda dengan gerakan para pendahulunya, yang seringkali disebut Jawa-sentris.
Dilansir dari lembaga riset Populi Center, tren kepuasan terhadap kinerja Jokowi-Ma’ruf pada tahun 2022 terus meningkat, dimana pada bulan Oktober mencapai 65,9 persen. Lima prioritas kerja presiden juga mendapatkan penilaian yang cukup baik, dengan angka terbesarnya pada program pemerataan pembangunan infrastruktur, yaitu sebesar 71 persen.
Namun, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, tidak ada seorang pun yang sempurna. Maka dari itu, patut dipertanyakan, siapakah tokoh selanjutnya yang dapat menjadi antitesis Presiden Jokowi dan apa saja kontradiksi pemerintahan Jokowi yang harus diselesaikan?
---
Diulas oleh: Unix Bryan Sadikin | Ilmu Ekonomi 2021 | Staf Divisi Kajian Kanopi FEB UI 2022
---
Daftar Pustaka
Armandani, K. (2014, October 20). Kebijakan Ekonomi Pro Pertumbuhan SBY. Ekonomi. https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20141020082925-99-6870/kebijakan-ekonomi-pro-pertumbuhan-sby
Conerly, B. (2022, September 1). China Economy Is Weakening. Forbes. https://www.forbes.com/sites/billconerly/2022/09/01/china-economy-is-weakening/?sh=2fdb7c8379e5
Faqir, A. A. (2022, November 30). Infrastruktur Makin Rata, Jokowi Optimis Banyak Sumber Ekonomi Baru di Luar Jawa. Merdeka.com. https://www.merdeka.com/uang/infrastruktur-makin-rata-jokowi-optimis-banyak-sumber-ekonomi-baru-di-luar-jawa.html
Kopp, E. A., Leigh, D., Mursula, S., & Tambunlertchai, S. (2019). U.S. Investment Since the Tax Cuts and Jobs Act of 2017. SSRN Electronic Journal, 2019(120). https://doi.org/10.2139/ssrn.3417718
Kudamatsu, M., & Besley, T. (2007, July 5). What can we learn from successful autocracies? CEPR. https://cepr.org/voxeu/columns/what-can-we-learn-successful-autocracies
Lindan, Z. (2022, October 20). Antitesa Kepemimpinan. Detiknews. https://www.google.com/amp/s/news.detik.com/kolom/d-6358866/antitesa-kepemimpinan/amp
Mulgan, G. (2017, February 17). Thesis, antithesis and synthesis: A constructive direction for politics and policy after Brexit and Trump. Nesta. https://www.nesta.org.uk/blog/thesis-antithesis-and-synthesis-a-constructive-direction-for-politics-and-policy-after-brexit-and-trump/
Rahman, N. A. (2022, October 14). Tesis Antitesis, “The New Political Noise” Jelang 2024? Aktual.com. https://aktual.com/tesis-antitesis-the-new-political-noise-jelang-2024/
Susanto, V. Y. (2022, October 26). Evaluasi Tiga Tahun Jokowi-Ma’ruf, Pemulihan Ekonomi Masih Jadi Tantangan Utama. Kontan.co.id. https://nasional.kontan.co.id/news/evaluasi-tiga-tahun-jokowi-maruf-pemulihan-ekonomi-masih-jadi-tantangan-utama
Wardi, R. (2013, August 9). Jokowi, Antitesis Gaya Politik yang Ada Selama Ini. Beritasatu.com. https://www.google.com/amp/s/www.beritasatu.com/news/130764/jokowi-antitesis-gaya-politik-yang-ada-selama-ini/amp
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H