Namun, pada saat yang sama, mereka cenderung jatuh ke dalam perangkap kekuasaan dengan membentuk aliansi dengan para pemimpin otokratis.Â
Untuk alasan egois, para "elit" lebih cenderung menciptakan insentif berbasis kinerja untuk pemimpin mereka, dan akan dengan senang hati menurunkannya jika kinerjanya buruk.
Akuntabilitas otokratis juga berfungsi dalam situasi ini, selama faksi dapat tetap berkuasa dan menghukum pemimpin yang buruk.Â
Kasus diatas menunjukkan bahwa bahkan untuk sebuah otokrasi, antitesis merupakan sebuah hal yang bisa dilakukan, di mana para pemilih dapat mengendalikan dan mendisiplinkan kinerja yang buruk.
Di Tiongkok, pemilihnya terdiri dari sekitar 20 anggota Politbiro Partai Komunis. Ketika Hu Jintao menggantikan Jiang sebagai sekretaris jenderal pada tahun 2002, Jiang dikabarkan mencoba membujuk rekan-rekan Politbironya untuk mengizinkannya tetap berkuasa.Â
Namun ia gagal karena para pemilih takut ketimpangan pendapatan Tiongkok akan meluas di bawah kepemimpinan Jiang, sehingga menurunkan keberhasilan ekonomi secara keseluruhan.
Kemudian, riset oleh Center for Economic and Policy Research menunjukkan bahwa negara otokrasi dengan pertumbuhan tinggi harus memiliki tingkat pergantian kepemimpinan yang lebih tinggi daripada negara otokrasi dengan pertumbuhan rendah.Â
Otokrasi dengan pertumbuhan tinggi memiliki probabilitas perubahan kepemimpinan sebesar 13 persen, dan otokrasi dengan pertumbuhan rendah memiliki probabilitas sebesar 7 persen.
Tetapi mengapa demokrasi pada akhirnya tetap menawarkan situasi yang lebih baik daripada otokrasi? Antitesis memiliki aspek yang serupa dengan demokrasi, di mana kebebasan berpendapat dijunjung tinggi dan diterima dengan baik oleh pemimpin.Â
Demokrasi dan juga antitesis memiliki unsur inklusi, partisipasi dan akuntabilitas. Sedangkan otokrasi tidak begitu mendukung unsur-unsur tersebut.
Pernyataan bahwa demokrasi lebih akomodatif bagi sistem antitesis tercermin dalam dinamika kepemimpinan dan pertumbuhan ekonomi Tiongkok.Â