Hal ini juga terkait dengan tradisi lokal untuk mengamankan masa depan ekonomi bagi anak perempuan dan menjalin ikatan ekonomi keluarga. Alasan lainnya meliputi persepsi tentang perlindungan perempuan, serta usaha mengendalikan perilaku dan seksualitas.
Happily ever after?
Ada beberapa masalah dan akibat dari pernikahan dini. Pertama, hal tersebut menentang Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yang menekankan bahwa manusia seharusnya memasuki pernikahan hanya dengan persetujuan sukarela dari kedua calon pasangan.Â
Kedua, ada konsekuensi kesehatan yang merugikan bagi ibu dan anak akibat melahirkan pada usia yang sangat muda dan perempuan cenderung tidak menerima perawatan maternitas yang dibutuhkan.Â
Riset menunjukan bahwa perempuan yang mencapai setidaknya pendidikan menengah, cenderung mencapai usia pernikahan yang lebih tua.Â
Dampaknya, hal ini meningkatkan kemampuan perempuan untuk mengelola kesuburan dan perawatan ibu untuk anak-anak mereka, termasuk gizi dan keberhasilan di sekolah (Sen 2013; Sen dan stlin 2007).Â
Ketiga, pernikahan dini menjadi penghalang untuk melanjutkan pendidikan. Meninggalkan sekolah lebih awal memiliki konsekuensi yang besar.
Hal ini mengurangi prospek penghasilan perempuan, yang kembali lagi dapat berkontribusi pada posisi tawar dalam rumah tangga mereka yang buruk. Kesenjangan pendidikan antara pasangan membuat kesenjangan kekuatan dalam rumah tangga.Â
Terakhir, dari aspek psikologis, pernikahan dini dapat menimbulkan ketidakharmonisan keluarga. Hal ini karena pelakunya masih dalam tahap peralihan dari masa kanak-kanak menuju dewasa.Â
Pada fase transisi ini, mereka belum memiliki kepribadian dan cara berpikir yang matang sehingga rawan konflik.Â
Kemudian Konflik-konflik tersebut pasti akan berdampak pada terganggunya keharmonisan keluarga. Secara linear, pernikahan dini merupakan sebagai salah satu penyebab kekerasan dalam rumah tangga dan juga tingginya angka perceraian (Lauma Kiwe, 2017).