Pemerintah yang mensponsori program beasiswa internasional menganggap bahwa manfaat mengenyam pendidikan tinggi di luar negara asal berbeda dengan manfaat yang diperoleh dari mengenyam pendidikan tinggi di dalam negeri.Â
Knight (1993) menggambarkan internasionalisasi pendidikan tinggi sebagai 'proses mengintegrasikan dimensi internasional/antarbudaya ke dalam fungsi pengajaran, penelitian dan layanan lembaga.'Â
Namun, beberapa ahli berpendapat bahwa beberapa negara menganggap internasionalisasi bukan sebagai tujuan, melainkan sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih luas, misalnya perbaikan mutu.
Pendidikan tinggi kini telah menjadi bagian nyata dari proses globalisasi: bertemunya penawaran dan permintaan pasar lintas batas antara penawaran dan permintaan tenaga kerja dalam lintas batas.Â
Internasionalisasi pendidikan tinggi juga merupakan bagian integral dari perekonomian global dan pergerakan tenaga kerja (capital movements).Â
Dengan mengambil keuntungan dari pendidikan berkualitas tinggi yang sudah berlangsung lama di negara lain, program ini dapat membangun perspektif internasional dari masyarakat negara asal, mempromosikan transfer pengetahuan (technological transfer), dan mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan oleh pemberi kerja (Knight, 2006, Varghese, 2008).Â
Di seluruh dunia, 2% dari semua siswa pendidikan tinggi (sekitar 3,5 juta orang) belajar di negara asing pada tahun 2018 (UNESCO Institute for Statistics, 2018).Â
Meskipun persentasenya kecil, potensi manfaat belajar di luar negeri bagi kesejahteraan individu dan masyarakat mungkin besar, terutama di negara yang sedang mengalami transisi ekonomi dan politik.Â
Implementasi yang Tidak Tuntas
Implementasi LPDP dalam meningkatkan modal manusia tampaknya belum tuntas. Pertama, tidak memiliki mekanisme untuk menegakkan kebijakan pengembalian.Â
Penerima beasiswa wajib menandatangani perjanjian yang mengikat secara hukum untuk kembali ke Indonesia setelah lulus dan membayar kembali jumlah beasiswa yang diberikan jika melanggar.Â