Fenomena urban sprawl Jakarta justru mencapai puncaknya pada periode pasca kemerdekaan Indonesia, di mana ibukota tersebut mengalami peningkatan jumlah penduduk yang sangat drastis.
Untuk memberi gambaran kasar, populasi Jakarta hanya berjumlah 409,475 pada tahun 1930, namun telah meningkat menjadi 1.43 juta pada 1950, 2.91 juta pada 1960 dan 4.47 juta pada 1970 dengan tingkat annual pertumbuhan penduduk yang dapat mencapai 10.35% (Fahmi, Firman, Rukmana, 2018).
Sehingga akhirnya pada 2020, Jakarta, dengan luas wilayah sebesar 664 km2, sudah menumpang lebih dari 10 juta penduduk. Peningkatan drastis ini juga terlihat jelas di Kota Metropolitan Jakarta yang mencakupi kota-kota satelit Bogor, Bekasi, Depok dan Tangerang.
Pada tahun 1980, metro ini yang mempunyai luas 5,500 km2 ditempati 11.91 juta penduduk, namun 30 tahun kemudian sudah ditempati 28.02 juta manusia pada tahun 2010.
Mengapa Urban Sprawl Terjadi di Jakarta?
Secara garis besar, meningkatnya jumlah penduduk akan menghasilkan permintaan tempat permukiman baru, yang selanjutnya dapat mengakibatkan urban sprawl.
Menurut analis tata kota Yayat Supriatna  (2019), fenomena ini 'muncul seiring pertumbuhan penduduk, urbanisasi, dan berdirinya pusat kegiatan masyarakat, gedung, apartemen, hotel hingga bertambah fasilitas jalan'.
Akan tetapi, Supriatna juga mengatakan bahwa urban sprawl bukan akibat tunggal dari peningkatan jumlah penduduk di suatu wilayah, melainkan suatu 'gejala modern' yang dikarenakan oleh konsep pembangunan yang tidak direncanakan secara matang.
Ada berbagai alasan lain mengapa pembangunan Jakarta mengalami urban sprawl. Menurut Jan Brueckner & David Fansler (1983), urban sprawl bukan hanya diakibatkan oleh kenaikan penduduk kota, tetapi juga kenaikan pendapatan dan penurunan biaya perjalanan.
Ini juga bisa terlihat dari pembangunan berbagai jalan tol serta kenaikan produk domestik regional bruto per kapita Jakarta yang mendukung urban sprawl. Namun, perkembangan urban sprawl di Jakarta juga dipengaruhi besar oleh berbagai peristiwa sejarah.
Selain kedatangan para perantau yang bermukim di pinggiran-pinggiran Jakarta karena infrastruktur dan fasilitasnya yang lebih memadai (Goldblum & Wong, 2000), rangkaian deregulasi dan debirokratisasi  yang ditetapkan oleh pemerintah Suharto selama dekade 1980an menyebabkan wilayah pertanian dan hutan di pinggiran kota untuk dikonversi secara masif menjadi subdivisi dan kota-kota baru yang besar (Silver, 2008).
Konversi tersebut didukung oleh Instruksi Presiden Nomor 13 yang ditetapkan pada 1976, yang membatasi urbanisasi kota Jakarta dengan mengembangkan kegiatan industri dan perdagangan di wilayah sekitarnya (Rosalina, 2019).