"Fenomena Citayam Fashion Week itu adalah gerakan organik akar rumput yang tumbuh kembangnya harus natural dan organik pula."
"Jikapun ingin diorganisasikan lebih baik, biarlah mereka sendiri yang mengurusnya melalui komunitasnya. Oleh mereka bukan anda."
- Ridwan Kamil
Dunia maya sedang diguncang oleh pergerakan baru yang dikelola di daerah Dukuh Atas-Sudirman Citayam Fashion Week.Â
Citayam Fashion Week dimulai oleh remaja-remaja asal Citayam yang sering kali bersantai atau bersosialisasi di daerah Sudirman-Dukuh Atas dengan gaya mereka yang eksentrik dan unik.Daerah tersebut awalnya hanya menjadi tempat kunjungan mereka untuk berlibur dan jalan-jalan.Â
Namun, saat ini daerah tersebut menjadi sebuah ruang untuk remaja-remaja tersebut mengekspresikan diri melalui pakaian baju mereka, bahkan sering disebut mengikuti ajang Paris Fashion Week atau New York Fashion Week.Â
Kehebohan yang diiringi dengan kebesaran fenomena ini mendatangkan berbagai kritik yang memihak ataupun melawan keberadaan acara ini. Namun, satu hal yang pasti, Citayam Fashion Week merupakan tanda permulaan budaya baru di Jakarta. Â
Zebra Cross yang digunakan untuk remaja-remaja tersebut melakukan fashion show mereka di Jalan Tanjung Karang Dukuh Atas untuk memperlihatkan gaya mereka mungkin terinspirasi dari orang-orang Jepang yang menggunakan persimpangan Harajuku dan Shibuya.Â
Secara tidak sengaja, aksi ini mencetak sebuah lembaga atau institusi informal di Indonesia melalui personal branding remaja-remaja Citayam di Stasiun  Dukuh Atas, Sudirman yang dapat menjadi pergerakkan yang menguntungkan bagi perekonomian Indonesia.
Fenomena ini mengangkat banyak sekali hal baru dan unik yang dapat dinikmati oleh masyarakat Indonesia. Satu hal yang paling menarik mengenai persoalan ini adalah pemberian nama "Citayam" untuk sebuah acara yang diadakan di daerah Sudirman.Â
Memang remaja-remaja yang berdatangan mayoritas berdomisili "daerah penyangga Jakarta seperti Citayam, Bojong Gede, dan Depok" (CNN Indonesia, 2022), tetapi nama-nama seperti New York Fashion Week, Harajuku Crossing, ataupun Paris Fashion Week diadakan di daerah-daerah yang namanya sendiri tercantum dalam  fenomena tersebut.Â
Lantas, mengapa warga-warga yang asalnya sendiri dari tepi Jakarta memilih untuk pergi jauh dari alamat rumahnya untuk membangun sebuah acara yang mewadahi bagian atau kultur mereka jika mereka sebenarnya memiliki pilihan untuk mengunjuk rasa kultur mereka di daerah asal mereka?
Pergerakan Natural Citayam Fashion Week
Sebuah lembaga atau institusi diberikan definisi sebagai aturan main dalam sebuah masyarakat, sebuah batasan yang dirancang secara manusiawi yang membentuk interaksi antar manusia, suatu hal yang menyusun insentif dalam pertukaran manusia, baik secara politik, sosial, atau ekonomi (North, 1990, p. 1).Â
Suatu institusi mendukung terbitnya regulasi atau norma-norma yang ada dalam kehidupan sosial yang ada di dunia (Dobler, 2011, p. 10-60), dan keberadaan institusi ada di seluruh aspek di dunia untuk memastikan bahwa massa dapat memprediksi rutinitas atau perilaku masyarakat lain dalam kehidupan sehari-hari.Â
Asal permulaan Citayam Fashion Week diawali dengan beredarnya video-video wawancara yang menggunakan busana yang eksentrik dan khas dengan satu sama lain.Â
Pakaian atau gaya yang terinspirasi dari street wear kultur Barat dimodifikasi oleh remaja-remaja ini yang berkunjung ke daerah Dukuh Atas untuk tamasya, bersantai, dan bercengkrama dengan satu sama lain.Â
Beberapa pembuat konten yang memulai kebudayaan ini seperti Bonge, Jeje, dan juga Roy (Kompas, 2022), akhirnya memiliki panggung penonton yang menginspirasi banyak orang untuk melakukan hal yang sama dan turut serta mengikuti  budaya yang dimulainya, menjadikannya sebuah pergerakan yang dapat dikatakan natural perkembangannya.Â
Walaupun terdapat banyak masyarakat yang kerap menertawakan aksi remaja-remaja tersebut melalui media sosial, dapat ditekankan bahwa kebudayaan Citayam memiliki kekuatan dan hubungan mengikat antara remaja-remaja di lingkungan tersebut.
Itu terutama ketika terjadi  ketegangan integrasi antara partisipan Citayam Fashion Week dan masyarakat yang menentang keberadaan acara tersebut.Â
Institusi yang ada merupakan bagian dari perikemanusiaan, suatu hal yang tidak dapat dihindari dan tidak dapat dipaksakan untuk terjadi. Keterkaitan manusia mengikuti pola tertentu, yang memungkinkan perhitungan-perhitungan sebelumnya (Dobler, 2011, p. 10-60), dan akhirnya menjadi bagian dari institusi atau kultur sehari-hari manusia di suatu daerah.Â
Hal yang sama dapat dikatakan untuk fenomena Citayam Fashion Week, di mana fenomena ini merupakan sebuah "gerakan organik" yang pastinya akan terjadi menurut Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil.Â
Warga Citayam setempat yang mendatangi daerah Dukuh Atas dengan gaya mereka merupakan norma dan cara mereka mengekspresikan diri mereka sendiri, sebuah sistem nilai masyarakat yang mereka gunakan untuk menilai pakaian-pakaian mereka dengan cara melakukan fashion show tersebut.Â
Tak dapat dimungkiri bahwa hal tersebut menjadi sebuah institusi informal atau informal institution yang ada di Indonesia, yaitu sebuah budaya yang dimiliki oleh orang-orang yang menghadiri ajang fashion week tersebut (Dobler, 2011, p. 61-122).Â
Sebuah hal yang cukup besar lingkupnya tidak terjadi dalam seketika, tetapi  didorong oleh  keberadaan media sosial yang memviralkan fenomena tersebut.Â
Budaya media sosial yang memaparkan keunikan dan khas dari sebuah kelompok masyarakat yang berkumpul di daerah dengan pakaian atau norma sosial yang sama dapat mengajak orang-orang lain untuk mengikuti kegiatan mereka dengan pengetahuan dari media sosial (Republika, 2022),Â
Citayam, tetapi di Jakarta?
Fenomena ini mengangkut satu pertanyaan  menarik  oleh masyarakat sekitar -mengapa kejadian ini dinamakan Citayam Fashion Week walaupun terletak di pusat kota Jakarta?Â
Salah satu hal yang memang menyebabkan terjadinya hal tersebut dikarenakan yang mendirikan fenomena tersebut adalah warga-warga Citayam, Bojong Gede, dan daerah lain yang berada di pinggiran Jakarta.Â
Di sisi lain, dapat juga dipertanyakan mengapa ajang mode mereka tidak dapat dilakukan di daerah-daerah asal mereka?
Penting diingat bahwa Jakarta merupakan ibukota yang memiliki salah satu perkembangan yang paling pesat dibandingkan kota-kota lain di Indonesia, terutama di kawasan Jabodetabek.Â
Kota Jakarta merupakan pusat kegiatan ekonomi dan investasi, yang membuatnya mencolok dibandingkan daerah-daerah sekitarnya (Arifianto, 2022).Â
Sebagai kota utama bagi kawasan Jabodetabek, arus urbanisasi di DKI Jakarta yang semakin pesat  menyebabkan konsentrasi pemerintah yang cukup signifikan terhadap perkembangan infrastruktur di beberapa bagian di Jakarta, terutama di kawasan bisnis seperti Jakarta Pusat.Â
Wilayah Jakarta Pusat sendiri merupakan wilayah ditempatkannya administrasi pemerintah, pusat perbelanjaan, dan juga wisata kota yang menunjukkan budaya DKI Jakarta (Martini, 2011).
Sehingga penampilan daerah tersebut jadi lebih menarik dan menjadi kunjungan anak-anak remaja tersebut (Doku & Assante, 2011, p. 2).Â
Namun, dengan fokus "ekstra" yang diberikan oleh pemerintah terhadap urbanisasi suatu bagian di Jakarta, dapat digaris bawahi bahwa remaja-remaja tersebut mendatangi daerah Dukuh Atas Jakarta karena kurangnya fokus pemerintah terhadap daerah-daerah pinggiran Jakarta (Jabodetabek) ataupun daerah Jakarta yang minim transaksi bisnisnya.Â
Hal ini menunjukkan bahwa ketimpangan ekonomi di antara daerah-daerah pinggiran dan pusat Jakarta masih sangat tinggi, terutama sejak pandemi COVID-19.
Berdasarkan data BPS, indeks GINI Jakarta yang bernilai 0,411 di bulan September 2021 meningkat menjadi 0,423 pada bulan Maret 2022 (Ramadhan, 2022).Â
Dengan ketimpangan tersebut, penting untuk diakui bahwa infrastruktur di luar wilayah Jabodetabek masih belum memadai untuk menyelenggarakan sebuah acara fashion show karena akses yang belum menyangga dan sarana transportasi yang tidak memadai . Intinya, budaya Citayam Fashion Week tidak akan susah untuk terealisasi jika tidak dilaksanakan di pusat kota Jakarta.
Ruang Publik dan Transportasi UmumÂ
Meskipun dianggap "tak bermutu" oleh beberapa pihak yang menentang fenomena tersebut, acara seperti Citayam Fashion Week memiliki potensi untuk mengembangkan ekonomi Indonesia.Â
Penting untuk kita ingat bahwa Citayam Fashion Week diselenggarakan di ruang publik, khususnya di daerah pusat transportasi umum di Jakarta.Â
Berdasarkan teorinya, barang publik dalam ekonomi merupakan barang-barang yang tidak dapat disaingi, tidak memiliki pengecualian, dan dapat digunakan oleh siapapun -- sama halnya dengan ruang publik di sekitar Stasiun Kereta Dukuh Atas, Jakarta Pusat.Â
Tempat umum yang disediakan oleh pemerintah di daerah tersebut seringkali menjadi daerah yang kerap  dikunjungi oleh turis dan juga warga di luar Jabodetabek.Â
Terjadinya fenomena Citayam Fashion Week yang diiringi oleh infrastruktur ruang publik tertata di daerah tersebut juga memudahkan masyarakat untuk mengakses ruang publik tersebut. Â
Peningkatan infrastruktur ruang publik memang tidak menjamin  peningkatan konsumsi atau aktivitas warga negara di tempat tersebut, tetapi hal ini dapat menjadi sebuah kesempatan bagi pemerintah untuk mengurangi ketimpangan daerah.Â
Sebelum adanya fenomena Citayam Fashion Week, daerah Dukuh Atas sudah menjadi kawasan yang sering dikunjungi berbagai pihak karena ruang publiknya yang terus dikembangkan dan adanya fasilitas transportasi umum yang disediakan oleh negara sehingga orang-orang memiliki keinginan untuk mengunjungi daerah tersebut.
Selain itu, daerah Dukuh Atas dihidupkan juga oleh fenomena ini yang memajukan UMKM yang berada di sekitarnya (Kompas Cyber Media, 2022).Â
Maka dari itu, infrastruktur ruang publik penting untuk ditingkatkan di setiap daerah di Indonesia untuk mengurangi ketimpangan ekonomi antar daerah, terutama karena masih sedikitnya  ruang publik yang didukung perkembangannya oleh pemerintah Indonesia.Â
Seperti yang dibuktikan oleh Citayam Fashion Week, subkultur atau norma baru dapat dinikmati oleh semua orang hanya melalui perhatian "ekstra" pemerintah maupun masyarakat Indonesia.Â
Diulas oleh: Fibula Aikonadaa Patiroi | Ilmu Ekonomi 2021 | Staff Divisi Kajian Kanopi FEB UI 2022
Referensi:
Arifianto, B. (2022, July 24). Citayam fashion week, Okupasi Balik Muda Mudi Daerah Terhadap Ruang Ibu Kota Negara. Pikiran-Rakyat.com. Retrieved July 29, 2022
Dobler, C. (2011). Institutions -- a theoretical approach. In The Impact of Formal and Informal Institutions on Economic Growth: A Case Study on the MENA Region (NED-New edition, pp. 10--60). Peter Lang AG.
Dobler, C. (2011). Institutions -- an empirical approach. In The Impact of Formal and Informal Institutions on Economic Growth: A Case Study on the MENA Region (NED-New edition, pp. 61--122). Peter Lang AG.Â
Doku, P. N., & Assante, K. O. (2011). Identity: Globalization, Culture and psychological functioning. International Journal of Human Sciences, 8(2), 2-3.
Kompas Cyber Media. (2022, July 27). Jadi Kebangkitan Ekonomi Kreatif, APA Untungnya jika Citayam fashion week Miliki HAKI? KOMPAS.com.Â
Martini, E. (2011). Perkembangan Kota Menurut parameter Kota (Studi Kasus: Wilayah Jakarta Pusat). Neliti - Indonesia's Research Repository.
Ramadhan, A. S. (2022, July 15). Penduduk Sangat Miskin Bertambah Dua Ribu orang, Tingkat Ketimpangan Di Jakarta juga Ikut Naik. suara.com.Â
Republika. (2022, July 25). Pakar Kajian Budaya: Citayam fashion week Bentuk Artikulasi Kultural |Republika online. Republika Online.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H