Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Money

Pemekaran Wilayah: Katalis yang Efektif untuk Membangkitkan Perekonomian Papua?

8 Juli 2022   18:58 Diperbarui: 29 Juli 2022   23:42 938
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perbincangan mengenai “Papua” merupakan suatu hal yang dihindari. Namun saat dibicarakan, orang-orang membicarakannya dengan antusiasme tinggi. Pembicaraan mengenai wilayah yang terletak di paling timur Republik Indonesia ini terkesan seperti sebuah Kotak Pandora, yang jika dibuka, akan mengeluarkan diskusi-diskusi rumit mengenai hak kekuasaan negara Indonesia atas wilayahnya, konflik yang terjadi antara suku-sukunya, dan masa depannya yang terang sekaligus buram.

Maka pada 30 Juni 2022, saat DPR Indonesia mengesahkan tiga Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Daerah Otonomi Baru (DOB) menjadi Undang-Undang (UU), tertimbun berbagai reaksi yang kuat dan bertentangan. 

Jika isi RUU-nya dikaji, reaksi-reaksi tersebut dapat dengan mudah dimengerti: dengan pengesahan ketiga RUU tersebut Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah dan Provinsi Papua Pegunungan telah mekar dari Provinsi Papua. Diskusi mengenai Papua di media massa kali ini diarahkan kepada potensi dampak-dampak dari pemekaran tersebut.

Figur 1: Pemekaran Wilayah Papua
Figur 1: Pemekaran Wilayah Papua

Provinsi Papua Selatan (warna hijau), Provinsi Papua Tengah (warna abu-abu), Provinsi Papua Pegunungan (warna biru), dan Provinsi Papua (warna ungu). Sumber: Wantok -- wikimedia.org

Ketua Komisi II DPR, Ahmad Doli membenarkan pemekaran Provinsi Papua ini atas alasan  pemerataan pembangunan dan peningkatan pelayanan publik. Tentunya, jika pengelolaan provinsi Papua yang mempunyai luas lebih dari 300,000 km2 bisa didelegasikan dengan baik kepada 3 gubernur baru, justifikasi Ahmad Doli terdengar logis. Dengan terbentuknya Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah dan Provinsi Papua Pegunungan, setiap wilayah bisa dikelola dengan lebih efisien dan dapat “mempercepat kesejahteraan dan mengangkat harkat martabat masyarakat [di Papua]”.

Walaupun wilayah Papua telah diberikan janji kesejahteraan dari pemekarannya, pernyataan itu tidak diterima secara mentah oleh kalangan aktivis dan tokoh adat. Pengacara HAM Veronica Koman telah menilai pemekaran ini sebagai upaya pemerintah Indonesia untuk memecah dan menaklukkan “identitas” dan “resistensi” Papua. Sebelumnya, pada tanggal 3 Juni, sebuah demonstrasi di Timika, Papua menunjukkan pertentangan terhadap rencana pemerintah Indonesia untuk membentuk DOB di wilayah Papua. Ketua Majelis Papua, Timotus Murib, menyatakan legislasi ini disahkan tanpa konsultasi yang cukup dari tokoh-tokoh Papua, dan akan menyebabkan migrasi orang “non-pribumi Papua” ke daerah dan jabatan pos pemerintah daerah Papua.

Terlepas dari masalah “identitas suku” dan “penjajahan Jakarta atas Papua”, suatu pandangan yang lebih objektif bisa didapatkan melalui lensa pembangunan perekonomian. Tito Karnavian, Menteri Dalam Negeri menyatakan bahwa legislasi pemekaran wilayah Papua dapat mengakselerasi perkembangannya. Dengan perkembangan yang diakselerasi, masyarakat-masyarakat Papua dapat menikmati hidup sejahtera dengan lebih cepat. Dari sini terdapat asumsi bahwa pemekaran wilayah provinsi Papua akan memperbaiki ekonominya.

Lantas, apa sebenarnya dampak pemekaran suatu wilayah pada perekonomiannya? Apakah strategi ini selalu berhasil? Dan apa saja implikasi yang harus dipertimbangkan kalau pemekaran Papua tetap dilakukan?

Sejarah Pemekaran Wilayah di Indonesia, Apa Dampaknya? 

Pemekaran wilayah adalah suatu pembentukan daerah baru yang dapat berupa provinsi, kabupaten, atau kota (Rorong, 2018). Sejarah pemekaran wilayah di Indonesia selalu dikaitkan dengan upaya desentralisasi dan hak otonomi oleh ‘masyarakat lokal’. Sebagai negara berkembang, kasus-kasus pemekaran di Indonesia sangat lazim terutama pasca Orde Baru. Dalam upaya desentralisasi di era reformasi, pemerintah menetapkan UU No. 22 Tahun 1999 – yang  direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004 – tentang Otonomi Daerah Pemerintah Daerah. UU ini menerangkan peran masyarakat lokal dalam membangun daerahnya masing-masing.

Selain UU, pemerintah Indonesia juga menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) yang menjelaskan “Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, Dan Penggabungan Daerah”. “Euforia reformasi” yang muncul setelah tumbangnya Orde Baru (Suparman, 2016) mendorong keinginan masyarakat untuk mengajukan pemekaran dan otonomi yang lebih kuat di wilayahnya sendiri. Euforia ini yang didukung oleh terbitnya UU dan PP Pemekaran WIlayah telah mengakibatkan pemekaran 176 daerah otonom baru (DOB) yang terdiri dari 4 provinsi dan 172 kabupaten/kotamadya dari tahun 2001-2014 (Kementerian Dalam Negeri, 2014). Pada tahun 2016, dari 542 daerah otonom yang ada di Indonesia, 223 darinya merupakan DOB.

Pengajuan pemekaran daerah dilakukan karena berbagai alasan. Di satu sisi, alasan umum dari masyarakat untuk mengajukan pemekaran adalah karena ketimpangan kesejahteraan yang besar diantara wilayah domisilinya dengan wilayah lain dan pelayanan publik yang kurang memadai (Maulana & Saraswaty 2019). Di sisi lain, tujuan yang ditegaskan pemerintah atas pemekaran daerah terdapat di pasal 2 PP 129 Tahun 200, dimana “percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah”, “percepatan pengelolaan potensi daerah”, “peningkatan keamanan dan ketertiban” dan “peningkatan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah” merupakan aspek-aspek kesejahteraan masyarakat yang diharapkan akan meningkat setelah pemekaran.

Jika dilihat dari lensa ilmu ekonomi, pemekaran wilayah atau pembentukan DOB dapat membawa keuntungan desentralisasi fiskal (Wisudarini & Riyanto, 2021). Dengan desentralisasi fiskal, badan pemerintah yang baru dapat menarik Pajak Daerah serta Dana Perimbangan – yang berupa Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus – sebagai sumber dana bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) wilayah hasil pemekaran. Dengan tambahan Dana Perimbangan dan APBD, pengeluaran pemerintah yang lebih besar dapat meningkatkan permintaan agregat dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) wilayah tersebut.

Dengan adanya ekspektasi bahwa kesejahteraan, pelayanan publik, dan pengeluaran pemerintah akan menjadi lebih tinggi setelah pemekaran wilayah, pemekaran tersebut dapat dikatakan berhasil jika Indeks Pembangunan Manusia (IPM), PDRB serta PDRB per kapita meningkat di wilayah barunya meningkat (Rorong, 2018). Dengan indikator-indikator tersebut, skala produktivitas, pemerataan, kesinambungan, pemberdayaan masyarakat setempat serta seluruh unit kegiatan ekonomi dapat diukur secara objektif.

Terdapat banyak kasus pemekaran wilayah yang menimba hasil positif dalam pertumbuhan ekonomi wilayahnya. Di antaranya: pemekaran kabupaten-kabupaten di wilayah pesisir provinsi Bengkulu telah meningkatkan PDRB per Kapita di wilayah tersebut (Arianti, N. & Cahaydinata, I., 2014); Pemekaran Kota Tual dari wilayah Kabupaten Maluku Tenggara telah meningkatkan PDRB, PDRB per Kapita, pengeluaran konsumsi per kapita dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) daerahnya; serta Pemekaran Kepulauan Talaud dari kabupaten Sangihe telah meningkatkan PDRB per kapita di wilayahnya.

Apakah Keuntungan Ekonomi Pemekaran Mudah Terealisasi?

Walaupun efektivitas pemekaran wilayah terdengar ideal melalui pandangan desentralisasi fiskal dan kasus-kasus berhasil sebelumnya, dampak dan efektivitasnya tidak selalu efektif dalam dunia nyata.

Ketidakefektifan ini bisa dilihat dari sebuah penelitian oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)  dan United Nations Development Programme (UNDP) pada tahun 2008. Dari penelitian ini yang mengevaluasi dampak pemekaran daerah Indonesia dalam periode 2002-2007, terungkap bahwa 80% DOB “gagal” dalam memperbaiki kesejahteraan kehidupan masyarakat di wilayah hasil pemekaran. 

Ternyata, kesejahteraan masyarakat di DOB tetap berada di dalam kondisi yang sama atau lebih buruk, dan penduduk miskin juga menjadi lebih “terkonsentrasi” di daerah tersebut. Hal ini dikarenakan keterbatasan sumber daya alam dan sumber daya manusia di wilayah hasil pemekaran, dan dukungan pemerintah dan investasi yang belum maksimal dalam menggerakkan perekonomian wilayahnya. Penelitian Bappenas dan UNDP juga mengungkapkan bahwa anggaran pemerintah, kinerja pelayanan publik, dan kinerja aparatur relatif kurang optimal di DOB dibandingkan daerah induknya.

Beberapa penelitian lain juga mengungkap ketidakefektifan pemekaran wilayah terhadap perekonomian. Direktur Jenderal Otoritas Daerah telah menekankan bahwa dari evaluasi 57 daerah otonomi yang berumur kurang dari tiga tahun pada 2011-2012, penilaian efektivitasnya bernilai “kurang”, dan pertumbuhan ekonomi DOB lebih fluktuatif jika dibandingkan dengan daerah induk yang meningkat secara stabil. 

Selain itu, sebuah penelitian dari Asian Journal of Innovation and Entrepreneurship (2019) yang menganalisis perkembangan kesejahteraan masyarakat dari 150 DOB selama periode 2004-2017 mengungkapkan bahwa 94% tingkat kesejahteraan daerah pemekaran di Indonesia masih tergolong “sedang dan rendah”, dan dengan demikian membuktikan ketidakefektifan implementasi pemekaran daerah dalam mempercepat kesejahteraan masyarakat.

Kasus-kasus pemekaran wilayah yang gagal dalam mensejahterakan wilayahnya bisa membingungkan. Menurut Peneliti Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman (2016), walaupun jarak pelayanan publik pada DOB diperpendek setelah pemekaran, efektivitas dan efisiensinya tidak menjadi lebih baik secara otomatis. Alasan ini didukung oleh suatu fakta bahwa 90-95% APBD daerah hasil pemekaran masih bergantung pada dana transfer pusat, sehingga optimalisasi pendapatan dan porsi alokasi belanja modal dari pemerintah daerah akan tetap sama atau bahkan bisa memburuk.

Namun demikian, jika aspek politik dipertimbangkan, akan lebih jelas dimengerti mengapa kegagalan-kegagalan tersebut dapat terjadi. Keberhasilan suatu pemekaran wilayah dalam mensejahterakan rakyatnya seharusnya terutama ditanggung oleh pemerintah barunya dan cara pemerintah tersebut mengelola dana APBD. Namun, ketersediaan dana APBD baru yang bisa didapatkan dari DOB mengakibatkan terjadinya bureaucratic and political rent seeking (Kaiser, Hofman & Fitrani, 2005), dimana para pemimpin pemerintah mau memperoleh jabatan tinggi di pemerintah DOB untuk mengelola APBD dan Dana Perimbangan sendiri, yang dananya sudah terpisah dari pengelolaan daerah induknya. Keinginan untuk mengelola APBD sendiri akan memperbesar peluang korupsi anggaran pemerintah di DOB dan menghambat perkembangan dan kesejahteraan masyarakatnya.

Haruskah Papua Mekar? Apa Implikasinya?

Dari kasus-kasus sukses dan kegagalan tersebut, sebaiknya setiap kejadian pemekaran wilayah tidak digeneralisasikan, tetapi dianalisis berdasarkan perkara dan kondisi-kondisi spesifik yang terkemas di dalamnya.

Jika pemekaran Provinsi Papua dianalisis berdasarkan teori dan kasus-kasus sebelumnya, di satu sisi, luas wilayah yang lebih kecil dan perkembangan ibukota baru dapat menghidupkan perekonomian dan efisiensi pemerintah dalam melayani masyarakat. Tambahan alokasi APBD dan Dana Perimbangan juga dapat meningkatkan investasi dan konsumsi oleh pemerintah, sehingga PDRB provinsi-provinsi tersebut akan meningkat. Namun, di sisi lain, terciptanya kewenangan untuk pemerintah untuk mengelola APBD dengan lebih mudah dapat meningkatkan potensi korupsi yang akan memperburuk pelayanan publik masyarakat sekitar.

Namun, untuk mendapat prediksi yang lebih akurat, potensi perekonomian provinsi-provinsi barunya untuk menjadi lebih sejahtera seharusnya dipertimbangkan dengan kondisi politik dan sosialnya. Di satu sisi, provinsi Papua merupakan suatu provinsi yang dikenal oleh konflik antarsuku dan terorisme yang berakar dari “permintaan” beberapa lembaga dan organisasi masyarakat untuk “memisahkan diri” dari Indonesia. 

Konflik antara masyarakat dan pemerintah juga dapat menghambat kinerja antara kedua pihak untuk mensejahterakan wilayah Papua. Bahkan, pada 10 Mei 2022, dilaporkan bahwa “ribuan orang Papua dari provinsi Papua memprotes pembentukan provinsi tambahan” (Blades, J. & Wayar, A, 2022). Jika konflik antara pemerintah dan masyarakat kedepannya menjadi lebih intens setelah pemekaran ini, IPM dan PDRB akan menurun. Kasus ini akan meningkatan potensi perekonomian provinsi-provinsi baru di Papua akan memburuk.

Di sisi lain, salah satu fakta krusial dalam pemekaran provinsi Papua adalah pembangunan tiga provinsi baru akan sepenuhnya didanai oleh Anggaran  Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan bukan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), menurut Anggota DPR Guspardi Gaus. Maka, potensi pemerintah baru dalam provinsi-provinsi baru di Papua untuk melakukan korupsi akan turun, sebab anggaran dan dana untuk menginvestasi dan mensejahterakan masyarakat Papua akan dikelola lebih ketat oleh Pemerintah Pusat. Kasus ini justru meningkatkan potensi perekonomian provinsi-provinsi baru di Papua akan membaik.

Maka dari itu, memprediksi dan membuktikan dengan tepat keberhasilan perekonomian Provinsi Papua, Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah dan Provinsi Papua Pegunungan merupakan suatu hal yang sulit. Pemerintah lokal di provinsi-provinsi baru wilayah Papua sebaiknya dipersiapkan secara total untuk mewujudkan situasi perekonomian dan kesejahteraan yang terbaik.

Sebagai konklusi, pemekaran suatu wilayah tidak selalu menjamin pertumbuhan perekonomian yang lebih lancar. Potensi pertumbuhan ekonomi  dapat juga dipengaruhi oleh aspek politik dan sosial – diantara berbagai aspek lain – yang berada di suatu wilayah hasil pemekaran. Terlepas dari provinsi atau kabupaten yang berpotensi mekar kedepannya di wilayah kesatuan Republik Indonesia, pemekaran provinsi Papua sudah membawa daerahnya masuk ke era perekonomian dan pemerintahan yang baru.

REFERENSI

Anisah, L. (2022, July 6). Anggota DPR Sebut Tiga Provinsi Baru di Papua Sepenuhnya Didanai APBN. Retrieved July 6, 2022 from https://nasional.kontan.co.id/news/anggota-dpr-sebut-tiga-provinsi-baru-di-papua-sepenuhnya-didanai-apbn

Akbar, N. A. (2022, June 28). Dua Alasan DPR Sahkan Tiga RUU DOB Papua pada 30 Juni. Republika.co.id. Retrieved July 3, 2022, from https://www.republika.co.id/berita/re5tch330/dua-alasan-dpr-sahkan-tiga-ruu-dob-papua-pada-30-juni 

Aminah, Lindrianasari, Evana, E., Tarmizi, R., & Khairudin. (2019). Efektivitas 20 Tahun Implementasi Pemekaran Daerah Di Indonesia . Asian Journal of Innovation and Entrepreneurship, 4(3), 181--185. Retrieved July 5, 2022. 

Blades, J. & Wayar, A. (2022, June 21). Indonesia's New Plans for Papua Can't Hide Its Decades of Failures. Retrieved July 3, 2022, from https://thediplomat.com/2022/06/indonesias-new-plans-for-papua-cant-hide-its-decades-of-failures/

Suparman, A. (2016, October 14). Pemekaran dan Ilusi Kesejahteraan. KPPOD. Retrieved July 5, 2022, from https://www.kppod.org/blogs/view?id=1

Arianti, N. N., & Cahyadinata, I. (2014). Kajian Dampak Pemekaran Wilayah Terhadap Kinerja Ekonomi Pesisir Di Provinsi Bengkulu. Jurnal Agrisep, 13(2). Retrieved July 4, 2022, from https://ejournal.unib.ac.id/index.php/agrisep/article/view/576

Nasria, S. (2018, August). Implikasi Sosial Pemekaran Wilayah Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Di Desa Karave Kabupaten Mamuju Utara (thesis). Digital Library Unismuh Makassar. Retrieved July 4, 2022, from https://digilibadmin.unismuh.ac.id/

Rahantan, A. S., & Subanu, L. P. (2014). Evaluasi Dampak Pemekaran Wilayah Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Di Kota Tual (thesis). Perpustakaan Universitas Gadjah Mada. Retrieved July 3, 2022, from http://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/74840

Reuters. (2022, July 1). Indonesia passes contentious law to create more provinces in Papua. CNN. Retrieved July 3, 2022, from https://edition.cnn.com/2022/06/30/asia/indonesia-papua-new-provinces-intl-hnk/index.html 

Rorong, I. (2018). Analisis Dampak Pemekaran Kabupaten-Kota Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Di Propinsi Sulawesi Utara (Doctoral dissertation). http://repository.ub.ac.id/

Utama, F. (2022, June 30). Diresmikan DPR, 3 RUU DOB Papua Sah Jadi Undang-Undang. Sindonews.com. Retrieved July 4, 2022, from https://nasional.sindonews.com/read/813133/12/diresmikan-dpr-3-ruu-dob-papua-sah-jadi-undang-undang-1656565601 

Wisudarini, S. & Riyanto. (2021). Pengaruh Pemekaran Daerah Terhadap Kesejahteraan Masyarakat. Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia, 6(9). Retrieved July 3, 2022, from https://www.jurnal.syntaxliterate.co.id/index.php/syntax-literate/article/view/4099/2456

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun