Pemekaran wilayah adalah suatu pembentukan daerah baru yang dapat berupa provinsi, kabupaten, atau kota (Rorong, 2018). Sejarah pemekaran wilayah di Indonesia selalu dikaitkan dengan upaya desentralisasi dan hak otonomi oleh ‘masyarakat lokal’. Sebagai negara berkembang, kasus-kasus pemekaran di Indonesia sangat lazim terutama pasca Orde Baru. Dalam upaya desentralisasi di era reformasi, pemerintah menetapkan UU No. 22 Tahun 1999 – yang direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004 – tentang Otonomi Daerah Pemerintah Daerah. UU ini menerangkan peran masyarakat lokal dalam membangun daerahnya masing-masing.
Selain UU, pemerintah Indonesia juga menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) yang menjelaskan “Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, Dan Penggabungan Daerah”. “Euforia reformasi” yang muncul setelah tumbangnya Orde Baru (Suparman, 2016) mendorong keinginan masyarakat untuk mengajukan pemekaran dan otonomi yang lebih kuat di wilayahnya sendiri. Euforia ini yang didukung oleh terbitnya UU dan PP Pemekaran WIlayah telah mengakibatkan pemekaran 176 daerah otonom baru (DOB) yang terdiri dari 4 provinsi dan 172 kabupaten/kotamadya dari tahun 2001-2014 (Kementerian Dalam Negeri, 2014). Pada tahun 2016, dari 542 daerah otonom yang ada di Indonesia, 223 darinya merupakan DOB.
Pengajuan pemekaran daerah dilakukan karena berbagai alasan. Di satu sisi, alasan umum dari masyarakat untuk mengajukan pemekaran adalah karena ketimpangan kesejahteraan yang besar diantara wilayah domisilinya dengan wilayah lain dan pelayanan publik yang kurang memadai (Maulana & Saraswaty 2019). Di sisi lain, tujuan yang ditegaskan pemerintah atas pemekaran daerah terdapat di pasal 2 PP 129 Tahun 200, dimana “percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah”, “percepatan pengelolaan potensi daerah”, “peningkatan keamanan dan ketertiban” dan “peningkatan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah” merupakan aspek-aspek kesejahteraan masyarakat yang diharapkan akan meningkat setelah pemekaran.
Jika dilihat dari lensa ilmu ekonomi, pemekaran wilayah atau pembentukan DOB dapat membawa keuntungan desentralisasi fiskal (Wisudarini & Riyanto, 2021). Dengan desentralisasi fiskal, badan pemerintah yang baru dapat menarik Pajak Daerah serta Dana Perimbangan – yang berupa Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus – sebagai sumber dana bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) wilayah hasil pemekaran. Dengan tambahan Dana Perimbangan dan APBD, pengeluaran pemerintah yang lebih besar dapat meningkatkan permintaan agregat dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) wilayah tersebut.
Dengan adanya ekspektasi bahwa kesejahteraan, pelayanan publik, dan pengeluaran pemerintah akan menjadi lebih tinggi setelah pemekaran wilayah, pemekaran tersebut dapat dikatakan berhasil jika Indeks Pembangunan Manusia (IPM), PDRB serta PDRB per kapita meningkat di wilayah barunya meningkat (Rorong, 2018). Dengan indikator-indikator tersebut, skala produktivitas, pemerataan, kesinambungan, pemberdayaan masyarakat setempat serta seluruh unit kegiatan ekonomi dapat diukur secara objektif.
Terdapat banyak kasus pemekaran wilayah yang menimba hasil positif dalam pertumbuhan ekonomi wilayahnya. Di antaranya: pemekaran kabupaten-kabupaten di wilayah pesisir provinsi Bengkulu telah meningkatkan PDRB per Kapita di wilayah tersebut (Arianti, N. & Cahaydinata, I., 2014); Pemekaran Kota Tual dari wilayah Kabupaten Maluku Tenggara telah meningkatkan PDRB, PDRB per Kapita, pengeluaran konsumsi per kapita dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) daerahnya; serta Pemekaran Kepulauan Talaud dari kabupaten Sangihe telah meningkatkan PDRB per kapita di wilayahnya.
Apakah Keuntungan Ekonomi Pemekaran Mudah Terealisasi?
Walaupun efektivitas pemekaran wilayah terdengar ideal melalui pandangan desentralisasi fiskal dan kasus-kasus berhasil sebelumnya, dampak dan efektivitasnya tidak selalu efektif dalam dunia nyata.
Ketidakefektifan ini bisa dilihat dari sebuah penelitian oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan United Nations Development Programme (UNDP) pada tahun 2008. Dari penelitian ini yang mengevaluasi dampak pemekaran daerah Indonesia dalam periode 2002-2007, terungkap bahwa 80% DOB “gagal” dalam memperbaiki kesejahteraan kehidupan masyarakat di wilayah hasil pemekaran.
Ternyata, kesejahteraan masyarakat di DOB tetap berada di dalam kondisi yang sama atau lebih buruk, dan penduduk miskin juga menjadi lebih “terkonsentrasi” di daerah tersebut. Hal ini dikarenakan keterbatasan sumber daya alam dan sumber daya manusia di wilayah hasil pemekaran, dan dukungan pemerintah dan investasi yang belum maksimal dalam menggerakkan perekonomian wilayahnya. Penelitian Bappenas dan UNDP juga mengungkapkan bahwa anggaran pemerintah, kinerja pelayanan publik, dan kinerja aparatur relatif kurang optimal di DOB dibandingkan daerah induknya.
Beberapa penelitian lain juga mengungkap ketidakefektifan pemekaran wilayah terhadap perekonomian. Direktur Jenderal Otoritas Daerah telah menekankan bahwa dari evaluasi 57 daerah otonomi yang berumur kurang dari tiga tahun pada 2011-2012, penilaian efektivitasnya bernilai “kurang”, dan pertumbuhan ekonomi DOB lebih fluktuatif jika dibandingkan dengan daerah induk yang meningkat secara stabil.