Perbincangan mengenai “Papua” merupakan suatu hal yang dihindari. Namun saat dibicarakan, orang-orang membicarakannya dengan antusiasme tinggi. Pembicaraan mengenai wilayah yang terletak di paling timur Republik Indonesia ini terkesan seperti sebuah Kotak Pandora, yang jika dibuka, akan mengeluarkan diskusi-diskusi rumit mengenai hak kekuasaan negara Indonesia atas wilayahnya, konflik yang terjadi antara suku-sukunya, dan masa depannya yang terang sekaligus buram.
Maka pada 30 Juni 2022, saat DPR Indonesia mengesahkan tiga Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Daerah Otonomi Baru (DOB) menjadi Undang-Undang (UU), tertimbun berbagai reaksi yang kuat dan bertentangan.
Jika isi RUU-nya dikaji, reaksi-reaksi tersebut dapat dengan mudah dimengerti: dengan pengesahan ketiga RUU tersebut Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah dan Provinsi Papua Pegunungan telah mekar dari Provinsi Papua. Diskusi mengenai Papua di media massa kali ini diarahkan kepada potensi dampak-dampak dari pemekaran tersebut.
Provinsi Papua Selatan (warna hijau), Provinsi Papua Tengah (warna abu-abu), Provinsi Papua Pegunungan (warna biru), dan Provinsi Papua (warna ungu). Sumber: Wantok -- wikimedia.org
Ketua Komisi II DPR, Ahmad Doli membenarkan pemekaran Provinsi Papua ini atas alasan pemerataan pembangunan dan peningkatan pelayanan publik. Tentunya, jika pengelolaan provinsi Papua yang mempunyai luas lebih dari 300,000 km2 bisa didelegasikan dengan baik kepada 3 gubernur baru, justifikasi Ahmad Doli terdengar logis. Dengan terbentuknya Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah dan Provinsi Papua Pegunungan, setiap wilayah bisa dikelola dengan lebih efisien dan dapat “mempercepat kesejahteraan dan mengangkat harkat martabat masyarakat [di Papua]”.
Walaupun wilayah Papua telah diberikan janji kesejahteraan dari pemekarannya, pernyataan itu tidak diterima secara mentah oleh kalangan aktivis dan tokoh adat. Pengacara HAM Veronica Koman telah menilai pemekaran ini sebagai upaya pemerintah Indonesia untuk memecah dan menaklukkan “identitas” dan “resistensi” Papua. Sebelumnya, pada tanggal 3 Juni, sebuah demonstrasi di Timika, Papua menunjukkan pertentangan terhadap rencana pemerintah Indonesia untuk membentuk DOB di wilayah Papua. Ketua Majelis Papua, Timotus Murib, menyatakan legislasi ini disahkan tanpa konsultasi yang cukup dari tokoh-tokoh Papua, dan akan menyebabkan migrasi orang “non-pribumi Papua” ke daerah dan jabatan pos pemerintah daerah Papua.
Terlepas dari masalah “identitas suku” dan “penjajahan Jakarta atas Papua”, suatu pandangan yang lebih objektif bisa didapatkan melalui lensa pembangunan perekonomian. Tito Karnavian, Menteri Dalam Negeri menyatakan bahwa legislasi pemekaran wilayah Papua dapat mengakselerasi perkembangannya. Dengan perkembangan yang diakselerasi, masyarakat-masyarakat Papua dapat menikmati hidup sejahtera dengan lebih cepat. Dari sini terdapat asumsi bahwa pemekaran wilayah provinsi Papua akan memperbaiki ekonominya.
Lantas, apa sebenarnya dampak pemekaran suatu wilayah pada perekonomiannya? Apakah strategi ini selalu berhasil? Dan apa saja implikasi yang harus dipertimbangkan kalau pemekaran Papua tetap dilakukan?
Sejarah Pemekaran Wilayah di Indonesia, Apa Dampaknya?