Dalam kasus ini, kita dapat membagi jenis pemilih menjadi satisficer dan maximizer. Seorang satisficer akan mempertimbangkan apa yang ingin diperoleh atau dipertahankan dari sebuah situasi, kemudian mengevaluasi pilihan mereka untuk menemukan solusi yang memenuhi kriteria tersebut. Dia akan memilih selai 1, karena telah memenuhi kriteria pengambilan keputusan awalnya. Sementara, seorang maximizer yang menetapkan standar tinggi dalam pengambilan keputusan sering kali kecewa ketika mereka gagal mencapainya, sebab mereka lebih memikirkan apa yang telah mereka lewatkan daripada apa yang mereka miliki. Pilihan mereka akan jatuh pada selai 2 agar tidak kecewa di masa depan.
Mengikuti ide Herbert Simon (1955) tentang bounded rationality dan satisficing, Schwartz mengidentifikasi bahwa paradox of choice membawa konsekuensi paling besar bagi maximizers. Dalam kasus musik, maximizers adalah mereka yang membuat pilihan aktif berdasarkan pengalaman musik mereka, atau bisa kita sebut choosers. Secara kritis, mereka mengevaluasi musik yang mereka dengarkan dan berusaha menemukan lagu yang benar-benar mereka sukai.Â
Di sisi lain, pickers---istilah untuk satisficers---adalah pendengar yang lebih pasif. Picking layaknya seorang pembeli di e-commerce yang memilih produk dengan tanda "Orang yang membeli produk ini juga membeli ...". Mereka hanya memilih playlist favorit dari sabuk konveyor musik yang disediakan. Alih-alih menggunakan mesin pencari untuk menemukan musik yang paling cocok di antara jutaan lagu yang tersedia, mereka hanya akan memilih sebuah playlist, menutup aplikasi, dan melanjutkan pekerjaan sembari membiarkan playlist tersebut memutarkan lagu yang sesuai.
Bagaimana dengan fitur "Discover Weekly" dalam Spotify, yang katanya "dibuat untuk Anda"?. Fitur ini akan menyarankan musik yang mirip dengan lagu yang sudah Anda dengar---bahkan tujuannya bertolak belakang dengan keragaman. Efek paradoksnya adalah mayoritas pendengar dalam era digital ini menjadi pembuat keputusan yang relatif pasif. Bias pola konsumsi musik di era digital dengan personalisasi, spesialisasi, dan relevansi hanya akan mengaburkan preferensi pendengar; membuat mereka semakin tidak yakin tentang perbedaan antara musik yang mereka sukai dan yang tidak.
Tangga Lagu: Tolok Ukur Terbaik untuk Menilai Kualitas Seni?
Di industri hiburan seperti musik, meskipun jumlah lagu-lagu baru terus meningkat, kesuksesan sangat langka. Sangat sedikit lagu yang dikenali masyarakat umum, dan bahkan di antaranya lebih sedikit lagi yang mendominasi pasar. Distribusi pangsa pasar lagu semakin miring karena hanya sedikit lagu dengan pangsa pasar yang besar.
Fenomena ini bisa dijelaskan oleh keputusan pasif yang cenderung dibuat pendengar saat ini sebagai dampak dari kelumpuhan pilihan yang dialaminya. Pendengar memilih lagu dari pilihan orang lain dan menikmati musik sebagai pengalaman kolektif dengan mengambil informasi dari tangga lagu yang ada. Alhasil, konsep keragaman malah dicederai oleh sistem layanan musik saat ini.
Inilah mengapa kita hidup di dunia dengan penuh angka -- membuat angka-angka dalam tangga lagu menjadi penentu lagu mana yang menjadi emas, platinum, atau berlian. Padahal, sistem penyusunan tangga lagu menimbulkan bias terhadap lagu-lagu yang anti-mainstream. Algoritma yang digunakan cenderung menyuguhkan lagu berdasarkan apa yang sedang trending. Hasilnya, lagu-lagu yang dikonsumsi pendengar terbatas pada jenis-jenis lagu yang akrab dengan algoritma.
Kembali ke Lagu-Lagu Lama
Mereka yang sudah mengalami kelumpuhan ini cenderung kembali ke lagu-lagu favorit lama yang mereka dengarkan di masa lalu. Secara otomatis, terciptalah pasar untuk lagu-lagu nostalgia karena musisi harus terus merangkul kebutuhan pasar. Bagaimana? Dengan meng-cover lagu-lagu tersebut. Sebut saja "Memories" karya Maroon 5 yang menduplikasi pola akor "Canon in D"---lagu favorit untuk belajar piano sejak dulu---atau berkunjunglah ke pasar domestik: Raisa dengan "Bahasa Kalbu" dan Noah dengan "Kala Cinta Menggoda" yang sukses menduduki tangga lagu hanya dengan mengaransemen lagu lawas.Â
Jika masa depan industri musik benar-benar bergerak menuju penciptaan musisi "kelas menengah", yang memasarkan musik dan karya kreatif lainnya langsung ke penggemar, mereka akan membutuhkan partisipasi aktif dari seluruh penikmatnya untuk menentukan bagaimana warna musik itu akan bertransformasi. Kita harus memikirkan lagi apakah digitalisasi layanan musik menciptakan paradise atau paradox bagi penikmatnya.Â