Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Money

Era Digital Musik: Bagaimana Kelimpahan Merampas Kepuasan

10 Desember 2021   19:05 Diperbarui: 10 Desember 2021   19:09 920
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Angkat tangan jika Anda menghabiskan lebih banyak waktu untuk menekan tombol 'next' di Spotify atau Apple Music daripada benar-benar mendengarkan musiknya. Bukan karena selera musik yang buruk, ini adalah tentang "kelumpuhan pilihan".

Bagaimana "Spotify Wrapped" Anda tahun ini? Mengakses musik melalui layanan musik digital, seperti Spotify---yang memiliki hampir semua lagu yang pernah direkam di ujung jari---memang menjadi pilihan utama bagi penikmatnya saat ini. Sebuah iklan dengan bangga mempublikasikan layanannya yang menyediakan 45 juta lagu. Angka yang fantastis, tetapi terlalu banyak menghasilkan kelumpuhan pilihan. 

Ada begitu banyak pilihan sehingga secara efektif tidak ada pilihan sama sekali. Kuantitas yang begitu banyak tersebut seolah tidak berarti---45 juta lagu butuh 340 tahun untuk didengarkan seluruhnya. 

Dari jumlah itu, berapa yang benar-benar penting bagi seorang pendengar? Mungkin paling banyak 10.000 judul saja. Bahkan, jumlah tersebut membutuhkan 2 bulan bagi seseorang yang memutar musik 10 jam seminggu tanpa mendengarkan lagu yang sama lebih dari sekali. Nyatanya, kita cenderung menghabiskan  ratusan jam untuk mendengarkan 5 lagu teratas dalam "Spotify Wrapped" kita.

Sebelum munculnya layanan musik digital, kita pernah akrab dengan vinyl, kemudian kaset, dan era compact disc (CD) yang menjadi kunci kemajuan dan keuntungan luar biasa dalam industri musik. 

Namun dengan hadirnya file-sharing, semua itu terdegradasi. Kemajuan teknologi ini merevolusi cara orang memandang musik, cara jurnalis dan kritikus musik membuat perbandingan, menilai, dan membuat keputusan berdasarkan informasi tentang musik dalam segala genre, yang juga melahirkan masalah baru. 

Lebih Banyak Justru Lebih Sedikit

Untuk memiliki budaya musik yang berkelanjutan, sehat, dan hidup, perlu ada keragaman. Gagasan ini menyatakan bahwa semakin banyak pilihan musik yang dimiliki orang untuk memperluas selera mereka, maka semakin berbudaya pula mereka. Kematangan selera dan pengetahuan ini membuat masyarakat secara keseluruhan lebih baik melalui perspektif, pengalaman hidup, dan pandangan yang lebih komprehensif tentang dunia.

Sayangnya, ketika jumlah pilihan meningkat, kita akan semakin sulit mengetahui apa yang terbaik. Mungkin kita percaya bahwa dihadapkan dengan banyak pilihan akan membuat kita lebih mudah untuk memilih salah satu yang kita sukai, dan dengan demikian meningkatkan derajat kepuasan kita. Akan tetapi, memiliki banyak pilihan sebenarnya membutuhkan lebih banyak upaya untuk membuat keputusan dan dapat membuat kita merasa tidak puas dengan pilihan tersebut.

Fenomena ini dikenal sebagai Paradox of Choice---dipopulerkan oleh seorang profesor Amerika, Barry Schwartz, ketika dia menerbitkan bukunya, "The Paradox of Choice: Why More is Less", pada tahun 2004. Schwartz tertarik untuk melihat bagaimana pilihan memengaruhi kebahagiaan masyarakat Barat pada saat itu. Dia mengidentifikasi bahwa jumlah pilihan yang kita miliki saat ini jauh lebih banyak dibandingkan yang dimiliki orang-orang di masa lalu. Namun, kepuasan konsumen tidak meningkat layaknya dikumandangkan oleh teori ekonomi klasik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun