Angkat tangan jika Anda menghabiskan lebih banyak waktu untuk menekan tombol 'next' di Spotify atau Apple Music daripada benar-benar mendengarkan musiknya. Bukan karena selera musik yang buruk, ini adalah tentang "kelumpuhan pilihan".
Bagaimana "Spotify Wrapped" Anda tahun ini? Mengakses musik melalui layanan musik digital, seperti Spotify---yang memiliki hampir semua lagu yang pernah direkam di ujung jari---memang menjadi pilihan utama bagi penikmatnya saat ini. Sebuah iklan dengan bangga mempublikasikan layanannya yang menyediakan 45 juta lagu. Angka yang fantastis, tetapi terlalu banyak menghasilkan kelumpuhan pilihan.Â
Ada begitu banyak pilihan sehingga secara efektif tidak ada pilihan sama sekali. Kuantitas yang begitu banyak tersebut seolah tidak berarti---45 juta lagu butuh 340 tahun untuk didengarkan seluruhnya.Â
Dari jumlah itu, berapa yang benar-benar penting bagi seorang pendengar? Mungkin paling banyak 10.000 judul saja. Bahkan, jumlah tersebut membutuhkan 2 bulan bagi seseorang yang memutar musik 10 jam seminggu tanpa mendengarkan lagu yang sama lebih dari sekali. Nyatanya, kita cenderung menghabiskan  ratusan jam untuk mendengarkan 5 lagu teratas dalam "Spotify Wrapped" kita.
Sebelum munculnya layanan musik digital, kita pernah akrab dengan vinyl, kemudian kaset, dan era compact disc (CD) yang menjadi kunci kemajuan dan keuntungan luar biasa dalam industri musik.Â
Namun dengan hadirnya file-sharing, semua itu terdegradasi. Kemajuan teknologi ini merevolusi cara orang memandang musik, cara jurnalis dan kritikus musik membuat perbandingan, menilai, dan membuat keputusan berdasarkan informasi tentang musik dalam segala genre, yang juga melahirkan masalah baru.Â
Lebih Banyak Justru Lebih Sedikit
Untuk memiliki budaya musik yang berkelanjutan, sehat, dan hidup, perlu ada keragaman. Gagasan ini menyatakan bahwa semakin banyak pilihan musik yang dimiliki orang untuk memperluas selera mereka, maka semakin berbudaya pula mereka. Kematangan selera dan pengetahuan ini membuat masyarakat secara keseluruhan lebih baik melalui perspektif, pengalaman hidup, dan pandangan yang lebih komprehensif tentang dunia.
Sayangnya, ketika jumlah pilihan meningkat, kita akan semakin sulit mengetahui apa yang terbaik. Mungkin kita percaya bahwa dihadapkan dengan banyak pilihan akan membuat kita lebih mudah untuk memilih salah satu yang kita sukai, dan dengan demikian meningkatkan derajat kepuasan kita. Akan tetapi, memiliki banyak pilihan sebenarnya membutuhkan lebih banyak upaya untuk membuat keputusan dan dapat membuat kita merasa tidak puas dengan pilihan tersebut.
Fenomena ini dikenal sebagai Paradox of Choice---dipopulerkan oleh seorang profesor Amerika, Barry Schwartz, ketika dia menerbitkan bukunya, "The Paradox of Choice: Why More is Less", pada tahun 2004. Schwartz tertarik untuk melihat bagaimana pilihan memengaruhi kebahagiaan masyarakat Barat pada saat itu. Dia mengidentifikasi bahwa jumlah pilihan yang kita miliki saat ini jauh lebih banyak dibandingkan yang dimiliki orang-orang di masa lalu. Namun, kepuasan konsumen tidak meningkat layaknya dikumandangkan oleh teori ekonomi klasik.