Gelombang kemiskinan baru telah muncul. Buktinya? Indonesia telah kembali turun dari status negara dengan pendapatan atas menjadi negara pendapatan menengah ke bawah (Worldbank, 2021). Survei BPS terkini juga menunjukkan bahwa kemiskinan telah meningkat sebesar 2,7 juta jiwa akibat COVID-19 (BPS, 2021).
Fakir miskin dan keluarga rentan miskin membutuhkan bantuan lebih dari sebelumnya. Kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar menjadi penting untuk membantu mereka melalui masa sulit ini. Di sinilah letak pentingnya program jaring pengaman sosial atau yang biasa disebut social safety net.
Social safety net adalah program berupa bantuan sosial dari Kementerian Sosial (Kemensos) yang berfungsi sebagai bentuk dukungan dalam mengurangi beban keluarga miskin dan rentan miskin (Kemensos, 2020). Analogi "jaring pengaman" adalah agar orang miskin ketika mengalami guncangan (pandemi COVID-19) tidak jatuh ke dalam kemiskinan yang lebih dalam lagi.
Untuk itu, pemerintah telah menyiapkan anggaran sebesar 110 triliun rupiah untuk program-program JPS yang mencakup, antara lain, bantuan sosial, percepatan pelaksanaan Kartu Prakerja, dan pemotongan tagihan listrik (Smeru, 2021). Dengan dana sebesar itu, tentunya diharapkan bahwa program tersebut dapat benar-benar menjadi stimulus ekonomi masyarakat miskin dan kelompok-kelompok lain yang sangat terdampak krisis akibat pandemi.
Tentu saja, sukar untuk membicarakan social safety net tanpa satu aspek penting yang mendasari program itu, yakni targeting atau penargetan. Penargetan merupakan cara untuk mengidentifikasi anggota masyarakat mana yang harus menerima manfaat tertentu.
Secara logika, penargetan dilakukan karena lebih baik memberikan dukungan yang signifikan kepada kelompok yang lebih kecil (orang miskin), daripada memberikan dukungan yang lebih sedikit kepada semua orang.
Dalam kata lain, penargetan berpihak kepada orang miskin karena mengurangi "kebocoran" sumber daya yang terbatas bagi orang yang tidak membutuhkan bantuan. Kendati demikian, persoalan yang selalu muncul ketika bantuan sosial digelontorkan pemerintah di Indonesia adalah data penerima bantuan sosial yang tidak akurat.
Berbagai tanda tanya lantas bergeming di masyarakat. Apakah kondisi penargetan di Indonesia seburuk itu? Apakah basis data Indonesia tidak pernah diperbarui sehingga menjadi kacau? Apakah ada cara untuk memperbaiki basis data di Indonesia?
Sejarah Singkat Basis Data Indonesia
Di Indonesia sendiri, sistem penargetan nasional awalnya dimulai pada tahun 2005. Saat itu dibangunlah satu basis data terpadu untuk program perlindungan sosial melalui kegiatan Pendataan Sosial Ekonomi (PSE) 2005 yang merupakan sensus kemiskinan pertama di Indonesia (Kemensos, 2020).
Data Terpadu hasil PSE 2005 lalu digunakan untuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Program Keluarga Harapan (PKH). Saat itu, program Bantuan Langsung Tunai (BLT) dilaksanakan sebagai kompensasi kenaikan harga BBM (Bappenas, 2008). Sementara itu, PKH adalah program pemberian bantuan sosial kepada keluarga miskin, saat itu ditujukan kepada 500.000 Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM). Selanjutnya, setiap tiga tahun dilakukan pembaruan basis data dengan nama Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS).
PPLS berlangsung dari tahun 2008 hingga 2011. Selanjutnya, pada tahun 2015, dia berubah nama menjadi Pemutakhiran Basis Data Terpadu (PBDT). Pendataan PSE 2005 dan PPLS 2008 mencakup rumah tangga sangat miskin (RTSM), rumah tangga miskin (RTM), dan rumah tangga hampir miskin (RTHM), sedangkan untuk tahun 2011 pendataannya mencakup lebih banyak lagi.
Data yang dikumpulkan dalam PPLS 2011 mencakup data 40 persen rumah tangga menengah ke bawah, yang mengandung informasi lengkap nama dan alamat rumah tangga sasaran (RTS). Kemudian dilakukan pemeringkatan terhadap data menggunakan metode yang saat itu dinilai paling efektif di dunia yakni Proxy Means Test (PMT) oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K).
Hasil dari PPLS kemudian dikelola oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) untuk dijadikan sebagai Basis Data Terpadu. Basis Data Terpadu dipergunakan untuk berbagai program bantuan dan perlindungan sosial tahun 2012-2014. Di dalam mengkategorikan Basis Data Terpadu, TNP2K menggunakan pendekatan relatif, yaitu dengan kelompok desil 1-4. Tujuan TNP2K dalam mengkategorikan kelompok (Desil 1-4) adalah agar lebih fokus pada segmen populasi terbawah.
Pada tahun 2015, basis data terpadu hasil PPLS 2011 kembali dimutakhirkan oleh BPS. Salah satu mekanisme kunci dan terbaru adalah dilakukannya Forum Konsultasi Publik (FKP) yang merupakan penajaman dari PPLS 2011 sehingga data yang dihasilkan menjadi lebih akurat. Akhirnya, ditetapkanlah Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). DTKS digunakan agar berbagai program bantuan pemerintah seperti PKH, BPNT, Program Indonesia Pintar, dan lain sebagainya dapat disalurkan secara tepat sasaran.
DTKS, Basis Data yang Dihormati Dunia
DTKS yang dinilai lengkap dan memiliki cakupan besar yakni 40% mengundang banyak peneliti dari seluruh dunia untuk meneliti efektivitas basis data tersebut. Bah et al. mendapatkan bahwa metode dalam DTKS lebih efektif dalam targeting ketimbang metode milik negara berkembang lainnya. TNP2K juga menemukan bahwa tingkat akurasi targeting bantuan sosial di Indonesia mencapai 85% menggunakan DTKS. Ekonom kondang Vivi Alatas (2019) dalam penelitiannya juga menunjukkan bahwa DTKS dapat meminimalisir adanya pengaruh tokoh masyarakat untuk memasukkan keluarga atau kerabatnya ke dalam DTKS.
Tidak hanya itu, pemenang nobel di bidang ekonomi Abhijit Banerjee pun ikut melaksanakan penelitian. Dia menemukan bahwa tidak terjadi upaya dari rumah tangga untuk memanipulasi proses pencacahan. Sebagai contoh, tidak terjadi perilaku rumah tangga untuk menyembunyikan aset yang dimilikinya, seperti kepemilikan televisi flat screen atau aset berharga lainnya, sebagaimana ditemukan dalam studi serupa di negara lain (Banerjee et al., 2020).
The Downfall
Namun, tidak semua kisah berakhir dengan bahagia. Pada tahun 2016, pengelolaan DTKS diserahterimakan kepada Kementerian Sosial yang mereka kelola melalui Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial (Pusdatin Kesos). Tanggung jawab pemutakhiran Data Terpadu selanjutnya diserahkan kepada Pemerintah daerah.Â
994.742 individu. Tugas dan fungsi dalam pengelolaan DTKS di Kementerian Sosial ini meliputi pemeliharaan dan pemutakhiran data secara berkala. Sehingga dapat menjamin keberadaan rumah tangga serta validitas informasi mengenai karakteristik rumah tangga maupun individu di dalam data. Namun, sejak tahun 2016 hingga tahun 2020, pemutakhiran yang dilaksanakan oleh masing-masing Pemerintah daerah baru berhasil memutakhirkan kurang dari 10 persen informasi rumah tangga/individu (TNP2K, 2021).
Berdasarkan Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan, Pemerintah daerah lalai sehingga tidak pernah membarui data DTKS. DTKS yang seharusnya diperbarui dinas sosial Pemerintah daerah setahun dua kali, tidak pernah dilakukan. Bahkan dari data tahun 2018, hanya 286 pemda yang meng-update, sisanya tidak ada update apapun.
Hal yang sama juga ditemukan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Mereka menemukan adanya 20 juta data masyarakat dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang tidak sinkron dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) akibat jarang atau bahkan tidak diperbaharui (update).
Sementara itu, Kemensos sepertinya juga tidak peduli data di-update atau tidak. Buktinya, mereka membiarkan data tidak di-update dan tidak mencoba untuk berinisiatif membantu atau bertanya kepada Pemerintah daerah.
Kondisi Saat Ini
Saat ini, kondisi penargetan dapat dibilang kacau. Data yang bermasalah membuat pemerintah tidak dapat bergerak dengan cepat dalam memberikan bantuan sosial. Data itu harus dibenahi terlebih dahulu dan  akan membutuhkan waktu yang lama dan tenaga yang banyak.
Meskipun belum ada riset mengenai evaluasi program bantuan sosial Covid-19, banyak sekali masyarakat yang merasa program ini bermasalah. Banyak yang merasa  bahwa exclusion error dan inclusion error masih sangat besar. Exclusion error berarti kesalahan karena tidak memasukkan rumah tangga miskin yang seharusnya masuk ke dalam data. Sebaliknya, inclusion error adalah kesalahan karena memasukkan rumah tangga yang tidak miskin ke dalam data.
Selain itu, juga ada masalah mengenai data ganda. Terdapat kabar bahwa Menteri Sosial Tri Rismaharini beserta jajarannya menonaktifkan atau menidurkan 21.000.156 data ganda penerima bantuan sosial.
Risma menjelaskan ada duplikasi DTKS dengan data program bansos lainnya yakni program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Bantuan Sosial Tunai (BST), dan Program Keluarga Harapan (PKH). Menurutnya, penyusutan data tersebut dikarenakan ada perbaikan data penerima terkait perpindahan penduduk, kematian, kedatangan penduduk dan kelahiran (CNN, 2021).
Belajar Untuk Selalu Siap
Dari sini, kita dapat belajar bahwa Indonesia lagi dan lagi hanya bisa membangun dan tidak bisa merawat. Sudah berapa kali kita seperti ini; ini harus berhenti sekarang juga. Indonesia harus belajar untuk selalu siap karena kita tidak akan tahu kapan musibah datang. Dalam hal ini, musibah tersebut adalah sebuah gelombang kemiskinan baru yang disebabkan oleh Pandemi Covid-19.
Ke depannya, perbaikan basis data Indonesia harus dilakukan secara konsisten dan kolektif. Pemerintah daerah harus selalu memprioritaskan pembaruan data dan Kemensos selaku pengawas harus meninjau secara serius. Namun, saat ini pemerintah harus bergerak cepat, mendorong inovasi dalam melakukan pemutakhiran data penerima perlindungan sosial. Salah satu caranya adalah lewat membuka kerja sama dengan pihak swasta dan melakukan penyatuan data dengan cepat dari berbagai sumber. Penyatuan berbagai pulau data dari pihak seperti perusahaan teknologi berbasis aplikasi seperti GoTo group, TaniHub group, dll dan registrasi mandiri bagi pekerja di sektor informal bisa menjadi pilihan.
Meskipun banyak sekali tantangan dalam memperbaiki sistem penargetan Indonesia, kita harus tetap berusaha. Perbaikan sistem perlindungan sosial kita yang terdesentralisasi akan membutuhkan usaha kolektif. Bersama kita pasti bisa.
***
Adrien Wida Devachandra | Ilmu Ekonomi 2020 | Staff Divisi Kajian KANOPI FEB UI
Referensi tanpa hyperlink
Alatas, V., Banerjee, A., Hanna, R., Olken, B. A., and J. Tobias (2012), "Targeting the Poor: Evidence from a Field Experiment in Indonesia," American Economic Review, 102(4): 1206-1240.
Bah, A., Mardianingsih, F.E., Wijaya, L. (2014), "An Evaluation of the Use of the Unified Database for Social Protection Programmes by Local Governments in Indonesia," TNP2K Working Paper 06-2014.
Banerjee, A., Hanna, R., Olken, B. and Sumarto, S. (2020), "The (lack of) Distortionary Effects of Proxy-Means Tests: Results from a nationwide experiment in Indonesia," Journal of Public Economics Plus, Volume 1(2020): 1-9.
Gilligan, Daniel. "Social Safety Nets Are Crucial to the COVID-19 Response. Some Lessons to Boost Their Effectiveness." Ifpri.org, International Food Policy Research Institute, 2020, www.ifpri.org/blog/social-safety-nets-are-crucial-covid-19-response-some-lessons-boost-their-effectiveness.
Indonesia, BPS. "Berita Resmi Statistik." Badan Pusat Statistik, Badan Pusat Statistik, 15 Feb. 2021, www.bps.go.id/pressrelease/2021/02/15/1851/persentase-penduduk-miskin-september-2020-naik-menjadi-10-19-persen.html.
Indonesia, CNN. "RI Turun Kelas Jadi Negara Berpenghasilan Menengah Ke Bawah." Ekonomi, 7 July 2021, www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210707154756-532-664531/ri-turun-kelas-jadi-negara-berpenghasilan-menengah-ke-bawah.
Indonesia, CNN. "Risma Pangkas 53 Juta Jiwa PENERIMA Bansos KARENA Data Ganda." CNN Indonesia, 12 Aug. 2021, www.cnnindonesia.com/nasional/20210812131928-20-679501/risma-pangkas-53-juta-jiwa-penerima-bansos-karena-data-ganda.
Iqbal, Muhammad. "Blak-Blakan RISMA Soal 21 Juta Data Ganda PENERIMA Bansos Ri." CNBC Indonesia, 24 May 2021, www.cnbcindonesia.com/news/20210524131359-4-247879/blak-blakan-risma-soal-21-juta-data-ganda-penerima-bansos-ri.
Pusdatin, Admin. "SEJARAH DTKS." SEJARAH DATA TERPADU KESEJAHTERAAN SOSIAL (DTKS) | Data Terpadu Kesejahteraan Sosial, Kemensos, 2020, dtks.kemensos.go.id/sejarah-data-terpadu-kesejahteraan-sosial-dtks.
Ramadhan, Ardito. "KPK: Banyak PEMDA BELUM Perbarui DTKS." Edited by Egidius Patnistik, KOMPAS, Kompas.com, 15 May 2020, nasional.kompas.com/read/2020/05/16/06451891/kpk-banyak-pemda-belum-perbarui-dtks.
Setiawan, Koesworo. "Kemensos Siapkan 'Social Safety Net' UNTUK KPM Hadapi COVID-19." Kemensos Siapkan "Social Safety Net" Untuk KPM Hadapi COVID-19 | Kementerian Sosial Republik Indonesia, Kementerian Sosial RI, 24 Mar. 2020, kemensos.go.id/kemensos-siapkan-social-safety-net-untuk-kpm-hadapi-covid-19.
Wardi, Robertus. "Kemdagri: 20 Juta DTKS Tanpa NIK Karena Tidak Diperbarui." Beritasatu.com, Beritasatu, 21 June 2020, www.beritasatu.com/nasional/647503/kemdagri-20-juta-dtks-tanpa-nik-karena-tidak-diperbarui.
Yumna, Athia, et al. "JARING PENGAMAN SOSIAL DALAM KRISIS COVID-19 - Smeru." Smeru Catatan Kebijakan, Smeru, 2020, smeru.or.id/sites/default/files/publication/pb_covid19jps-in_0.pdf.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI