"WASPADALAH!!! Alien hidup di antara kita, berbicara seperti kita, makan seperti kita dan terlihat seperti kita. Mereka berjuang untuk menjadikan umat manusia warga kelas dua di planet sendiri. Hal ini dilakukan dengan penghapusan memori massal, menyusup melalui industri hiburan HOLLYWOOD dan menyamar menjadi tokoh terkenal..."
"VAKSIN COVID-19 merupakan produk dari rencana ELIT GLOBAL untuk menurunkan populasi dunia dengan dana oleh BILL GATES demi membangun dunia baru (New World) di bawah kendali FREEMASON dan ILLUMINATI..."
"PEMBUNUHAN John F Kennedy TIDAK dilakukan oleh Lee Harvey Oswald sendirian, hal ini direncanakan oleh CIA dengan bantuan dari DEEP STATE untuk mencegah perdamaian abadi dengan SOVIET demi KEMAKMURAN kompleks industri militer pencipta senjata mutakhir..."
"ISTRI TETANGGA SAYA amat sangat CANTIK dan tidak sesuai dengan dirinya yang amat buruk rupa. Saya YAKIN dan PERCAYA betul dia pasti menggunakan bantuan TUYUL, PELET, dan SUSUK demi mendapatkan jodoh. Memang DUKUN seberang jalan itu sangat sakti...."
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali berhadapan dengan berbagai narasi yang berupaya untuk menjelaskan suatu kejadian dari sudut pandang yang berlawanan. Kumpulan narasi di atas hanyalah beberapa contoh dari sekian ragam "fakta alternatif" yang kerap kita temukan di berbagai pojok internet.Â
Meski narasi-narasi ini terkesan bombastis dan memiliki topik yang berbeda-beda, mereka memiliki tiga karakteristik yang serupa: upaya memberikan penjelasan simpel atas suatu kejadian kompleks, kecurigaan mendalam atas fakta yang diyakini khalayak umum, dan adanya sosok atau entitas yang menjadi kambing hitam dari seluruh hal yang tidak dapat dijelaskan dengan akal sehat. Akademisi dan masyarakat luas mengenal narasi ini dengan satu kata ajaib: "konspirasi".
Konspirasi dan teorinya telah ada sejak berabad-abad yang lalu, dengan tujuan untuk menantang paradigma rasional dan umum mengenai suatu hal.Â
Selain itu, dalang di baliknya juga dapat muncul dari berbagai kalangan. Meski memiliki konotasi negatif sebagai bentuk perlawanan terhadap akal sehat, banyak kemajuan dan pengetahuan sains yang kita pelajari di masa kini merupakan warisan dari para dalang konspirasi di masa lalu.Â
Sebagai contoh, fakta bahwa bumi mengitari matahari merupakan buah dari perjuangan para akademisi konspirator yang dahulu menentang kaidah awam teori geosentris (matahari mengitari bumi).
Namun, berbeda dengan zaman dahulu kala, kebanyakan teori konspirasi yang beredar dewasa kini bukan lagi menjadi monopoli kalangan akademisi, melainkan dapat diciptakan oleh beragam pihak dari berbagai kalangan. Fenomena ini didorong dengan majunya akses internet dan kemudahan menemukan topik hangat di belahan dunia seberang.Â
Tentunya, kita sendiri pernah melihat teman dekat, kerabat atau bahkan sanak saudara kita yang memiliki kepercayaan amat besar terhadap teori konspirasi yang bagi kita hanya bahan lelucon. Senda gurau yang kita rasakan ketika membaca konspirasi, ditanggapi oleh mereka sebagai kebenaran mutlak yang ditutupi oknum penguasa maupun makhluk asing yang berniat jahat.Â
Pada mulanya, kepercayaan terhadap hal-hal berbau misterius ini bukanlah sesuatu yang merugikan masyarakat secara material sehingga tidak ditanggapi dengan urgensi yang tinggi. Akan tetapi, di tengah era polarisasi politik dan munculnya pandemi COVID-19, konspirasi menjadi senjata yang amat membahayakan keselamatan sesama masyarakat.Â
Pekik Sepasang Mata Bola
"Saya memperkirakan bahwa dalam 12 hari ke depan, banyak orang di negara kita akan mati," tulis Cleveland Grover Meredith Jr. Tulisan tersebut muncul sehari setelah ia tiba di Washington DC mengendarai truk berisi senjata untuk menghentikan pelantikan Presiden terpilih Joe Biden.Â
Perilaku ekstremis yang ditunjukkan Grover merupakan buah dari polarisasi politik yang terjadi di Amerika Serikat. Hal ini bisa terjadi akibat teori konspirasi mengenai kecurangan pemilu yang disebarkan oleh Presiden Amerika Serikat sebelumnya, Donald J. Trump.Â
Sekilas, kepercayaan terhadap suatu hal memang merupakan hak setiap orang, namun perilaku membahayakan akibat kepercayaan tersebut menjadi eksternalitas negatif yang dirasakan oleh seluruh kalangan masyarakat.Â
Kasus Grover hanya merupakan satu dari sekian dampak buruk konspirasi. Dalam skala yang lebih besar, salah satu konspirasi yang menjadi sorotan dunia adalah perilaku menentang vaksinasi dan penggunaan masker dengan menggunakan embel-embel 'Hak Asasi Manusia (HAM)' dan 'kebebasan'.Â
Padahal, apabila mereka mengikuti kaidah awam dan protokol kesehatan selama pandemi, penyebaran kasus COVID-19 dapat jauh berkurang dengan perkiraan pengurangan resiko sebesar 70% dari kondisi tidak menggunakan masker (WHO, Chu et al.).Â
Secara sosial, perilaku mereka memang terlihat tidak masuk akal, namun adakah dampak atau penjelasan rasional dari kepercayaan mereka terhadap interaksi material mereka di bidang ekonomi misalnya?
Sekelompok peneliti berupaya untuk menguak dampak dari kepercayaan terhadap teori konspirasi terhadap proses pengambilan keputusan dalam bidang keuangan melalui sebuah permainan game-theory bernama money request game atau permainan meminta uang.Â
Dalam permainan ini, subjek dibagi berpasangan dua, yaitu pemain 01 yang terpapar teori konspirasi dan pemain 02 yang merupakan kebalikannya.Â
Setiap pemain diperbolehkan untuk meminta uang sebesar $5-$14 dengan peraturan di mana pemain yang meminta uang lebih kecil dari lawannya akan mendapat uang yang dia minta dengan tambahan $10, sementara lawan yang meminta uang lebih besar akan mendapat persis sesuai dengan jumlah yang dia minta.Â
Peneliti menggunakan kriteria penilaian yang disebut strategic sophistication: semakin kompleks proses pengambilan keputusan, maka semakin besar pula nilai yang akan mereka dapatkan dengan k-0 sebagai nilai terendah dan k-4 sebagai nilai tertinggi (Balafoutas et al, 2021).Â
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dibandingkan dengan subjek yang tidak terpapar teori konspirasi, pemain yang terpapar teori konspirasi menunjukkan perilaku pengambilan keputusan yang lebih kompleks secara signifikan. Mereka juga lebih mudah untuk percaya bahwa lawan mereka menyimpan strategi yang licik dan rumit untuk membuat mereka mendapatkan uang yang lebih sedikit.Â
Ironisnya, tindakan ini justru membuat mereka mengambil risiko yang lebih besar dan mendapatkan hasil yang lebih rendah. Dengan kata lain, dengan mengambil keputusan dengan tingkat kerumitan yang lebih tinggi, subjek yang terpapar teori konspirasi malah membesar-besarkan kemampuan dari lawan mereka untuk mengambil keputusan terbaik.Â
Hal ini konsisten dengan sifat teori konspirasi sendiri yang dipenuhi dengan cocoklogi dan pernyataan yang berlebihan.
Lebih lanjut, kepercayaan terhadap teori konspirasi tidak terbatas hanya pada dunia manusia, melainkan juga alam gaib. Subjek yang mudah percaya terhadap konspirasi dan alam gaib cenderung lebih mudah untuk mendukung kelompok dengan afiliasi politik ekstrem dan level altruisme yang lebih rendah (Sunstein & Verneule, 2009; Uscinski & Parent, 2014).Â
Hal ini diperparah dengan fakta bahwa orang yang sudah terpapar suatu teori konspirasi memiliki kecenderungan untuk mencari tahu teori konspirasi lainnya, sehingga memperberat kondisi mereka yang sulit untuk percaya terhadap kebenaran mainstream lagi. Terlepas dari dampak yang dirasakan, pertanyaan sesungguhnya justru adalah mengapa mereka percaya?
Dibutuhkan untuk Kebutuhan
Latar belakang sosial ekonomi menjadi salah satu alasan mengapa seseorang lebih mudah untuk percaya terhadap teori konspirasi. Teori konspirasi memberikan pelarian bagi masalah kesulitan ekonomi yang dihadapi individu dengan memberi mereka makna dalam hidup dan bisa menjadi jangkar yang kuat bagi pencarian identitas.Â
Sang individu menganggap kepercayaannya terhadap teori konspirasi sebagai "pengalaman transformatif" di mana ia menemukan keunikan dirinya. Keterlibatan dalam teori konspirasi juga berfokus pada orang-orang yang masih memerlukan pertumbuhan secara pribadi, ekonomi dan sosial.Â
Contoh dunia nyata dari hal ini adalah mereka yang melakukan penolakan terhadap Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di Indonesia dengan alasan kepercayaan mereka bahwa COVID-19 tidak nyata.Â
Hal ini bukan terjadi karena mereka percaya terhadap teori konspirasi dengan sendirinya, melainkan karena dorongan naluriah atas kebutuhan bertahan hidup sehingga mereka merasionalisasi hal ini melalui teori konspirasi yang terdengar kompleks dan memiliki dasar kuat.Â
Sehingga, di masa kini, sangat penting bagi pembuat kebijakan untuk memahami kompleksitas dari perilaku manusia agar dampak yang dirasakan bukan hanya secara material tetapi juga secara psikologis.
Dapatkah orang buta menuntun orang buta?
Sangat keliru bagi mereka yang menggambarkan perilaku para penikmat konspirasi sebagai hal yang tidak jelas dan tanpa dasar. Alasan kepercayaan mereka telah tertanam dalam struktur sosial-ekonomi yang mereka hadapi dan psikologis diri mereka. Kita telah melihat berbagai contoh konspirasi yang merugikan masyarakat di masa kini.Â
Namun, perilaku masyarakat yang selama ini hanya menganggap mereka sebagai orang aneh sangat kontraproduktif dari hal yang harus kita lakukan untuk membimbing mereka ke pemikiran empiris yang lebih berdasar.Â
Membiarkan mereka untuk terus berinteraksi dengan sesamanya juga bukan solusi. Pada akhirnya, dapatkah orang buta menuntun sesama orang buta? Bukankah keduanya akan jatuh ke dalam lobang?
Referensi:
1. Â D. K. Chu et al., Physical distancing, face masks, and eye protection to prevent person-to-person transmission of SARS-CoV-2 and COVID-19: A systematic review and meta-analysis. Lancet 395, P1973--P1987 (2020). Google Scholar
2. Franks B, Bangerter A, Bauer MW, Hall M, Noort MC. Beyond "monologicality"? exploring conspiracist worldviews. Frontiers in psychology. 2017; 8, 861. PMID: 28676768
3. Sumber 3
4. Sumber 4
5. Loukas Balafoutas, Alexander Libman, Vasileios Selamis & Bjrn Vollan (2021) Exposure to conspiracy theories in the lab, Economic and Political Studies, 9:1, 90-112, DOI: 10.1080/20954816.2020.1818930
6. Sunstein, Cass R., and Adrian Vermeule. 2009. "Conspiracy Theories: Causes and Cures." Journal of Political Philosophy 17 (2): 202--227
7. Uscinski, Joseph E., and Joseph M. Parent. 2014. American Conspiracy Theories. Oxford, UK: Oxford University Press
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI