Adanya biaya royalti musik pasti meningkatkan biaya produksi dari usaha-usaha sektor komersial. Sebuah analisis supply-demand sederhana menunjukkan bahwa peningkatan biaya tersebut akan menggeser kurva supply ke kiri sehingga meningkatkan harga keseimbangan. Peningkatan harga ini dapat memperlambat perekonomian, terutama di tengah berbagai upaya pemerintah untuk meningkatkan kembali konsumsi masyarakat yang lesu akibat pandemi.
Di sisi lain, kaum pengusaha juga tidak ingin biaya mereka naik begitu saja. Banyak alternatif yang dapat mereka lakukan untuk "menghindari" pembayaran royalti. Ada penggunaan  musik bebas royalti, mengundang live performer, bahkan menghentikan pemutaran musik sama sekali. Pada akhirnya, semua ini justru berimbas buruk ke sang seniman yang seharusnya diuntungkan oleh adanya royalti. Namun, di samping itu, masih banyak masalah yang harus dihadapi menyoal perkara royalti, terutama yang berkaitan dengan industrial power dan ketimpangan di dunia musik.
Peliknya Ketimpangan di Balik Penerapan Royalti
Penerapan royalti sendiri bukanlah barang asing. Salah satu penerapannya mudah diakses oleh masyarakat umum, seperti streaming services, seperti Youtube, Spotify, dan Apple Music. Namun, streaming service bukanlah penerapan royalti yang sempurna. Malah, streaming service menjadi pintu gerbang menuju berbagai permasalahan.
Pertama, streaming service tidak seharusnya digunakan untuk tujuan komersial. Kedua, royalti yang didapat dari streaming service sangat rendah. Sebagai ilustrasi, seorang pemain cello bernama Zoe Keating merilis informasi mengenai pendapatannya selama setahun dari berbagai streaming services yang begitu jauh jika dibandingkan harga rata-rata tiketnya $63.
Terakhir, streaming service mendukung sistem industrial power yang tidak adil. Salah satu contoh paling nyata adalah musik yang dijadikan rekomendasi. Mengasumsikan ketiadaan preferensi pribadi, rekomendasi hanya berisi musik dengan tontonan yang jumlahnya besar. Tentu ini langkah yang rasional karena streaming service ingin meraup keuntungan sebesar-besarnya dengan melayani dengan gratis konten yang menarik penonton dalam jumlah besar. Namun, ini berarti artis dan label kecil tidak masuk daftar "promosi gratis" oleh streaming services.
      Penerapan royalti di tempat-tempat komersial pun tidak menyelesaikan masalah industrial power yang terpampang di streaming services. Dengan penetapan flat rate untuk royalti tanpa memandang musisi, pengguna musik akan memilih untuk menggunakan lagu yang terkenal atau karya dari artis yang terkenal. Alhasil, penerapan dengan cara ini mampu membuat musibah bagi artis dan label kecil yang karyanya tersingkirkan dan tidak terdengar oleh publik.
Batu Loncatan bagi Industri Musik Indonesia
      Terlepas dari berbagai masalah di atas, royalti tetap sangat dibutuhkan bagi para seniman dan musisi. Selain sebagai insentif berkarya, masih ada berbagai alasan musisi memerlukan royalti, dan kita sedang menghadapi salah satu alasan tersebut. Pandemi Covid-19 menghalangi hadirnya kerumunan penonton yang sering memenuhi kekosongan di depan panggung para artis. Penonton tidak ada, uang pun tidak ada. Sebelum pandemi pun, musisi dapat terhalang untuk tampil, entah karena sakit, musibah, atau---dalam kasus musisi kecil---kurangnya sumber daya untuk menciptakan penampilan yang memuaskan.