Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Polemik Beleid Musik: Menyibak Sisi Ekonomi di Balik Royalti

24 Mei 2021   19:34 Diperbarui: 24 Mei 2021   19:52 890
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan ini adalah bagian dari kajian kolaboratif antara Kanopi FEB UI dengan Dema Justicia UGM bertajuk "Dwimuka Royalti Musik: Eksplorasi Perspektif Legal dan Ekonomi". Ulasan dari perspektif hukum dapat dibaca di laman Dema Justicia UGM, di: https://s.id/KajianRoyaltiMusik

Tanggal 9 Maret 2013 menandai ditetapkannya 9 Maret sebagai Hari Musik Nasional. Tanggal tersebut diambil dari hari kelahiran maestro kondang Indonesia, pencipta lagu kebangsaan kita, Wage Rudolf (W.R.) Supratman. Sebagai rakyat Indonesia, tentu menjadi sebuah kebanggaan bahwa W.R. Supratman pernah hidup dan berkarya di Indonesia. Sebab, lagu kebangsaan Indonesia Raya selalu bisa membuat hati kita bergetar saat dinyanyikan.

Namun, andai saja Wage Rudolf Supratman bisa dihidupkan kembali, pasti ia merasa iba atas kacaunya industri musik negara ini. Bahkan, delapan tahun sehabis pemerintah mengukuhkan Hari Musik Nasional, industri musik Indonesia masih saja sengkarut. Tidak hanya karena pandemi Covid-19, tetapi juga pembajakan. Akibatnya? Penurunan kreativitas karena para musisi merasa karya yang mereka hasilkan percuma. Karya yang seharusnya dinikmati dengan apresiasi, menjadi ladang plagiasi, mengakibatkan demoralisasi. Bermusik di Indonesia untuk uang bak memaksa terwujud keinginan yang tak pernah terwujud.

Sadar akan nasib musisi dan industri musik yang tidak sehat, di bulan yang sama dengan Hari Musik Nasional, Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 mengenai Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. Kebijakan ini akan menjamin hak royalti bagi musisi. Melalui PP ini, diharapkan angin segar bisa hadir bagi industri musik dan musisi Indonesia. Namun, apakah pemerintah Indonesia siap untuk menjalankan beleid ini? Apakah kebijakan ini dapat benar-benar membawa kesejahteraan bagi musisi dan masyarakat Indonesia?

Royalti: Penyelamat Industri Musik Indonesia (?)

Menurut PP No. 56 Tahun 2021 pasal 1, royalti musik adalah imbalan atas pemanfaatan hak ekonomi suatu ciptaan atau produk yang diterima oleh pencipta atau pemilik hasil karya. Dalam konteks ini, ciptaan didefinisikan sebagai setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata.

Peraturan ini mewajibkan pengguna musik untuk keperluan komersial seperti seminar/konferensi komersial, restoran, kafe, pub, bar, dan distro untuk membayar royalti. Biaya yang dibayarkan bersifat flat rate dan dihitung berdasarkan jenis usahanya, seperti Rp500.000 per hari untuk seminar atau Rp60.000 per kursi per tahun untuk kafe dan restoran.

Royalti akan dihimpun dan didistribusikan kepada pemilik hak terkait melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), sebuah lembaga bantu pemerintah non-APBN yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Hak Cipta. Adapun penagihan royalti didasarkan pada sebuah pusat data lagu/musik bernama Sistem Informasi Lagu dan Musik (SILM), yang dapat diakses oleh pemilik dan pengguna hak cipta.

Secara ekonomi, royalti dapat dilihat sebagai suatu bentuk paten, yang merupakan perlindungan atas kekayaan intelektual dengan pemberian monopoli terbatas bagi penciptanya (Langiener & Moschini, 2002). Meski royalti merupakan suatu bentuk monopoli, tidak berarti royalti akan merugikan perekonomian. Adanya pembayaran royalti sebagai insentif bagi seniman justru akan mendorong inovasi di bidang seni, sehingga menghasilkan nilai tambah bagi perekonomian.

            Namun, kita perlu melihat juga dampak dari royalti terhadap "pelanggan" yang akan membayarkan royalti tersebut: pihak pengusaha dan lingkungan komersial. Rilisnya PP 56/2021 langsung mendapat tanggapan negatif dari perwakilan sektor komersial, di antaranya Aprindo (Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia) dan PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia). Mereka menilai aturan ini memberatkan pengusaha, apalagi di tengah pandemi Covid-19 yang masih berjalan.

Sumber: sites.google.com
Sumber: sites.google.com

Adanya biaya royalti musik pasti meningkatkan biaya produksi dari usaha-usaha sektor komersial. Sebuah analisis supply-demand sederhana menunjukkan bahwa peningkatan biaya tersebut akan menggeser kurva supply ke kiri sehingga meningkatkan harga keseimbangan. Peningkatan harga ini dapat memperlambat perekonomian, terutama di tengah berbagai upaya pemerintah untuk meningkatkan kembali konsumsi masyarakat yang lesu akibat pandemi.

Di sisi lain, kaum pengusaha juga tidak ingin biaya mereka naik begitu saja. Banyak alternatif yang dapat mereka lakukan untuk "menghindari" pembayaran royalti. Ada penggunaan  musik bebas royalti, mengundang live performer, bahkan menghentikan pemutaran musik sama sekali. Pada akhirnya, semua ini justru berimbas buruk ke sang seniman yang seharusnya diuntungkan oleh adanya royalti. Namun, di samping itu, masih banyak masalah yang harus dihadapi menyoal perkara royalti, terutama yang berkaitan dengan industrial power dan ketimpangan di dunia musik.

Peliknya Ketimpangan di Balik Penerapan Royalti

Penerapan royalti sendiri bukanlah barang asing. Salah satu penerapannya mudah diakses oleh masyarakat umum, seperti streaming services, seperti Youtube, Spotify, dan Apple Music. Namun, streaming service bukanlah penerapan royalti yang sempurna. Malah, streaming service menjadi pintu gerbang menuju berbagai permasalahan.

Pertama, streaming service tidak seharusnya digunakan untuk tujuan komersial. Kedua, royalti yang didapat dari streaming service sangat rendah. Sebagai ilustrasi, seorang pemain cello bernama Zoe Keating merilis informasi mengenai pendapatannya selama setahun dari berbagai streaming services yang begitu jauh jika dibandingkan harga rata-rata tiketnya $63.

(Keating, 2019)
(Keating, 2019)

Terakhir, streaming service mendukung sistem industrial power yang tidak adil. Salah satu contoh paling nyata adalah musik yang dijadikan rekomendasi. Mengasumsikan ketiadaan preferensi pribadi, rekomendasi hanya berisi musik dengan tontonan yang jumlahnya besar. Tentu ini langkah yang rasional karena streaming service ingin meraup keuntungan sebesar-besarnya dengan melayani dengan gratis konten yang menarik penonton dalam jumlah besar. Namun, ini berarti artis dan label kecil tidak masuk daftar "promosi gratis" oleh streaming services.

            Penerapan royalti di tempat-tempat komersial pun tidak menyelesaikan masalah industrial power yang terpampang di streaming services. Dengan penetapan flat rate untuk royalti tanpa memandang musisi, pengguna musik akan memilih untuk menggunakan lagu yang terkenal atau karya dari artis yang terkenal. Alhasil, penerapan dengan cara ini mampu membuat musibah bagi artis dan label kecil yang karyanya tersingkirkan dan tidak terdengar oleh publik.

Batu Loncatan bagi Industri Musik Indonesia

            Terlepas dari berbagai masalah di atas, royalti tetap sangat dibutuhkan bagi para seniman dan musisi. Selain sebagai insentif berkarya, masih ada berbagai alasan musisi memerlukan royalti, dan kita sedang menghadapi salah satu alasan tersebut. Pandemi Covid-19 menghalangi hadirnya kerumunan penonton yang sering memenuhi kekosongan di depan panggung para artis. Penonton tidak ada, uang pun tidak ada. Sebelum pandemi pun, musisi dapat terhalang untuk tampil, entah karena sakit, musibah, atau---dalam kasus musisi kecil---kurangnya sumber daya untuk menciptakan penampilan yang memuaskan.

            Tanpa komersialisasi diri, tidak seorangpun mampu makan. Dengan adanya royalti, kontributor industri musik dapat menikmati hasil keringatnya tanpa harus menjadi starving artist. Namun, dunia musik tidak hanya tentang musisi yang bergaya di atas panggung. Para kontributor di balik layar juga sama pentingnya, meskipun tidak setenar performer. Pencipta lagu, studio rekaman distributor lagu, dan sebagainya, menggantungkan kelangsungan hidup pada royalti.

            Dengan minimnya pemahaman hak cipta di Indonesia, perjalanan masih panjang untuk menegakkan aturan royalti secara ajek. Namun, aturan ini dapat menjadi batu loncatan bagi perkembangan-perkembangan lainnya. Meskipun masih berlubang di sana-sini, setidaknya aturan royalti musik mampu menggugah perhatian masyarakat terhadap isu royalti dan hak cipta itu sendiri. Akhir kata, semoga penerapan aturan royalti musik ini dapat semakin menyejahterakan musisi Indonesia ke depannya, agar mereka kelak dapat berdikari di negaranya sendiri.

Diulas oleh: Adrien Wida Devachandra | Amara Beatrice Hosianna Silalahi | Devan Hadrian

Divisi Kajian

Kanopi FEB UI 2021

Unity in Development

Daftar Pustaka

Anwar, M. Choirul. (2021, April 12). Mengenal Apa Itu LMKN yang Punya Wewenang Tarik Royalti Lagu. Kompas.com.

Delfino, D. (2018, October 19). How musicians really make their money - and it has nothing to do with how many times people listen to their songs. Business Insider.  

Hesmondhalgh, D. (2020). Is music streaming bad for musicians? Problems of evidence and argument. New Media & Society.

Langinier, C., Moschini, G. (2002). The Economics of Patents: An Overview. CARD Working Papers. 335.

Mankiw, N. (2016). Principles of Economics: 8th ed. Cengage Learning.

Soundcharts Team. (2020, January 9). How Music Royalties Work: 6 Types of Music Royalties. Soundcharts.

Yuniarto, O. T., & Yuniarto, T. (2021, April 20). Royalti Hak Cipta Lagu dan Musik. Kompaspedia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun