Untuk dianugerahi paras seindah arunika merupakan sesuatu yang selalu didambakan oleh umat manusia. Sudah tertanam secara kokoh dalam psikis setiap individu bahwa kita sebagai makhluk sudah sewajarnya tertarik pada individu yang memiliki nayanika. Bahkan, tidak perlu upaya kognitif sedikit pun bagi manusia untuk menyerbu individu lain yang berparas jelita (Berlyne DE, 1971).Â
Maka dari itu, tak heran jika kaum yang dihibahkan fisik juita mendapatkan keunggulan dalam berbagai aspek kehidupan. Diskriminasi. Kata itu kerap digaungkan sebagai manifestasi kekecewaan rakyat terhadap keunggulan yang dimiliki oleh kaum "good looking". Merek pakaian asal Amerika Serikat "Abercrombie & Fitch" sempat mencicipi bentuk riil dari amarah rakyat terhadap diskriminasi fisik dalam proses seleksi karyawan pada tahun 2003.Â
Merek tersebut dituding menolak untuk mempekerjakan minoritas dan cenderung mempekerjakan pekerja berkulit putih yang berparas aduhai. Akibatnya? 40 juta dollar Amerika Serikat. Nominal tersebut merupakan biaya yang perlu dibayarkan Abercrombie akibat tuduhan atas diskriminasi tersebut.Â
Menilik kondisi di tanah air, dapat disimpulkan bahwa diskriminasi di bumi pertiwi bukan ilusi. Kerap kali kita temukan pamflet lowongan pekerjaan dengan persyaratan yang cukup diskriminatif. "Berpenampilan Menarik". persyaratan tersebut sering kita temukan pada brosur lowongan kerja yang terpampang nyata di depan pintu kaca gedung ruko. Walau sudah jelas ada di lingkungan sekitar, kita masih perlu menilik teori serta penemuan empiris yang telah dilakukan terdahulu dari kacamata ekonomi.Â
Keuntungan Adiwarna
Keuntungan yang diraup oleh kaum berparas menawan bersifat multidimensional. Salah satu aspek yang menguntungkan individu "good looking" adalah aspek ekonomi, lebih tepatnya di lingkup pekerjaan. Walau keuntungan rakyat rupawan dalam konteks pekerjaan dapat ditelisik dari berbagai perspektif, penulis akan menyorot keuntungan menjadi individu adiwarna dalam aspek seleksi karyawan atau fase prakerja.
Memiliki fisik yang jelita ternyata dapat menjadi pelumas dalam proses seleksi pekerjaan. Pemberi kerja cenderung menilai individu yang rupawan memiliki keunggulan dalam hal produktivitas. Sebuah penelitian yang merupakan pengejawantahan paripurna dari pernyataan tersebut adalah penelitian yang dilakukan oleh dua ekonom. Mereka adalah Markus M. Mobius dari Harvard University dan Tanya S. Rosenblat dari Wesleyan University.Â
Dalam eksperimen mereka,subjek penelitian ditugaskan untuk menyelesaikan sebuah teka-teki berbentuk labirin sederhana dan membuat resume berisikan biodata mereka. Para penguji (pemberi pekerjaan) sendiri melalui beberapa fase pengujian. Fase itu dilakukan lewat pemberian foto dan resume para subjek, yang diberikan kesempatan untuk melakukan wawancara melalui telepon, dan wawancara langsung. Mereka ditugaskan untuk memprediksi berapa labirin sederhana yang dapat diselesaikan oleh para subjek dalam 15 menit.Â
Hasil dari penelitian tersebut mendukung hipotesis awal. Memang betul bahwa individu yang memiliki kecantikan di atas rata-rata dinilai lebih produktif dibandingkan individu lain. Individu rupawan cenderung lebih percaya diri akan kemampuan diri mereka sendiri. Tentu kepercayaan diri tersebut menjadi nilai tambah di mata para pemberi kerja.Â
Faktor kepercayaan diri individu dinilai menjelaskan 15-20% dari kelebihan ekspektasi produktivitas yang dimiliki oleh para pemberi kerja. Namun, para ekonom menilai bahwa sebagian besar dari ekspektasi produktivitas individu berasal dari penilaian hasil interaksi langsung, baik secara oral maupun secara visual. Proses wawancara melalui telepon, wawancara langsung, bahkan sekadar melihat foto para subjek penelitian dinilai berkontribusi sebesar 80% pada ekspektasi produktivitas para individu yang menawan secara fisik.
Hasil yang serupa dapat ditemukan pada sebuah penelitian di Manila, Filipina. Â Dalam eksperimen ini, sembilan puluh mahasiswa dari Universitas Dela Salle dilibatkan sebagai partisipan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecantikan memang dapat berperan sebagai pelumas dalam proses seleksi pekerja. Peningkatan sebanyak satu simpangan baku pada tingkat kecantikan individu dinilai dapat meningkatkan peluang diterima individu tersebut oleh pemberi pekerjaan sebanyak 6,98% (Luisito C. Abueg, 2020).
Salahkah?
Merujuk pada penemuan empiris serta teori-teori terdahulu, bisa ditarik bahwa diskriminasi berdasarkan keindahan paras individu adalah benar adanya. Namun, satu pertanyaan yang perlu dipertimbangkan kembali : Apakah tindakan tersebut merupakan suatu tindakan yang salah? Masyarakat awam sekalipun tentu mengetahui bahwa tujuan akhir dari suatu korporasi adalah untuk memaksimalkan laba. Seperti kata Milton Friedman, "One of the great mistakes is to judge policies and programs by their intentions rather than their results". Secara garis besar,suatu perusahaan akan mengerahkan segala upaya untuk mencapai tujuan akhir tersebut, termasuk dalam hal mempekerjakan tenaga kerja. Korporasi akan memilih calon karyawan yang diharapkan dapat menunjang keberhasilan perusahaan dalam meraup keuntungan. Apabila kecantikan merupakan salah satu karakteristik yang dipercaya perusahaan dapat meningkatkan laba, bukankah keputusan untuk mempekerjakan pekerja rupawan secara ekonomis merupakan keputusan yang rasional?
Terdapat beberapa rasionalisasi dari keputusan perusahaan untuk mempekerjakan pekerja rupawan. Pekerja dengan paras yang mentereng diasumsikan dapat meningkatkan nilai yang didapatkan oleh konsumen dari suatu produk (Baker dan Churchill, 1977). Selain itu, secara psikologis, konsumen cenderung bertindak serta menunjukkan sikap positif terhadap karyawan yang rupawan (Cash, Gillen, dan Burns 1977), Alhasil, pekerja dengan paras yang menawan lebih efektif dalam menjual suatu produk dibandingkan pekerja yang tidak dianugerahi kelebihan tersebut (Reingen, Gresham, dan Kernan 1980).Â
Pada tahun 2014, Lieven beserta koleganya melakukan sebuah penelitian yang melibatkan 64 merek dengan pamor tinggi dari berbagai industri. Penelitian ini dimaksudkan untuk menelaah signifikansi dari pengaruh kemolekan sales person terhadap keputusan konsumen. Hasil dari eksperimen ini menunjukkan bahwa konsumen lebih memilih untuk berinteraksi dengan brand yang mempekerjakan sales person yang adiwarna. Sebagai contoh, dalam kasus merek yang bersifat androgynous (tidak condong ke satu jenis kelamin), 75% dari konsumen memilih sales person perempuan dengan paras cantik. Interaksi serta asosiasi positif terhadap sales person dapat menjadi pendorong kecenderungan konsumen untuk membeli dan meningkatkan laba dari perusahaan tersebut.
Dalam hal menilai kebenaran dari tindakan diskriminasi berdasarkan keindahan paras dalam konteks mempekerjakan karyawan,  masyarakat perlu menelaah akar permasalahan dari diskriminasi berdasarkan karakteristik ini. Kecantikan merupakan suatu karakteristik fisik yang tidak diberikan secara "adil" kepada seluruh manusia di dunia. Dalam kacamata ekonomi, kecantikan dapat dikatakan sebagai endowment yang hanya diberikan kepada segelintir masyarakat di bumi ini.Â
 Akan tetapi, bukankah hal yang sama dapat dikatakan sebagai anugerah lain, seperti kelebihan dalam kemampuan intelek ataupun motorik? Memang, selama terdapat ketidakadilan dalam distribusi "anugerah", kesejahteraan yang paripurna tidak dapat tercapai. Pernyataan tersebut sejalan dengan teorema kedua dalam welfare economics yang menyatakan bahwa kesejahteraan sosial yang maksimal hanya akan dapat tercapai apabila terdapat kebijakan yang mengharuskan redistribusi.Â
Berwajah nirmala merupakan anugerah yang berpengaruh secara menyeluruh bagi kehidupan individu. Secara ekonomi, individu beruntung yang dikaruniai paras yang jelita dapat dikatakan lebih "kokoh" dibandingkan rakyat lain yang kurang beruntung walau memiliki tingkat keahlian yang sepadan. Namun, sebelum mengekspresikan emosi yang menggebu-gebu perihal ketidakadilan alamiah ini, ada baiknya kita duduk sejenak dan berkontemplasi kembali. Benarkah fenomena yang terjadi merupakan diskriminasi yang tidak beralasan? Atau ini merupakan keputusan rasional dari mempertimbangkan keuntungan yang dapat diraup? Atau justru kita semua hanya terperanjat dalam rasa iri yang mendalam?
Oleh M. Faishal Harits | Ilmu Ekonomi 2018 | Wakil Kepala Divisi Kajian Kanopi FEB UI 2020
Referensi tanpa tautan:
Lieven, T. (2016). Customers' choice of a salesperson during the initial sales encounter. Journal of Retailing and Consumer Services, 32, 109-116. doi:10.1016/j.jretconser.2016.06.005
Caballero, M. J., & Pride, W. M. (1984). Selected Effects of Salesperson Sex and Attractiveness in Direct Mail Advertisements. Journal of Marketing, 48(1), 94. doi:10.2307/1251315
Laekhanukit, B., Naves, G., & Vetta, A. (2012). Non-redistributive Second Welfare Theorems. Lecture Notes in Computer Science Internet and Network Economics, 227-243. doi:10.1007/978-3-642-35311-6_17
Mobius, M. M., & Rosenblat, T. S. (2006). Why Beauty Matters. AMERICAN ECONOMIC REVIEW, 96(1).
Abueg, L. C. (2020). Penalties and Some Counterfactuals to Beauty Premium: Evidence From a Job Search Simulation Experiment 1. DLSU Business & Economics Review, 30, 15-29.
Berlyne DE. Aesthetics and psychobiology. 1971.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H