Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Paras Nirmala: Pelumas Daya Saing Tenaga Kerja?

2 Oktober 2020   18:38 Diperbarui: 2 Oktober 2020   18:45 678
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hasil yang serupa dapat ditemukan pada sebuah penelitian di Manila, Filipina.  Dalam eksperimen ini, sembilan puluh mahasiswa dari Universitas Dela Salle dilibatkan sebagai partisipan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecantikan memang dapat berperan sebagai pelumas dalam proses seleksi pekerja. Peningkatan sebanyak satu simpangan baku pada tingkat kecantikan individu dinilai dapat meningkatkan peluang diterima individu tersebut oleh pemberi pekerjaan sebanyak 6,98% (Luisito C. Abueg, 2020).

Salahkah?

Merujuk pada penemuan empiris serta teori-teori terdahulu, bisa ditarik bahwa diskriminasi berdasarkan keindahan paras individu adalah benar adanya. Namun, satu pertanyaan yang perlu dipertimbangkan kembali : Apakah tindakan tersebut merupakan suatu tindakan yang salah? Masyarakat awam sekalipun tentu mengetahui bahwa tujuan akhir dari suatu korporasi adalah untuk memaksimalkan laba. Seperti kata Milton Friedman, "One of the great mistakes is to judge policies and programs by their intentions rather than their results". Secara garis besar,suatu perusahaan akan mengerahkan segala upaya untuk mencapai tujuan akhir tersebut, termasuk dalam hal mempekerjakan tenaga kerja. Korporasi akan memilih calon karyawan yang diharapkan dapat menunjang keberhasilan perusahaan dalam meraup keuntungan. Apabila kecantikan merupakan salah satu karakteristik yang dipercaya perusahaan dapat meningkatkan laba, bukankah keputusan untuk mempekerjakan pekerja rupawan secara ekonomis merupakan keputusan yang rasional?

Terdapat beberapa rasionalisasi dari keputusan perusahaan untuk mempekerjakan pekerja rupawan. Pekerja dengan paras yang mentereng diasumsikan dapat meningkatkan nilai yang didapatkan oleh konsumen dari suatu produk (Baker dan Churchill, 1977). Selain itu, secara psikologis, konsumen cenderung bertindak serta menunjukkan sikap positif terhadap karyawan yang rupawan (Cash, Gillen, dan Burns 1977), Alhasil, pekerja dengan paras yang menawan lebih efektif dalam menjual suatu produk dibandingkan pekerja yang tidak dianugerahi kelebihan tersebut (Reingen, Gresham, dan Kernan 1980). 

Pada tahun 2014, Lieven beserta koleganya melakukan sebuah penelitian yang melibatkan 64 merek dengan pamor tinggi dari berbagai industri. Penelitian ini dimaksudkan untuk menelaah signifikansi dari pengaruh kemolekan sales person terhadap keputusan konsumen. Hasil dari eksperimen ini menunjukkan bahwa konsumen lebih memilih untuk berinteraksi dengan brand yang mempekerjakan sales person yang adiwarna. Sebagai contoh, dalam kasus merek yang bersifat androgynous (tidak condong ke satu jenis kelamin), 75% dari konsumen memilih sales person perempuan dengan paras cantik. Interaksi serta asosiasi positif terhadap sales person dapat menjadi pendorong kecenderungan konsumen untuk membeli dan meningkatkan laba dari perusahaan tersebut.

Dalam hal menilai kebenaran dari tindakan diskriminasi berdasarkan keindahan paras dalam konteks mempekerjakan karyawan,  masyarakat perlu menelaah akar permasalahan dari diskriminasi berdasarkan karakteristik ini. Kecantikan merupakan suatu karakteristik fisik yang tidak diberikan secara "adil" kepada seluruh manusia di dunia. Dalam kacamata ekonomi, kecantikan dapat dikatakan sebagai endowment yang hanya diberikan kepada segelintir masyarakat di bumi ini. 

 Akan tetapi, bukankah hal yang sama dapat dikatakan sebagai anugerah lain, seperti kelebihan dalam kemampuan intelek ataupun motorik? Memang, selama terdapat ketidakadilan dalam distribusi "anugerah", kesejahteraan yang paripurna tidak dapat tercapai. Pernyataan tersebut sejalan dengan teorema kedua dalam welfare economics yang menyatakan bahwa kesejahteraan sosial yang maksimal hanya akan dapat tercapai apabila terdapat kebijakan yang mengharuskan redistribusi. 

Berwajah nirmala merupakan anugerah yang berpengaruh secara menyeluruh bagi kehidupan individu. Secara ekonomi, individu beruntung yang dikaruniai paras yang jelita dapat dikatakan lebih "kokoh" dibandingkan rakyat lain yang kurang beruntung walau memiliki tingkat keahlian yang sepadan. Namun, sebelum mengekspresikan emosi yang menggebu-gebu perihal ketidakadilan alamiah ini, ada baiknya kita duduk sejenak dan berkontemplasi kembali. Benarkah fenomena yang terjadi merupakan diskriminasi yang tidak beralasan? Atau ini merupakan keputusan rasional dari mempertimbangkan keuntungan yang dapat diraup? Atau justru kita semua hanya terperanjat dalam rasa iri yang mendalam?

Oleh M. Faishal Harits | Ilmu Ekonomi 2018 | Wakil Kepala Divisi Kajian Kanopi FEB UI 2020

Referensi tanpa tautan:

Lieven, T. (2016). Customers' choice of a salesperson during the initial sales encounter. Journal of Retailing and Consumer Services, 32, 109-116. doi:10.1016/j.jretconser.2016.06.005

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun