Setelah dipikir-pikir, apakah biaya akibat fenomena kebakaran hutan ini sepadan dengan keuntungan yang diraih? Lantas, bagaimanakah perhitungan secara ekonomi terhadap kebakaran hutan yang terjadi setiap tahunnya? Mari kita simak bersama!
Kebakaran Hutan dari Kacamata Perekonomian
Minyak sawit, alibi terbesar pembakaran hutan, adalah ekspor perkebunan terbesar Indonesia. Kegiatan produksi minyak sawit ini telah mengalami pertumbuhan pesat sejak pergantian abad dan ditujukan sebagai strategi pengentasan kemiskinan (Gatto et al., 2017; Edwards, 2017; Edwards dan Heiduk, 2015). Luas perkebunan kelapa sawit mencakup 4 juta hektar lahan sebelum tahun 2000 dan lebih dari 12 juta hektar lahan pada tahun 2014 (Edwards, 2017). Sebagian besar ekspansi kelapa sawit ini berasal dari konversi lahan yang tertutup hutan menjadi perkebunan sawit (Furumo dan Aide, 2017).
Mari kita ambil kebakaran hutan besar pada tahun 2015 sebagai acuan untuk membandingkan cost dan benefit yang diperoleh. CIFOR (Centre for International Forestry Research) menyimpulkan bahwa penggunaan api untuk pembukaan lahan di empat kabupaten administratif Provinsi Riau menghasilkan arus kas setidaknya tiga ribu dolar AS per hektar kelapa sawit hanya dalam tiga tahun. Kemudian, jika setiap hektar yang terbakar pada tahun 2015 diubah menjadi kelapa sawit, nilainya akan menjadi sekitar USD 8 miliar. Ini merupakan keuntungan yang terbilang tinggi untuk waktu singkat.
Pada sisi kelamnya, CIFOR turut menemukan bahwa 85% dari arus kas yang dihasilkan itu masuk ke elit lokal. Dengan kata lain, mereka yang berkuasa dan para pengembang perkebunan. Tanpa alternatif peluang ekonomi yang sepadan, tidak heran perluasan perkebunan kelapa sawit, terutama di lahan gambut terus berlanjut.Â
Bank Dunia juga memperkirakan bahwa kebakaran hutan tahun 2015 merugikan Indonesia setidaknya USD 16,1 miliar (Rp 221 triliun), setara dengan hampir dua persen dari PDB Indonesia tahun 2015. Mencengangkannya, angka ini lebih dari dua kali lipat biaya rekonstruksi setelah tsunami Aceh melanda. Angka ini juga melebihi perkiraan nilai tambah dari seluruh produksi minyak sawit tahun 2014 (12 miliar dolar AS).
Selain itu, biaya terhadap lingkungan juga sangat besar --- 26% dari total kerugian --- dan termasuk biaya hilangnya keanekaragaman hayati dan ekosistem. Kabut asap yang ditimbulkan juga bertanggung jawab atas lebih dari 500.000 kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang menyebabkan total biaya kesehatan sekitar USD 151 juta. Fenomena kabut asap juga memaksa sekolah ditutup hingga 34 hari yang menelan biaya kerugian sekitar USD 34 juta.
Sudah Saatnya Kita Bertindak
Semua penjabaran di atas menyadarkan kita semua. Kebakaran hutan akibat pembukaan lahan yang berkelanjutan ini terbukti menimbulkan dampak negatif yang membawa kerugian domestik, regional, dan global ke lebih banyak orang daripada dampak positif yang dihasilkannya. Kita pun turut diingatkan untuk dapat menyelesaikan masalah permanen yang terus-menerus terjadi ini.Â
Pemerintah telah mengeluarkan moratorium untuk mengatur konversi lahan gambut beserta rencana restorasinya sejak tahun 2015. Langkah itu disambut baik oleh para pemangku kepentingan. Moratorium dianggap sebagai tanggapan pertama yang jauh lebih ekonomis daripada biaya yang timbul dari insiden kebakaran dan asap yang berulang kali terjadi.Â
Namun, menurut Bank Dunia dalam jurnalnya yang bertajuk "The Cost of Fire: An Economic Analysis of Indonesia's 2015 Fire Crisis", langkah-langkah ini saja tidak akan mampu menyelesaikan masalah kebakaran dan kabut asap di Indonesia. Indonesia juga perlu memperkuat langkah-langkah konservasi untuk menyelesaikan krisis kebakaran hutan. Hal ini merujuk kepada fakta bahwa kedua langkah tersebut hanya menargetkan lahan gambut, mewakili sepertiga kebakaran besar pada tahun 2015.Â