"Kepala saya sendiri sudah sakit-sakitan selama 3 hari, kalau berlanjut bisa kena ke paru-paru dan efeknya 5 tahun ke depan baru terdeteksi, sangat berbahaya."
- Christian Pramudana, pengungsi bencana kabut asap Riau 2019
"Kebanyakan kegiatan di dalam rumah terus. Kebetulan tahun ini anak dua-duanya sudah SD dan bertepatan dengan mid-semester. Mau mengungsi jadinya enggak tenang karena jadwal sekolahnya tentatif, kapan aja harus siap masuk langsung ujian"
-
Susan, ibu rumah tangga, korban bencana kabut asap Riau 2019
Dua pengakuan di atas hanya segelintir dari banyaknya keresahan yang dialami masyarakat saat bencana kabut asap terjadi di Pekanbaru pada tahun lalu. Ribuan orang menanggung akibat dari kebakaran hutan saat itu. Fenomena ini bukanlah hal yang baru dan tidak hanya terjadi di Pekanbaru saja.Â
Jika kita tarik ke belakang, bencana ini lahir dari sebuah kebiasaan lawas nenek moyang bangsa. Kebiasaan ini terlihat menguntungkan pada awalnya. Akan tetapi, dia sesungguhnya membawa petaka di jangka panjang.
Kebiasaan Membakar Hutan Tanpa Henti
Kebiasaan membakar hutan bermula pada masa Neolitik. Masa ini merupakan kunci perkembangan masyarakat dan peradaban. Pada masa itu, masyarakat tidak lagi menggantungkan sepenuhnya hidup mereka pada alam dan memulai penghidupan baru mereka dengan bercocok tanam.Â
Kegiatan bercocok tanam sederhana ini mereka jalankan dengan metode slash and burn. Artinya, hutan ditebang dan dibakar untuk membuka lahan perladangan. Semenjak itu, pembakaran hutan untuk pembukaan lahan terus berlanjut dan mulai dimanfaatkan untuk membuka lahan kelapa sawit (Dauvergne, 1998; Dennis et al., 2005; Purnomo et al., 2017).
Kebiasaan ini terus berlanjut hingga tahun 1997---1998 saat Indonesia mengalami kebakaran hutan paling parah di dunia. Gambar kota-kota yang diselimuti kabut asap, hutan yang terbakar, dan orangutan yang teraniaya memenuhi ruang publik sampai menarik perhatian global. Dampaknya terhadap hutan serta emisi karbon juga cukup besar. Peristiwa ini digambarkan sebagai salah satu bencana lingkungan terburuk abad ke-20 (Glover, 2001).Â
Pada tahun 2015, Indonesia mengeluarkan lebih banyak karbon daripada seluruh Uni Eropa dan menempati peringkat ketiga untuk total polusi karbon secara global (Huijen et al., 2016; Edwards dan Heiduk, 2015). Kebakaran hutan menyumbang jumlah yang sangat besar dari pencemaran ini. 69% dari emisi karbon Indonesia selama periode 1989---2008 bersumber dari kejadian ini. (Carson et al., 2012).