"Memilih dia yang bergelimang harta, menyelinap cinta yang beraroma dusta"
Sepatah sajak goresan emas Suyatri Yatri ini menggambarkan hidup di tengah pandemi saat ini. Bangsa-bangsa yang terpuruk sedang menantikan bantuan dari teman-teman baik yang "bergelimang harta" katanya. Ya, teman baik itu bernama utang. Hari demi hari, negara-negara berkembang tak henti membuka gerbang mereka agar utang dapat masuk.
Maju kena, mundur kena. Politisi papan atas negeri ini selalu berbalas kata satu sama lain mempertanyakan, "Mau menyelamatkan nyawa atau ekonomi dulu?" Bagi yang mendahulukan nyawa tentu berpihak kepada uluran tangan teman kita, si utang. Sesungguhnya keputusan itu tidak semata salah.Â
Apalagi penanggulangan krisis kesehatan adalah paramount bagi tiap negara. Apapun biaya yang muncul harus ditanggung. Tetapi kita harus pandai menelaah, cinta apa yang sedang dipersembahkan si utang? Apakah itu cinta yang "beraroma dusta" atau murni uluran tangan semata?
Berguru Soal Utang dengan Masa Lalu
Lagi pula, akumulasi utang sementara juga dapat memainkan peran penting dalam membantu membalikkan resesi ekonomi jangka pendek. Selama resesi, pengeluaran pemerintah yang dibiayai oleh utang dapat memberikan stimulus untuk mendukung permintaan (Bank Dunia, 2015). Dengan kata lain, berutang adalah jalan yang tepat agar kebijakan fiskal ekspansif dapat dilakukan dan merangsang aktivitas ekonomi.
Biarpun begitu, kita sepatutnya belajar dari pengalaman buruk dengan utang di masa lalu. Gelombang akumulasi utang global telah terjadi tiga kali sepanjang sejarah: 1970-89, 1990-2001, dan 2002-09 (World Bank, 2020). Â
Semuanya telah terbukti mendorong negara-negara terutama negara berkembang atau Emerging Markets and Developing Economies (EMDEs) menuju jurang krisis finansial.
Rendahnya suku bunga dan perubahan besar pada pasar keuangan yang mendorong pinjaman besar-besaran menjadi pengantara utama gelombang itu.Â
Perubahan besar tersebut mencakup kenaikan bank regional, meningkatnya minat terhadap obligasi mata uang lokal, dan meningkatnya permintaan utang dari sektor keuangan non-bank di negara-negara berkembang.
Hampir 80% dari EMDEs sedang mengalami kenaikan signifikan pada utang. Seperti pada gelombang sebelumnya, kerentanan meningkat karena gelombang saat ini terjadi di tengah perlambatan pertumbuhan ekonomi. Yang berbeda adalah tanpa diduga, pandemi Covid-19 turut datang secara bersamaan.Â
Pada gelombang ini, negara-negara berkembang sedang menghadapi resesi global dalam posisi yang jauh lebih rentan dibandingkan pengalaman krisis 2009.Â
Pandemi ini meningkatkan risiko mereka untuk terlilit dalam rantai utang yang lebih luas. Lilitan ini menyebabkan keparahan resesi yang luar biasa dan prospek pemulihan yang sangat buruk.
Indonesia di Tengah Gelombang Utang dan Pandemi: Tenggelam?
Indonesia yang juga baru saja dinyatakan naik tingkat menjadi negara berpenghasilan menengah ke atas oleh Bank Dunia pada Juli 2020. Ternyata, kita tetap tidak terhindar dari terjangan gelombang utang ini. Menkeu Sri Mulyani mengakui bahwa per akhir Mei 2020, posisi utang Indonesia berada pada Rp5.258,57 triliun dengan rasio utang yang naik di angka 32,09 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Itulah kenyataan yang harus diterima setelah pemerintah merevisi Perpres Nomor 54/2020. Dalam Perpres tersebut, pemerintah mengubah postur anggaran terutama porsi defisit yang melebar dari 5,07% ke 6,34% demi mengongkosi perekonomian. Imbasnya, utang pemerintah menggelembung agar defisit tersebut mampu ditutupi.
Mendelik angka ini, Bank Dunia pun angkat bicara. Melalui ekonom senior Ralph Van Doorn, Bank Dunia mengingatkan Indonesia agar benar-benar menyiapkan langkah cekatan untuk menekan laju peningkatan utang. Sebab, porsi utang terhadap PDB yang semakin membengkak akibat pandemi Covid-19 akan sangat berpengaruh terhadap kepercayaan pasar kepada perekonomian Indonesia di masa depan.Â
Tidak lupa, dia juga mewanti-wanti pemerintah RI untuk senantiasa berhati-hati terkait utangnya setelah pelebaran defisit APBN dilakukan, tanpa melupakan pentingnya penyelamatan nyawa di kala krisis ini.
Kita ambil Indonesia dan Jepang sebagai bahan perbandingan. Jepang memiliki rasio utang yang mencapai 230 persen dari PDB, tujuh kali lebih tinggi dari Indonesia. Bedanya, negara ini memberikan utang kepada negara lain, termasuk Indonesia dalam bentuk surat berharga dan pinjaman langsung.Â
Selain itu, suku bunga surat utang yang dikeluarkan pemerintah Jepang juga sangat rendah. Yield surat utang pemerintah Jepang bertenor 10 tahun hanya di kisaran 0,222%, salah satu yang terendah di dunia.Â
Bahkan, hampir seluruh surat utang ini dibeli oleh rakyat Jepang sendiri. Dengan begitu, dana pembayaran bunga tetap beredar di dalam negeri dan utang tidak berdampak signifikan terhadap stabilitas makroekonomi Jepang.
Sebaliknya, Indonesia merupakan pengutang murni. Surat utang pemerintah Indonesia dalam rupiah (local currency bonds) yang dipegang oleh investor asing relatif sangat besar hingga 39%.Â
Rasio ini terbesar di antara negara-negara emerging markets, mengakibatkan perekonomian Indonesia sangat rentan terhadap gejolak eksternal. Yield surat utang Indonesia bertenor 10 tahun pun tergolong tinggi, yaitu 7,181 persen per 14 Juli 2020.
Jika republik ini mampu menggunakan pelampung itu dengan baik, disokong pula dengan kebijakan fiskal komplementer yang mumpuni, Indonesia pasti mampu mengapung bahkan terangkat dari kedalaman krisis saat ini.
Maka dari itu, yang sekarang menjadi perhatian adalah bagaimana pemerintah mampu memposisikan dirinya sebagai garda terdepan, baik untuk kesehatan maupun perekonomian.Â
Seluruh pemangku kebijakan di negeri ini menunggu langkah reaktif pemerintah, mulai dari pengenalan mekanisme sampai dengan pembentukan institusi yang mutakhir. Keduanya harus memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk merestorasi fiscal sustainability setelah periode pemulihan pascapandemi dimulai nanti.
Menjelajahi Gelombang Utang dan Krisis dengan Kesiapan
Gelombang-gelombang utang terdahulu menunjukkan bahwa dampak yang berlaku pada setiap negara akan bergantung kepada peran kritis dalam memilih kebijakan yang akan diimplementasikan.Â
Menurut Bank Dunia, terdapat beberapa langkah yang dapat diambil oleh negara-negara, terutama negara berkembang dalam meredam krisis walaupun memiliki utang yang tinggi.
Pertama, pemerintah Indonesia sebagai forefront harus mampu membina good governance selama pandemi dan masa pemulihan pascapandemi.Â
Menurut hemat Bank Dunia, terdapat empat kriteria yang harus dijalankan pemerintah, diantaranya keadilan, kepastian, kenyamanan, dan efisiensi. Empat kriteria ini diimplementasikan demi menjaga stabilitas dalam negeri sekaligus stabilitas ekonomi yang mendukung pertumbuhan inklusif.
Realisasi empat kriteria tersebut dapat dimulai dari pengelolaan utang yang baik dan transparan. Aspek ini harus dipenuhi untuk memastikan bahwa pinjaman dan utang apapun yang diterima hari ini dapat dibayar di kemudian hari. Bank Indonesia sebagai bank sentral juga dapat berkontribusi, terutama dalam pengambilan kebijakan moneter yang mampu meningkatkan kepercayaan investor.
Membahas sisi moneter, sejatinya pemerintah diharapkan untuk mengimplementasikan kebijakan moneter yang ketat dan berfokus kepada pengaturan inflasi dan nilai tukar. Hal ini berdasarkan pengalaman gelombang utang tahun 1999.Â
Pada masa itu, terbukti bahwa kebijakan moneter yang lebih ketat telah berhasil menurunkan inflasi dari hampir 100 persen pada 1999 menjadi lebih dari 20 persen pada 2000 dan 2001.Â
Lagipula, kebijakan moneter yang mendahulukan nilai tukar yang fleksibel dan inflasi yang terkendali dapat menyediakan memberikan jangkar nominal yang efektif bagi perekonomian (Kose, et.al. 2020).
Alternatif selanjutnya adalah perluasan sumber daya fiskal untuk pengeluaran prioritas. Perluasan tersebut dapat dilakukan dengan penguatan administrasi pajak atau reformasi pajak (Gaspar, Ralyea, dan Ture 2019; IMF 2019c; Bank Dunia 2017d). Pajak menjadi salah satu kunci utama pembiayaan saat ini karena 80% total pendapatan negara berasal dari pajak.Â
Namun faktanya, rasio pajak terhadap PDB Indonesia hanya 10,2%. Angka tersebut adalah yang terendah di antara negara-negara berkembang dan jauh di bawah batas 15% yang dibutuhkan untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi menurut IMF dan Bank Dunia. Selain itu, pendapatan pajak aktual pun diperkirakan kurang dari 50% dari pendapatan pajak potensial.
Untuk mengakali problematika perpajakan ini, Bank Dunia menyarankan beberapa poin reformasi pajak dalam laporannya yang bertajuk Indonesia Public Expenditure Review: Spending for Better Results yang terbit pada Juni 2020.Â
Poin-poin tersebut di antaranya adalah meningkatkan tarif PPh untuk kelas pendapatan tertinggi dan menerapkan "pajak hijau" untuk mendukung infrastruktur, sektor perikanan, dan sektor pariwisata.
Selanjutnya, pemerintah direkomendasikan pula untuk memperluas basis pajak korporasi sambil memberikan insentif kepada UMKM dengan tarif pajak lebih rendah.Â
Tidak lupa, Bank Dunia menganjurkan Indonesia untuk mengimplementasikan pajak bagi transaksi daring, mengingat posisi Indonesia digadang-gadang sebagai ekonomi digital terbesar dan yang pertumbuhannya tercepat seantero Asia.
Kesimpulan
Pada akhirnya, hanya waktu yang mampu menunjukkan kapan gelombang utang dan krisis ini akan surut. Secara faktual, semua negara tersakiti oleh krisis ini, bukan hanya Indonesia.Â
Maka dari itu, inilah saatnya kita kembali belajar bahwa utang memang kawan yang dapat membantu kita di kala kesusahan. Namun, sikap kita terhadap utang itulah yang akan menunjukkan "cinta" apa yang ditawarkannya.
Jika kita mampu mengambil sikap yang hati-hati terhadapnya, maka utang tidak mungkin khianat kepada kita. Jika kita mampu memberdayakan kebijakan domestik yang tepat dan cekatan, mau seberapa kuat dan lama gelombang utang ini melanda, kita pasti mampu menyintas setiap gerakannya.
Diulas oleh: Muhammad Akbar Putra | Ilmu Ekonomi 2019 | Staf Divisi Kajian Kanopi FEB UI 2020
Referensi:
- Akerlof, G, M. O. J. Blanchard, D. Romer, and J. Stiglitz. 2014. What Have We Learned?: Macroeconomic Policy after the Crisis. Cambridge, MA: MIT Press.
- Al-Rikabi, Jaffar. 2020. Tax Reforms that Support Post-Covid Economic Recovery. Indonesian Public Expenditure Review; World Bank.
- Gaspar, V., J. Ralyea, and E. Ture. 2019. "High Debt Hampers Countries' Response to a Fast-Changing Global Economy." IMFBlog; Insights & Analysis on Economics & Finance (blog).
- International Monetary Fund (IMF). 2020. Fiscal Monitor: Policies to Support People during the COVID-19 Pandemic. Washington, DC, April.
- Kose, M. A., P. Nagle, F. Ohnsorge, and N. Sugawara. 2020. Caught by the Cresting Debt Wave: Past debt crises can teach developing economies to cope with COVID-19 financing shock. Washington, DC: World Bank.
- Kose, M. A., P. Nagle, F. Ohnsorge, and N. Sugawara. 2020. Global Waves of Debt: Causes and Consequences. Washington, DC: World Bank.
- Thomas, Vincent Fabian. 2020. Utang Indonesia Naik Lagi Per Mei 2020 Jadi Rp5.258 Triliun. Diakses pada 11 Juni 2020 pukul 18.23 WIB
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H