Selain itu, suku bunga surat utang yang dikeluarkan pemerintah Jepang juga sangat rendah. Yield surat utang pemerintah Jepang bertenor 10 tahun hanya di kisaran 0,222%, salah satu yang terendah di dunia.Â
Bahkan, hampir seluruh surat utang ini dibeli oleh rakyat Jepang sendiri. Dengan begitu, dana pembayaran bunga tetap beredar di dalam negeri dan utang tidak berdampak signifikan terhadap stabilitas makroekonomi Jepang.
Sebaliknya, Indonesia merupakan pengutang murni. Surat utang pemerintah Indonesia dalam rupiah (local currency bonds) yang dipegang oleh investor asing relatif sangat besar hingga 39%.Â
Rasio ini terbesar di antara negara-negara emerging markets, mengakibatkan perekonomian Indonesia sangat rentan terhadap gejolak eksternal. Yield surat utang Indonesia bertenor 10 tahun pun tergolong tinggi, yaitu 7,181 persen per 14 Juli 2020.
Jika republik ini mampu menggunakan pelampung itu dengan baik, disokong pula dengan kebijakan fiskal komplementer yang mumpuni, Indonesia pasti mampu mengapung bahkan terangkat dari kedalaman krisis saat ini.
Maka dari itu, yang sekarang menjadi perhatian adalah bagaimana pemerintah mampu memposisikan dirinya sebagai garda terdepan, baik untuk kesehatan maupun perekonomian.Â
Seluruh pemangku kebijakan di negeri ini menunggu langkah reaktif pemerintah, mulai dari pengenalan mekanisme sampai dengan pembentukan institusi yang mutakhir. Keduanya harus memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk merestorasi fiscal sustainability setelah periode pemulihan pascapandemi dimulai nanti.
Menjelajahi Gelombang Utang dan Krisis dengan Kesiapan
Gelombang-gelombang utang terdahulu menunjukkan bahwa dampak yang berlaku pada setiap negara akan bergantung kepada peran kritis dalam memilih kebijakan yang akan diimplementasikan.Â
Menurut Bank Dunia, terdapat beberapa langkah yang dapat diambil oleh negara-negara, terutama negara berkembang dalam meredam krisis walaupun memiliki utang yang tinggi.