Perubahan besar tersebut mencakup kenaikan bank regional, meningkatnya minat terhadap obligasi mata uang lokal, dan meningkatnya permintaan utang dari sektor keuangan non-bank di negara-negara berkembang.
Hampir 80% dari EMDEs sedang mengalami kenaikan signifikan pada utang. Seperti pada gelombang sebelumnya, kerentanan meningkat karena gelombang saat ini terjadi di tengah perlambatan pertumbuhan ekonomi. Yang berbeda adalah tanpa diduga, pandemi Covid-19 turut datang secara bersamaan.Â
Pada gelombang ini, negara-negara berkembang sedang menghadapi resesi global dalam posisi yang jauh lebih rentan dibandingkan pengalaman krisis 2009.Â
Pandemi ini meningkatkan risiko mereka untuk terlilit dalam rantai utang yang lebih luas. Lilitan ini menyebabkan keparahan resesi yang luar biasa dan prospek pemulihan yang sangat buruk.
Indonesia di Tengah Gelombang Utang dan Pandemi: Tenggelam?
Indonesia yang juga baru saja dinyatakan naik tingkat menjadi negara berpenghasilan menengah ke atas oleh Bank Dunia pada Juli 2020. Ternyata, kita tetap tidak terhindar dari terjangan gelombang utang ini. Menkeu Sri Mulyani mengakui bahwa per akhir Mei 2020, posisi utang Indonesia berada pada Rp5.258,57 triliun dengan rasio utang yang naik di angka 32,09 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Itulah kenyataan yang harus diterima setelah pemerintah merevisi Perpres Nomor 54/2020. Dalam Perpres tersebut, pemerintah mengubah postur anggaran terutama porsi defisit yang melebar dari 5,07% ke 6,34% demi mengongkosi perekonomian. Imbasnya, utang pemerintah menggelembung agar defisit tersebut mampu ditutupi.
Mendelik angka ini, Bank Dunia pun angkat bicara. Melalui ekonom senior Ralph Van Doorn, Bank Dunia mengingatkan Indonesia agar benar-benar menyiapkan langkah cekatan untuk menekan laju peningkatan utang. Sebab, porsi utang terhadap PDB yang semakin membengkak akibat pandemi Covid-19 akan sangat berpengaruh terhadap kepercayaan pasar kepada perekonomian Indonesia di masa depan.Â
Tidak lupa, dia juga mewanti-wanti pemerintah RI untuk senantiasa berhati-hati terkait utangnya setelah pelebaran defisit APBN dilakukan, tanpa melupakan pentingnya penyelamatan nyawa di kala krisis ini.
Kita ambil Indonesia dan Jepang sebagai bahan perbandingan. Jepang memiliki rasio utang yang mencapai 230 persen dari PDB, tujuh kali lebih tinggi dari Indonesia. Bedanya, negara ini memberikan utang kepada negara lain, termasuk Indonesia dalam bentuk surat berharga dan pinjaman langsung.Â