Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Marriagenomics, Menimbang Alokasi Optimal dalam Rumah Tangga

13 Maret 2020   18:39 Diperbarui: 14 Maret 2020   20:21 721
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa hal pertama yang terlintas di benak Anda ketika mendengar kata ‘ibu’? Jika Anda seperti mayoritas orang Indonesia, besar kemungkinan imaji yang terbentuk adalah sosok perempuan paruh baya yang terlihat sibuk dengan pekerjaan rumah sepanjang hari. 

Sedangkan, ayah Anda sebagai pencari nafkah utama di keluarga sering kali berangkat sebelum Anda terjaga dan pulang setelah Anda terlelap.

Terdengar normal, bukan? Alasan kelaziman inilah—didukung ‘kajian-kajian ilmiah’—yang dipakai oleh DPR sebagai fondasi pembangunan RUU Ketahanan Keluarga.

Meski sudah mendapat sinyal negatif dari istana, tak ada salahnya kita meninjau ulang  kejanggalan pada RUU tersebut. Poin yang akan disoroti oleh tulisan ini adalah pasal 25 yang menjadi alat negara untuk mewajibkan suami istri untuk menjalankan tugas sesuai peran gender tradisional. 

Selain mengintrusi ranah privat, poin ini juga dinilai tidak berpihak kepada keluarga non-konvensional (i.e., single mothers dan disabled fathers) dan perempuan secara umum.

ilustrasi: KANOPI FEB UI.
ilustrasi: KANOPI FEB UI.
Masalah ini kemudian melahirkan  rentetan pertanyaan penting. Sebenarnya, dari manakah peran gender tradisional ini berasal? Dapatkah ia dijadikan justifikasi pasal problematik pada RUU Ketahanan Keluarga? 

Apa pengaruh pasal tersebut terhadap partisipasi perempuan di pasar tenaga kerja dan ekonomi negara secara agregat?  Terakhir, bagaimana ilmu ekonomi dapat membantu pasangan suami istri untuk mengalokasikan kerja, baik yang berbayar maupun tidak, secara optimal?

Argumen yang selalu dilontarkan untuk membenarkan aturan diskriminatif di atas sesungguhnya bermuara kepada salah satu konsep ilmu ekonomi paling tua, yaitu division of labor atau pembagian kerja. 

Esensi dari ide ini adalah membagi proses produksi menjadi beberapa tahap  agar pekerja fokus pada tugas-tugas tertentu. Menurut Adam Smith yang mempopulerkannya, pembagian kerja memungkinkan terjadinya peningkatan efisiensi karena spesialisasi oleh para pekerja. 

Pembagian kerja berdasarkan gender adalah pilihan yang rasional pada era pre-industrialisasi. Tepatnya, ketika terjadi pergeseran dalam metode budi daya di sektor agrikultur. Mulanya, pertanian dikelola dengan sistem pindah lahan (shifting cultivation) yang memanfaatkan alat-alat yang dipegang dengan tangan seperti cangkul. 

Lalu, sistem itu ditinggalkan oleh para petani yang beralih menggunakan alat bajak berbasis mesin atau hewan ternak (plough cultivation) yang banyak membutuhkan kekuatan tubuh bagian atas. Dalam hal ini, pekerja laki-laki memiliki keunggulan relatif terhadap pekerja perempuan.

Ekonom Ester Boserup menarik hipotesis bahwa terjadi spesialisasi yang membuat para laki-laki lebih sering bekerja di ladang dan menanamkan norma sosiokultural bahwa posisi yang pantas bagi perempuan adalah di rumah saja. Hipotesis ini kemudian diuji oleh tiga ekonom dari Harvard University dan UCLA. Pengujian mereka memberikan hasil yang menarik.

Ternyata, mereka yang leluhurnya menggunakan plough cultivation kini memiliki kepercayaan yang menunjukkan ketimpangan gender lebih besar. Selanjutnya, partisipasi perempuan dalam kegiatan non-domestik lebih sedikit, terkhusus di pasar tenaga kerja, kepemilikan perusahaan, dan bidang politik.

Akan tetapi, relevansi norma perlahan luntur seiring industrialisasi dan peningkatan pencapaian pendidikan perempuan di seluruh dunia. 

Kendati begitu, masih ada masyarakat yang memegang teguh keyakinan yang sudah kedaluwarsa ini; terlebih di negara-negara berkembang di mana ekonominya masih sangat tergantung pada sektor pertanian dan tingkat pendidikannya rendah. 

Salah satunya adalah Indonesia. Kondisi ini menimbulkan ancaman terhadap otonomi dan kesejahteraan perempuan di negara-negara tersebut.

Norma kedaluwarsa per se bukan satu-satunya masalah di sini. Bekerja di rumah bukanlah sekadar bekerja dari rumah, seperti yang sekarang marak akibat perkembangan teknologi komunikasi. Para ibu rumah tangga tidak termasuk ke dalam angkatan kerja (mereka yang bekerja dan mencari kerja). 

Namun, mereka memegang beberapa peran sekaligus sebagai asisten pribadi, supir, terapis, koki pribadi, tutor, pembersih rumah, perawat pribadi, dan pencuci serta penyetrika pakaian.

Konsekuensinya, kerja perawatan tak berbayar atau unpaid care work (UCW) yang dilakukan oleh ibu rumah tangga tersebut tidak dihitung di dalam PDB. Padahal, kerja ini menciptakan nilai ekonomi dan penting untuk kesejahteraan keluarga. Maka, berapa nilai ekonomi tersebut if women counted?

Sebuah artikel oleh The Telegraph yang terbit tahun 2014 memperkirakan jika ibu rumah tangga di Inggris digaji, mereka dapat menerima £159.137 per tahun untuk jasa mereka. Di Indonesia sendiri, belum ada studi yang  menghitung angka tersebut. 

Akan tetapi, data tadi dapat digunakan sebagai proxy untuk mengilustrasikan biaya peluang yang timbul jika seorang perempuan mengalokasikan seluruh waktunya mengerjakan UCW di rumah.

Mengabaikan UCW adalah bumbu dalam resep kebijakan yang tidak efektif dalam menangani jurang antar gender yang masih curam. Secara global, perempuan melakukan tiga kali lebih banyak UCW dari pada laki-laki. Persempit ruang itu ke wilayah Asia-Pasifik dan angka tersebut membengkak menjadi empat kali.

Apalagi, ditemukan korelasi positif antara UCW dan rendahnya partisipasi perempuan di dalam pasar tenaga kerja. Hal ini dapat dipahami melalui gagasan trade-off. 

Ketika seseorang banyak bekerja di rumah, ia akan memilih untuk bekerja lebih sedikit di sektor paid economy atau tidak sama sekali. Ibu yang bekerja juga masih melakukan sebagian besar UCW di rumah, hal ini menimpakan double burden atau beban ganda bagi mereka.

Pekerjaan berbayar tidak langsung mengimplikasikan kesejahteraan atau otonomi yang lebih besar bagi perempuan, karena beberapa perempuan memang memilih untuk tidak terlibat dalam pasar tenaga kerja. 

Namun, hal ini tetap penting dalam formulasi kebijakan karena seringkali memberikan pengaruh lebih besar kepada keluarga dan masyarakat daripada UCW.

Secara umum, mayoritas pekerja di bidang kesehatan dan perawatan adalah perempuan. Hasil simulasi Women’s Budget Group (WBG) menunjukkan bahwa jika 2% porsi PDB digelontorkan untuk investasi di bidang kesehatan dan perawatan, maka akan tercipta 2,8 juta pekerjaan baru di Indonesia. 

Proyeksi ini dilandasi oleh teori Keynesian yang menyatakan bahwa investasi oleh pemerintah akan mendorong naik permintaan barang/jasa dan employment di sektor-sektor terkait. Investasi publik diperkirakan dapat menyajikan insentif bagi perempuan lainnya untuk masuk ke dalam pasar tenaga kerja berbayar di dalam bidang ini.

Jadi, berdasarkan analisis manfaat-biaya dari membiarkan peran gender tradisional mendiktekan pembagian kerja, bagaimana seharusnya UCW di rumah tangga dialokasikan? Langkah pertama dan terpenting adalah menggembosi stereotip feminin dari UCW. Buat pekerjaan ini gender-neutral.

Dengan penggembosan ini, baik suami maupun istri dapat berperan sesuai dengan preferensi dan produktivitas mereka di dalam pekerjaan tersebut. Beban pada ibu berkurang dan ayah dapat lebih berperan di dalam tumbuh kembang anak. Akhirnya, kesejahteraan keluarga secara umum meningkat dan ekonomi negara pun bertumbuh lebih cepat.

Selain berbagi tugas dengan suami dan anak, redistribusi UCW dapat dilakukan dengan mempekerjakan asisten rumah tangga (ART). 

Namun, bagi keluarga miskin yang tidak memiliki cukup sumber daya, pemerintah perlu mengimplementasikan regulasi yang benar-benar pro-keluarga. Berikan cuti orang tua berbayar yang sama panjang serta hibah untuk ibu dari keluarga berpendapatan rendah.

Akan tetapi, setelah melihat kesenjangan antara harapan dan realita di negeri kita, rasanya tidak berlebihan jika Pasal 25 pada RUU Ketahanan Keluarga yang dicanangkan oleh DPR justru menerima cap ‘antikeluarga’ dari Sulistyowati Irianto, pengajar gender dan hukum Universitas Indonesia.

Oleh Rosalia Marcha Violeta | Ilmu Ekonomi 2018 | Kepala Divisi Kajian Kanopi FEB UI 2020

Referensi

  • Booth, A. (2013). The origins of our gender roles. Diakses dari aljazeera.com
  • Jayachandran, S. (2019). World Institute for Development Economic Research (UNU-WIDER). Social norms as a barrier to women's employment in developing countries. WIDER Working Paper Series wp-2019-74. Diakses dari  seemajayachandran.com
  • International Labour Organization. (2018). Care economy: ILO: Women do 4 times more unpaid care work than men in Asia and the Pacific. Diakses dari ilo.org
  • Elson, D. (2017). Recognize, Reduce, and Redistribute Unpaid Care Work: How to Close the Gender Gap. New Labor Forum, 26(2), 52–61. doi.org

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun