Ekonom Ester Boserup menarik hipotesis bahwa terjadi spesialisasi yang membuat para laki-laki lebih sering bekerja di ladang dan menanamkan norma sosiokultural bahwa posisi yang pantas bagi perempuan adalah di rumah saja. Hipotesis ini kemudian diuji oleh tiga ekonom dari Harvard University dan UCLA. Pengujian mereka memberikan hasil yang menarik.
Ternyata, mereka yang leluhurnya menggunakan plough cultivation kini memiliki kepercayaan yang menunjukkan ketimpangan gender lebih besar. Selanjutnya, partisipasi perempuan dalam kegiatan non-domestik lebih sedikit, terkhusus di pasar tenaga kerja, kepemilikan perusahaan, dan bidang politik.
Akan tetapi, relevansi norma perlahan luntur seiring industrialisasi dan peningkatan pencapaian pendidikan perempuan di seluruh dunia.Â
Kendati begitu, masih ada masyarakat yang memegang teguh keyakinan yang sudah kedaluwarsa ini; terlebih di negara-negara berkembang di mana ekonominya masih sangat tergantung pada sektor pertanian dan tingkat pendidikannya rendah.Â
Salah satunya adalah Indonesia. Kondisi ini menimbulkan ancaman terhadap otonomi dan kesejahteraan perempuan di negara-negara tersebut.
Norma kedaluwarsa per se bukan satu-satunya masalah di sini. Bekerja di rumah bukanlah sekadar bekerja dari rumah, seperti yang sekarang marak akibat perkembangan teknologi komunikasi. Para ibu rumah tangga tidak termasuk ke dalam angkatan kerja (mereka yang bekerja dan mencari kerja).Â
Namun, mereka memegang beberapa peran sekaligus sebagai asisten pribadi, supir, terapis, koki pribadi, tutor, pembersih rumah, perawat pribadi, dan pencuci serta penyetrika pakaian.
Konsekuensinya, kerja perawatan tak berbayar atau unpaid care work (UCW) yang dilakukan oleh ibu rumah tangga tersebut tidak dihitung di dalam PDB. Padahal, kerja ini menciptakan nilai ekonomi dan penting untuk kesejahteraan keluarga. Maka, berapa nilai ekonomi tersebut if women counted?
Sebuah artikel oleh The Telegraph yang terbit tahun 2014 memperkirakan jika ibu rumah tangga di Inggris digaji, mereka dapat menerima £159.137 per tahun untuk jasa mereka. Di Indonesia sendiri, belum ada studi yang  menghitung angka tersebut.Â
Akan tetapi, data tadi dapat digunakan sebagai proxy untuk mengilustrasikan biaya peluang yang timbul jika seorang perempuan mengalokasikan seluruh waktunya mengerjakan UCW di rumah.
Mengabaikan UCW adalah bumbu dalam resep kebijakan yang tidak efektif dalam menangani jurang antar gender yang masih curam. Secara global, perempuan melakukan tiga kali lebih banyak UCW dari pada laki-laki. Persempit ruang itu ke wilayah Asia-Pasifik dan angka tersebut membengkak menjadi empat kali.