Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Meroketnya Harga Tiket Konser

3 Januari 2020   20:02 Diperbarui: 5 Januari 2020   14:05 2098
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi banyak orang, musik adalah bagian yang amat penting dalam hidup mereka. Entah itu untuk menjadi teman kala menghadapi kemacetan di kota, penerjemah perasaan yang sering kali sulit untuk diungkapkan, pembangkit keseruan ketika berkumpul bersama teman-teman, dan berbagai peran lainnya yang membuat banyak orang merasakan suatu keterikatan terhadap musik.

Terlepas dari selera dan gaya masing-masing orang, salah satu cara klasik untuk menikmati musik adalah dengan menyaksikan konser musik.

Sejarah konser musik dimulai jauh sekali dengan adanya penampilan-penampilan sederhana oleh komunitas pemusik di gereja dan di acara-acara keluarga. Konser modern sebagaimana kita tahu sekarang baru muncul pada awal tahun 1900-an, dan kemudian berkembang pesat pada tahun 1960-an dengan lahirnya rock and roll.

Kini konser musik telah menjadi budaya yang populer di masyarakat. Namun kenaikan popularitas konser musik tidak berarti masyarakat dapat menghadiri konser dengan begitu mudahnya.

Ada satu isu partikular yang menghalangi orang-orang untuk menyaksikan penampilan musisi kegemaran mereka, yaitu harga tiket konser yang mahal.

Seberapa mahal?

Harga tiket konser secara general terus mengalami kenaikan yang signifikan. Pada tahun 2017, harga rata-rata tiket konser global berkisar pada angka $85.

Angka ini kemudian melonjak menjadi $94.31 pada 2018, yang berarti harga tiket konser tahunan mengalami kenaikan sebesar 10,95%. Kenaikan harga ini bahkan melebihi tiga kali lipat inflasi Indonesia yang pada tahun 2018 berada pada angka 3,13%.

Melihat lebih jauh lagi ke belakang, Pollstar mempublikasikan data perkembangan inflasi dan harga tiket 100 konser terpopuler di Amerika Utara yang dimulai pada tahun 1996 hingga tahun 2018.

Data menunjukkan bahwa terjadi inflasi sebesar 55,1% pada tahun 2018 dengan tahun 1996 sebagai tahun dasar. Sedangkan harga tiket konser mengalami kenaikan sebesar empat kali lipatnya, yaitu 254,8%.

Masifnya kenaikan harga tiket konser yang yang melampaui kenaikan komoditas-komoditas umum membuat tiket konser terasa semakin tak terjangkau bagi khalayak. 

Fenomena ini kemudian mengundang sebuah pertanyaan: mengapa harga tiket konser semakin mahal? Tentunya ada banyak faktor yang mempengaruhi tingginya harga tiket konser.

Namun secara garis besar, terdapat tiga alasan umum di balik fenomena global ini, yakni berkembangnya perekonomian pengalaman, berpindahnya saluran pendapatan utama musisi dari penjualan rekaman ke tur konser, serta keberadaan calo yang semakin jerah.

Era baru "perekonomian pengalaman"

Bentuk perekonomian paling sederhana, yaitu perekonomian agraris dengan komoditas hasil ekstraksi sebagai outputnya, telah berkembang menjadi tahapan-tahapan perekonomian yang lebih kompleks seiring dengan kemajuan peradaban.

Perekonomian agraris kemudian mendorong munculnya tahap kedua perekonomian, yakni perekonomian industrial yang membuat barang tangible.

Transformasi perekonomian kemudian disusul oleh kedatangan tahap perekonomian ketiga, yaitu perekonomian jasa yang menyediakan pelayanan bagi klien.

Progres dari proses produksi tidak hanya terbatas pada jenis output yang dihasilkan, melainkan juga pada nilai dari output itu sendiri. Secara umum, output yang dihasilkan melalui proses produksi yang lebih maju memiliki nilai yang lebih tinggi dibanding output hasil produksi perekonomian tahap rendah.

Sosis sapi kemasan sebagai output perekonomian industrial memiliki harga yang lebih tinggi dibanding daging sapi mentah yang merupakan output perekonomian agraris.

Sama halnya dengan bagaimana hidangan sosis sapi hasil olahan koki (jasa koki merupakan output perekonomian jasa) berharga lebih tinggi dibandingkan dengan sosis sapi kemasan.

Kini, era perekonomian baru telah tiba. Tahapan keempat ini ialah perekonomian pengalaman (B.Joseph et al., 1998). Walaupun banyak ahli sulit membedakan pengalaman dengan jasa, namun nyatanya dua output perekonomian ini jauh berbeda.

Seorang penyanyi yang bernyanyi dapat dikatakan telah menyediakan jasa bernyanyi. Namun, jika penyanyi itu kemudian mampu mengajak penonton ikut bernyanyi dan bahkan membuat mereka menari-nari dengan gembira mengikuti alunan musik, maka penyanyi tersebut telah menyajikan suatu output yang berbeda dari sekedar jasa--sebuah pengalaman.

Adanya suatu produk yang mampu membawa kesan istimewa bagi konsumennya, baik dalam konteks emosional, fisik, intelektual, ataupun spiritual, membuat orang banyak terus menaikkan permintaan mereka terhadap pengalaman.

Mereka rela membayar mahal, dan sebagai dampaknya perusahaan-perusahaan pun terinsentif untuk berlomba mendesain pengalaman yang mampu mewujudkan kesan istimewa sebagaimana diminta oleh konsumen.

Sebut saja penampilan legendaris duo DJ asal Prancis Daft Punk pada Coachella 2006. Thomas Bangalter dan Guy-Manuel de-Homem Christo menyajikan sebuah penampilan yang spektakuler dengan menggunakan lightshow pada DJ set yang mereka sajikan, yang mana merupakan terobosan luar biasa mengingat saat itu para DJ belum menggunakan teknologi tersebut pada set-set mereka.

40.000 orang penonton berkerumun menyaksikan penampilan Daft Punk dalam tenda yang hanya berkapasitas 10.000 orang. Tak sedikit dari 40.000 itu yang mengaku bahwa penampilan live Daft Punk sangatlah menakjubkan, dan merupakan penampilan musikal paling berkesan yang pernah mereka saksikan.

Reaksi yang begitu luar biasa ini merupakan hasil dari kapasitas Daft Punk dalam menggelar sesuatu yang lebih dari jasa belaka, yaitu pengalaman.

Kini, para musisi tak lagi berusaha untuk sekedar menyajikan jasa bermusik saja. Berbagai terobosan pun dihadirkan dalam rangka memberikan kepuasan tertinggi bagi para penonton konser musik mereka.

Tentunya terobosan ini tidak datang tanpa biaya. Penari latar, pencahayaan, properti, dan berbagai inovasi lainnya menambah biaya produksi dari konser musik. Peningkatan biaya ini menyebabkan harga dari tiket musik yang dijual pun ikut meningkat.

Terlepas dari peningkatan harga, mayoritas publik tetap bersedia membeli tiket konser. Mengapa? Karena pada dasarnya, output perekonomian pengalaman memang memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi dari output perekonomian jasa.

Oleh sebab itu, peningkatan harga tak menghalangi publik untuk membeli tiket konser dengan tingkat harga yang lebih tinggi.

Perubahan besar dalam industri musik

Pola bisnis dari para musisi telah mengalami perubahan besar. Para musisi mulanya mengandalkan penjualan CD dan rekaman vinil sebagai sumber pendapatan mereka. Tur dan konser musik lebih ditujukan sebagai sarana promosi untuk meningkatkan penjualan karya-karya mereka.

Namun pola ini berubah semenjak karya-karya para musisi banyak dibajak dan disebarluaskan secara ilegal di internet. Penjualan album dan vinil menurun drastis karena masyarakat sudah mampu mengakses musik secara gratis. Menurut Nielson Music, penjualan album fisik turun 17,7% pada tahun 2017.

Kehadiran layanan streaming musik resmi seperti Spotify dan Apple Music juga tidak banyak mengubah keadaan. Perusahaan streaming musik membayar kurang lebih $0.006 sampai $0.0084 per streaming kepada pemegang lisensi musik.

Ini berarti untuk 1000 kali streaming, sebuah lagu dapat menghasilkan sekitar $7200. Dan bagi musisi yang bernaung di bawah label rekaman, pemasukan ini akan dibagi-bagi kepada pihak yang berkepentingan.

Oleh sebab itu, kini saluran pendapatan utama para musisi telah beralih ke konser-konser musik yang awalnya hanyalah ajang promosi.

Menurut Billboard, Taylor Swift sebagai musisi dengan bayaran tertinggi menghasilkan $99,6 juta pada tahun 2018, di mana sebesar $90,5 juta berasal dari tur konser. Pada tahun yang sama, $33 juta dari total penghasilan Justin Timberlake sebesar $37,4 juta juga berasal dari tur konser.

Perubahan fungsi konser musik inilah yang kemudian membuat banyak musisi menaikkan harga tiket konser mereka sebagai mekanisme dalam menanggapi persempitan saluran pendapatan mereka semula.

Proliferasi calo

Dahulu, calo menjual tiket konser secara konvensional dengan menawarkan tiket di sekitar lokasi konser kepada calon penonton yang belum memiliki tiket. Markup yang dikenakan pun tak bisa terlalu tinggi karena pangsa pasar hanya terbatas pada para pendatang yang belum membeli tiket.

Kini, pasar sekunder tiket sudah jauh meluas dengan semakin lazimnya internet. Calo-calo banyak yang menawarkan tiket konser di media sosial dan situs-situs ticket resell seperti StubHub.

Dengan adanya bantuan teknologi berupa online reselling platform, para calo dimudahkan untuk menemukan penawar tertinggi dari tiket konser yang mereka tawarkan.

Belum lagi dengan adanya utilisasi bot oleh para calo yang mampu membeli banyak tiket sekaligus sesaat setelah promotor melepas tiket konser di pasar primer.

Menurut penelitian Distil Research Lab tahun 2019, 42,2% aktivitas pembelian tiket pada pasar primer dieksekusi oleh bot dengan prevalensi pembelian oleh bot yang mengalami kenaikan sebesar 12,3% per tahunnya.

Alhasil jumlah tiket konser yang mampu diperoleh masyarakat dari pasar primer pun terus-menerus berkurang dan tiket konser menjadi semakin langka.

Kelangkaan ini memperluas kesempatan para calo untuk mengontrol harga jual tiket konser. Pada akhirnya, harga tiket konser di pasar sekunder pun semakin melambung seiring dengan munculnya teknologi-teknologi yang mampu membantu calo untuk menguasai pembelian tiket di pasar primer dan memperluas pangsa pasar di pasar sekunder.

Jadi apa dampaknya?

Sesungguhnya, semua kembali lagi kepada elastisitas permintaan masing-masing orang. Walau pada umumnya elastisitas permintaan terhadap produk pertunjukan bersifat inelastis (Marburger, Daniel R., 1997), namun tentunya elastisitas permintaan individu bervariasi.

Bagi kelompok dengan permintaan inelastis, kenaikan harga pada tiket konser tidak akan terlalu menghalangi mereka untuk membeli tiket tersebut.

Dorongan untuk tetap membeli ini dapat datang dari identitas mereka sebagai fans berat yang sangat ingin menyaksikan penampilan sang idola, atau karena mereka mencari pengalaman (output perekonomian pengalaman yang bernilai tinggi) untuk menghilangkan kepenatan mereka dari kesibukan sehari-hari.

Sedangkan bagi sebagian orang lainnya, kenaikan harga akan menghentikan mereka untuk membeli tiket konser yang semula ingin dibeli karena musisi yang tampil tidak terlalu mereka idolakan atau karena perubahan harga yang terjadi memang sudah diluar daya beli mereka.

Terlepas dari adanya kelompok yang berhenti membeli tiket, tiket konser masih saja terus terjual habis. Karena nyatanya, tiket konser tersedia dalam jumlah yang sangat terbatas. Oleh sebab itu, kuota ini akan tetap terpenuhi walaupun ada kelompok yang menghentikan permintaan.

Industri musik terus menerus berkembang. Musisi-musisi tak hentinya berinovasi untuk memproduksi karya-karya baru dan menggelar penampilan yang berkesan. Dan bagaimana dengan nasib harga tiket konser? Dengan melihat pergerakan pasar sekarang ini, nampaknya penurunan tak akan terjadi dalam waktu dekat.

Oleh: Tasya Salensia| Ilmu Ekonomi 2019 | Trainee Kajian 2019 

References Without Hyperlinks

  • Shaw, Lucas. (2019). Concerts Are More Expensive Than Ever, and Fans Keep Paying Up. Bloomberg. Didapat dari www.bloomberg.com

  • Mankiw, N. (2011). Principles of Economics. (6th edition, pp. 69-71). Cengage Learning.

  • Pine II, B. Joseph & Gilmore, James H. (1998). Welcome to the Experience Economy. Harvard Business Review July-August 1998, 97-105.

  • Marburger, Daniel R. (1997). Optimal Ticket Pricing for Performance Goods. Managerial and Decision Economics, 08/1997, Volume 18, Issue 5.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun