Karena tidak tergabung dalam label rekaman besar sehingga memiliki modal dan jaringan yang bisa dikatakan 'minim' dan sempit, mereka beruntung dengan adanya platform-platform musik digital akhir-akhir ini seperti Joox, Spotify, serta Youtube.
Sebuah survey yang dilakukan oleh Dailysocial pada tahun 2018 berjudul 'Online Music Streaming in Indonesia', 88% responden mendengarkan musik secara online. Dari jumlah tersebut, 52% membayar langganan pada aplikasi tertentu untuk mendengarkan musik dengan sistem pay-to-play. Apa artinya?
Sebagian besar masyarakat Indonesia (jika responden benar-benar mewakili populasi) sudah dan sadar untuk mendengarkan musik legal melalui platform-platform tersebut. Seperti halnya membeli album musik secara fisik, kehadiran aplikasi seperti Google Play Store dan Apple Itunes memberikan akses bagi masyarakat untuk membeli musik dalam bentuk online secara legal.
Tak hanya itu, kehadiran internet dalam dunia musik membawa inovasi baru untuk mendengarkan musik: streaming. Platform-platform musik ini memberikan bayaran pada artis berdasarkan jumlah lagu yang didengarkan oleh konsumen.
Salah satu aplikasi streaming musik paling populer di Indonesia, Spotify, memberikan bayaran sebesar $0.00397 dengan sistem pay-per-stream. Artinya, dari setiap lagu satu yang konsumen di Indonesia dengar melalui Spotify, musisi akan mendapat Rp 55,84 dari Spotify.
Spotify akan menggunakan pendapatan dari biaya langganan untuk membayarkan royalti tersebut kepada para musisi. Di tengah menurunnya tren untuk mengonsumsi musik secara fisik melalui penjualan vinyl, CD, serta kaset, kehadiran berbagai platform dengan sistem pay-to-play memberikan sumber pendapatan 'baru' bagi musisi.
Selain sumber pendapatan baru, aplikasi semacam ini juga turut berkontribusi dalam membumikan musisi-musisi baru. Apabila sebelum adanya kehadiran platform-platform ini musisi bergantung pada label rekaman (besar) untuk menjadi musisi ternama, di era ini mereka bisa mempublikasikan karyanya dan mendapatkan sumber pendapatan 'hanya' dengan 'gerakan jari'.
Selain itu, di masa yang serba digital ini, dengan mudahnya musisi-musisi mempromosikan musiknya melalui media sosial tanpa harus bergantung pada saluran-saluran konvensional seperti TV dan radio.
Pola Konsumsi yang Tercela dan Infrastruktur yang Tanggung
Internet telah menjadi pembebas bagi musisi-musisi dari ketergantungan akan label rekaman besar yang selama ini menguasai pasar musik. Dengan demikian, menjadi relevan bagi kita untuk memberikan perhatian lebih pada internet dalam rangka memajukan industri musik independen Indonesia.
Sayang, infrastruktur internet untuk dunia musik di Indonesia masih belum bisa menyokong ekosistem musik digital dengan baik.
Merujuk kembali pada survey di atas, pola konsumsi masyarakat Indonesia masih belum tepat. Alasan terbesar yang mendominasi mengapa orang-orang belum membeli musik dan/atau berlangganan musik melalui platform yang tengah berkembang adalah anggapan bahwa biaya berlangganan adalah sebuah 'pemborosan' (51,03%).