Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Economics of E-Sport: Mengubah Pandangan terhadap Games

19 April 2019   19:54 Diperbarui: 21 April 2019   01:35 4136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sewaktu masih bersekolah (atau bahkan hingga saat ini), mungkin banyak di antara kita yang pernah diberi nasihat oleh orang tua agar tidak terlalu sering bermain games karena berbagai alasan. Hal ini dikarenakan orang tua yang beranggapan bahwa pendidikan adalah hal yang utama, dan games dapat mengganggu pendidikan yang akan memberi dampak negatif kepada perkembangan dan masa depan anak.

Namun, seiring dengan perkembangan teknologi yang memicu perkembangan games saat ini, stigma negatif terhadapnya perlahan mulai bergeser.

Saat ini, ternyata ada beberapa orang tua yang mendukung anaknya untuk bermain games, bahkan hingga membayar mentor untuk melatih mereka. Lantas, bagaimana pandangan mengenai games tersebut dapat bergeser?

Sebelum menjawab pertanyaan diatas, mari kita melihat terlebih dahulu apa saja stereotip yang melekat pada games yang menyebabkan orang tua begitu antipati terhadapnya.

Biaya Peluang dari Bermain Games

Stereotip bahwa bermain games dapat mengganggu fokus anak terhadap pendidikan muncul karena games secara langsung menimbulkan kecanduan karena menimbulkan efek kesenangan yang berlebihan sehingga membuat pemainnya ingin terus bermain, bahkan hingga  lupa waktu. Kecanduan tersebut dipengaruhi oleh berbagai macam desain dari games.

Beberapa desain yang dimasukkan ke dalam games yang menjadi daya tarik di antaranya games dengan skor tertinggi, bertingkat dan memiliki level tertentu, misi petualangan, achievement, multiplayer, serta berbagai desain lainnya.

Hal ini mengindikasikan ketika kepuasan kita bertambah karena telah mencapai suatu achievement, level atau skor, ataupun telah menyelesaikan suatu misi, kita semakin tertantang untuk terus bermain hingga mencapai level dan mengalahkan skor tertinggi, ataupun menyelesaikan semua misi dan achievement yang ada. dan seorang pemain akan merasa puas ketika ia telah berhasil mencapai level tertinggi atau mengakhiri misi permainannya.

Hal ini dapat dianalisis dengan teori perilaku konsumen, yaitu dengan teori The Law of Diminishing Marginal Utility di mana ketika kita mencapai suatu tingkatan level pada games, kita terus menambah durasi atau waktu untuk bermain games agar kepuasan kita semakin bertambah dan apabila kita telah mencapai level tertinggi dan permainan selesai, barulah seorang pemain mencapai tingkat kepuasan yang maksimum.

Meskipun untuk beberapa games, kita tidak selalu harus menyelesaikannya terlebih dahulu agar dapat mencapai kepuasan maksimum. Hal ini juga bergantung kepada jenis games dan tipe dari pemainnya.

Selain itu, desain games yang berkembang saat ini banyak sekali yang menggunakan karakter, senjata, serta atribut yang diperlukan dalam permainan dan dapat diperoleh dengan cara membelinya atau memenangkan berbagai tingkatan level games.

Hal ini akan memicu kita agar terus memainkan games agar dapat mengumpulkan karakter, senjata, serta atribut tersebut dan tentu saja membuat kita harus mengeluarkan uang untuk membeli karakter, senjata, dan atribut tersebut dan juga memerlukan waktu yang lama untuk memainkannya.

Pada akhirnya, hal-hal di atas tentu saja berpengaruh langsung kepada kinerja akademik, di mana selain mengganggu waktu belajar, boros terhadap pengeluaran, games juga mengakibatkan hilangnya fokus anak terhadap pelajaran, dan selanjutnya akan berdampak kepada perkembangan akademis anak di sekolah. Anggapan itu menjadi terbukti ketika nilai anak di sekolah menjadi menurun.

Hal inilah yang menjadi salah satu alasan kuat mengapa kebanyakan orang tua melarang anaknya untuk bermain games.

Selain pandangan di atas mengenai akademik, adanya pendapat yang mengatakan bahwa anak-anak yang selalu bermain games dengan ponsel atau komputer secara terus menerus akan menumbuhkan sifat malas untuk melakukan sesuatu ataupun berkegiatan, sehingga membuat mereka lebih senang menghabiskan waktu seharian di dalam kamar daripada bermain dengan teman sebaya di luar rumah.

Walaupun bermain games meningkatkan kemampuan berpikir serta kemampuan dalam pengambilan keputusan, namun bila kita hanya menghabiskan waktu seharian di dalam kamar dan malas untuk melakukan sesuatu bersama teman sebaya di luar rumah, kita menjadi kurang pergaulan dan memiliki hubungan sosial yang buruk dengan orang lain.

Oleh karena itu, dikhawatirkan anak-anak akan cenderung sulit bersosialisasi dengan masyarakat.

Hal lainnya yang menjadi pandangan buruk bagi masyarakat mengenai games adalah bermain games sering diasosiasikan dengan kebiasaan yang tidak sehat.

Duduk di depan layar PC/Laptop ataupun ponsel terlalu lama yang mengakibatkan mata lelah, pusing, hingga sakit kepala ringan hingga berat, yang disebut juga dengan cyber sickness.

Selain itu, games juga menyebabkan jam tidur seseorang menjadi terganggu akibat bermain games hingga larut malam, kebiasaan ngemil saat malam hari, makan yang tidak teratur, serta jarang berolahraga yang berpotensi menimbulkan obesitas.

Selain itu, kesehatan mental juga dapat terganggu saat bermain games. Saat seseorang bermain games, tentu kemenangan tidak selalu terjadi.

Bagi orang-orang yang memiliki pengalaman sering memenangkan suatu permainan, akan menjadi suatu hal yang menyebalkan ketika ia mengalami kekalahan di dalam permainan.

Hal ini akan menyebabkan frustasi serta emosi yang tidak stabil dari pemain tersebut akibat kekalahan yang diterimanya saat bermain games.

Hal ini tentu saja akan membuat kesehatan mental seseorang terganggu. Bahkan untuk beberapa kasus, pemain games sampai melakukan bunuh diri karena tidak dapat menerima kekalahan serta buruknya pengendalian mental saat mengalami kekalahan. 

Dari beberapa pendapat di atas, dapat kita analisis bahwa walaupun saat kita semakin lama bermain games memberikan kepuasan yang semakin tinggi, hal-hal seperti waktu belajar yang dikorbankan untuk bermain games, uang yang dikeluarkan untuk membeli berbagai karakter pada games, hubungan sosial yang buruk dengan orang lain, serta dampak kesehatan fisik dan mental yang ditimbulkan dari games dapat kita anggap menjadi biaya peluang dari bermain games.

Karena apabila kita tidak bermain games, kita dapat menggunakan waktu luang yang dimiliki untuk belajar, dapat menggunakan uang untuk keperluan lain, dapat bersosialisasi dan berhubungan dengan orang lain di sekitar kita, dan juga dapat terhindar dari berbagai dampak kesehatan fisik dan mental yang ditimbulkan dari bermain games.

Setelah kita membahas mengenai hal-hal atau stereotip apa saja yang menyebabkan games dipandang sebagai sesuatu yang negatif, lantas bagaimanakah pandangan ini dapat bergeser dan kemudian menyebabkan orang tua seakan berbalik untuk mendorong anaknya bermain games bahkan rela mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk menyediakan mentor atau pelatih bagi anak mereka agar dapat bermain games dengan baik?

Jawabannya adalah : eSport. 

Perubahan Pandangan Mengenai Games
Seiring dengan perkembangan teknologi, perkembangan pada industri games saat ini telah memunculkan jenis games baru yang beragam dan juga gaming platform yang digunakan semakin meluas mulai dari PC, konsol, hingga smartphone yang mempermudah banyak orang  untuk bermain games.

Namun, games saat ini tidak hanya berfungsi untuk mengisi waktu luang, sebagai hobi, ataupun sebagai penghilang kejenuhan dari rutinitas sehari-hari.

Games saat ini telah menjadi rutinitas dalam kehidupan sehari-hari bagi banyak orang bahkan sebagai profesi tetap baginya, yaitu sebagai seorang 'gamer'.

Artinya, seorang gamer bermain games secara serius dan profesional. Perubahan pola pikir tersebut menjadikan games mulai diakui sebagai salah satu cabang olahraga dengan nama electronic sport atau eSport.

ESport sebagai cabang olahraga profesional kini mulai dipertandingkan pada berbagai ajang olahraga internasional seperti Asian Games 2018 di Indonesia serta SEA Games 2019 di Filipina mengindikasikan adanya perkembangan yang signifikan pada industri games.

Selain itu, adanya kompetisi eSport tingkat dunia lainnya seperti The International (DOTA 2), Global Starcraft II, League of Legend World Championship, Fortnite World Cup, dan sederet kompetisi lainnya memberikan peluang bagi para Gamers dan Atlet eSport untuk berkompetisi dan memenangkan hadiah yang besar dari pertandingan tersebut.

Lantas, Bagaimanakah eSport dapat mengubah pandangan terhadap games ?

Efek Moneymaker
Chris Bryan Moneymaker, seorang akuntan dan pemain poker amatiran, pada  tahun 2003 mengalahkan 839 pemain dan kemudian memenangkan World Series of Poker (WSOP).

Kemenangannya itu sulit dipercaya dan dapat dikatakan mustahil karena ia merupakan seorang amatir, sementara pemenang-pemenang sebelumnya merupakan pemain-pemain profesional.

Selain itu, dengan biaya masuk/buy-in yang hanya $86 (yang relatif sangat kecil dibandingkan biaya masuk utama sebesar $10.000), ia dapat memenangkan posisi pertama pada kompetisi tersebut dan membawa hadiah $2,5 juta.

Setelah kemenangan tersebut, hadiah bagi pemenang pertama dari WSOP meningkat secara signifikan, mencapai $12 juta pada 2006, hanya 3 tahun setelah kemenangannya.

Dengan adanya filosofi "Semua orang bisa menang" yang menyebar ke seluruh komunitas poker bahkan komunitas poker online setelah kemenangan Moneymaker dan ditambah dengan peningkatan hadiah bagi pemenang kompetisi poker dunia tersebut menyebabkan kenaikan yang pesat pada jumlah online poker dan live poker di seluruh dunia.

Hal ini mengindikasikan bahwa kemenangan Moneymaker telah menyebabkan terjadinya pertumbuhan audiens yang luas dari permainan poker dan selanjutnya mendorong poker menjadi permainan yang dikenal dan dimainkan secara luas. Sehingga dampak dari pertumbuhan audiens yang luas tersebut dikenal dengan Efek Moneymaker.

Efek Moneymaker pada eSport
Dengan menganalisis game  "Fortnite" sebagai salah satu game  eSport yang paling banyak dimainkan saat ini, kita dapat menjelaskan bagaimana Efek Moneymaker bekerja pada industri eSport.

Saat ini, banyak games yang terkenal kompetitif dan sangat sulit untuk dimainkan dan bahkan cenderung 'mengintimidasi' para pemain baru untuk berpartisipasi seperti misalnya game Counter Strike: Global Offensive.

Namun dengan munculnya games seperti Fortnite dengan format multi-pemain atau yang lebih dikenal dengan nama Multiplayer Battle Online Arena (MOBA)  tentu saja cukup menarik bagi pemain amatir yang menginginkan agar mereka masih bisa 'menikmati' permainan melawan pemain yang lebih berpengalaman atau professional gamers dengan strategi bersembunyi di peta, atau menjadi bagian dari tim yang dapat mendukung pemain amatir tersebut. 

Epic, sebagai game developer dari Fortnite tidak hanya ingin membuat Fortnite menarik bagi 'orang-orang lama', ia juga menggunakan format kompetisi untuk Fortnite yang bertujuan menarik audiens seluas mungkin.

Epic yang baru-baru ini mengumumkan turnamen akbar mereka, Fortnite World Cup 2019, dengan total hadiah sebesar $ 100 juta tentu saja ingin membuat 'pemain baru' tertarik untuk mencoba permainan ini dan dapat disukai oleh semua jenis pemain, bukan hanya professional gamers.

Hal ini tentu dilakukan dalam upaya untuk memaksimalkan minat semua khalayak pada Fortnite. Selain itu, dengan adanya live-streaming Fortnite yang dilakukan oleh professional gamers misalnya seperti Richard Tyler Blevins atau yang lebih dikenal dengan nama Ninja di media Twitch dan Youtube semakin memperluas audiens dari Fortnite dan eSport secara umum.

Dapat kita lihat dari grafik dibawah, Youtube Gaming dan Twitch menjadi platform dengan audiens terbesar dari eSport.

screen-shot-2019-04-19-at-7-47-17-pm-5cb9c35dcc5283614116a046.png
screen-shot-2019-04-19-at-7-47-17-pm-5cb9c35dcc5283614116a046.png
Oleh karena itu, dapat kita analisis bahwa Fortnite yang merupakan representatif dari eSport memiliki efek yang serupa dengan kemenangan seorang Chris Moneymaker yaitu kesamaan dalam efek pertumbuhan audiens dengan upaya mencoba meraih audiens dari semua jenis pemain.

Hal tersebut akan menyebabkan meluasnya perkembangan eSport yang diiringi kenaikan hadiah bagi pemenang kompetisi-kompetisi eSport kedepannya.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa Efek Moneymaker pada eSport terjadi ketika efek pertumbuhan audiens menyebabkan masif serta luasnya perkembangan eSport serta peningkatan hadiah eSport.

Tentu saja hal yang menjadi daya tarik bagi eSport untuk digemari banyak orang adalah hadiah kompetisi eSport yang sangat fantastis.

Pada tahun 2018, The International DOTA 2 memberikan hadiah dengan total $25 juta kepada juara kompetisi tersebut.

Hadiah tersebut  lebih besar bila dibandingkan dengan kompetisi sepakbola yang diadakan FIFA yaitu Piala Konfederasi 2017 Russia ($20 juta) dan kompetisi basket NBA ($13 juta). Bahkan baru-baru ini, Fortnite mengumumkan Fortnite World Cup 2019 akan memperebutkan total hadiah senilai $100 juta. 

Jumlah hadiah yang besar dan kenaikan hadiah bagi pemenang kompetisi eSport ini membuat para orang tua yang memiliki anak yang meminati games mendukung hobi anak mereka serta menyewakan mentor atau pelatih untuk mengajarkan anak mereka.

Beberapa dari mereka bahkan tidak ragu untuk mengeluarkan uang hingga $50  per jam agar anak mereka dapat bermain games dengan baik.

Mereka ingin dengan minat dan hobi pada dunia gaming yang anak mereka miliki,  anak mereka kelak dapat menjadi seorang Professional Gamers yang sukses dan tidak hanya dapat berlaga pada kompetisi dan turnamen eSport tingkat negara atau regional, namun juga internasional dan memenangkan kompetisi bergengsi tersebut serta membawa pulang hadiah dengan nominal yang fantastis.

Trickle-down Effect pada eSport
Alasan lain yang mendukung keputusan orang tua untuk mendorong anaknya bermain games serta berkompetisi pada dunia games dan eSport saat ini adalah perkembangan eSport yang saat ini yang sangat pesat memberikan pengaruh layaknya air yang menetes ke bawah atau trickle-down effect bagi para pemainnya.

Artinya, perkembangan eSport saat ini memberikan dampak terhadap kesejahteraan para pemainnya.

Hal ini dapat kita lihat ketika perkembangan eSport saat ini memberikan dampak terhadap kesehatan para pemainnya. Professional gamers saat ini yang menjadi atlet eSport diberikan treatment khusus dalam hal kesehatan fisik dan mental.

Sebagai contoh, asosiasi eSport asal Seoul, Korea Selatan, yaitu Gen.G , memberikan para pemainnya fasilitas berupa  training room, gym, lounge, dokter umum, ahli gizi, bahkan psikolog untuk menyejahterakan pemainnya.

Hal ini dilakukan agar para pemain dapat menjaga kesehatan fisik dan mental yang tentu saja berpengaruh terhadap kemenangan dalam pertandingan.

Selain dampak kesehatan, penghasilan yang besar dari seorang professional gamers saat ini membuktikan bahwa perkembangan eSport berdampak besar terhadap karir seorang gamers. Penghasilan yang besar dari pemain eSport ternyata tidak hanya berasal dari gaji dan hadiah turnamen ataupun kompetisi yang diikutinya, melainkan juga dari berbagai hal.

Misalnya, saat ini terdapat banyak gamers yang mempunyai channel di Youtube, Twitch dan di berbagai platform lainnya. Mereka memanfaatkan media platform tersebut untuk memperoleh penghasilan tambahan dengan cara mengunggah video dan live-streaming saat mereka bermain games ataupun berkompetisi pada turnamen eSport dan kemudian mendapatkan adsense dari mengunggah video tersebut.

Contohnya seperti pemain game Fortnite, Tyler 'Ninja' yang menjadi streamer nomor satu di Twitch dengan penghasilan $10 juta pada tahun 2018, dimana 70 persen dari total pendapatannya tersebut berasal dari streaming game Fortnite di Twitch dan Youtube.

Kesimpulan
Stereotip negatif yang ada tentang games terkait dengan pendidikan, hubungan sosial dan dampak kesehatan fisik dan mental perlahan mulai bergeser seiring dengan perkembangan dunia games dengan diakuinya eSport sebagai cabang olahraga bahkan profesi saat ini.

Dengan hadiah yang fantastis dari kompetisi dan turnamen eSport yang ada saat ini ditambah dengan meningkatnya kesejahteraan para pemain, membuat orang tua mengizinkan anak mereka untuk menekuni hobinya yaitu bermain games.

Hal ini mengindikasikan telah terjadinya perubahan pandangan terhadap games dari berbagai pihak, terutama orang tua.

Oleh M Fajar Ramadhan | Ilmu Ekonomi 2018 | Staf Divisi Kajian Kanopi 2019

Referensi

  • Goldman Sachs. (2018). eSport: From Wild West to Mainstream. The Goldman Sachs Group,Inc. Retrievied from www.goldmansachs.com
  • Charles Butler. (2014). GAME DESIGN THROUGH THE LENS OF BEHAVIORAL ECONOMIC. Oslo School of Arts, Communication and Technology.
  • Martonik, Marcel. (2015). e-Sports: Playing just for fun or playing to satisfy life goals? . Presov University. Retrivied from kundoc.com
  • Borowiecki, Karol J. & Bakhshi, Hasan. (2017) Did you really take a hit? Understanding how video games playing affects individuals. University of Southern Denmark. Retrivied from www.sam.sdu.dk Economics of e-Sport: Mengubah Pandangan Terhadap Games

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun