Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Money

Rokok, Kemiskinan, dan Behavioral Economics

5 Desember 2018   18:27 Diperbarui: 5 Desember 2018   19:00 1328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berdasarkan data kemiskinan terakhir, Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa 9,82%orang Indonesia masih berada di dalam kemiskinan per bulan Maret 2018. Untuk menghitungangka kemiskinan, BPS menggunakan konsep garis kemiskinan, yaitu gambaran nilai rupiahminimum yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok makanan dan non-makanan perkapita per bulannya. 

Pada bulan yang sama, garis kemiskinan berada di Rp 401.220,- perkapita per bulannya, dengan persentase kontribusi garis kemiskinan makanan terhadap gariskemiskinan sebesar 73,48% dan persentase kontribusi garis kemiskinan non-makananterhadap garis kemiskinan sebesar 26,52%.

Dari data yang ada, dapat diteliti komoditas apakah yang memiliki sumbangan besar terhadapkemiskinan. Miris, rokok kretek filter hanya kalah dari beras sebagai komoditi terbesar dalamgaris kemiskinan dengan persentase sebesar 11,07% di perkotaan dan 10,21% di pedesaan.

Sebagai perbandingan, di peringkat ketiga terdapat komoditas telur ayam ras yang 'hanya'memiliki persentase sebesar 4,09% di perkotaan dan 3,28%. Kebutuhan makanan pokoklainnya seperti daging ayam ras, tempe, tahu, dan roti tentunya berada di bawah peringkatketiga komoditas tersebut.

Dari pemaparan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa masyarakat secara agregat cenderunguntuk mengalokasikan pengeluarannya lebih banyak untuk membeli rokok kretek filter,dibanding membeli kebutuhan pokok seperti telur ayam ras, daging ayam ras, dan bahkan tahuataupun tempe.

Delayed Reward Discounting

Fenomena ini mungkin terlihat sebagai sebuah anomali, terutama bagi mereka yang masihmemiliki pemikiran rasional terhadap kasus ini. Namun, Ilmu Ekonomi sebagai sebuah studiyang mencoba menjelaskan berbagai fenomena keseharian dapat digunakan untuk menelaahfenomena ini, khususnya menggunakan sudut pandang mikro dan individu serta menggunakanteori-teori yang ada dalam subdisiplin Behavioral Economics.

Masyarakat umum (khususnya para perokok) memiliki dua opsi pilihan, berdasarkan manfaatyang bisa didapatkan. Pilihan pertama adalah untuk mengonsumsi rokok, dengan manfaat yangakan didapat adalah kepuasan dari kandungan nikotin untuk memenuhi impuls yang ada. Diasumsikan bahwa 'jumlah' manfaat yang didapat tidak terlalu besar, mengingat rokokbukanlah suatu kebutuhan pokok untuk bertahan hidup. Juga, diasumsikan bahwa manfaatyang ada dapat segera dirasakan dengan segera, karena jarak waktu yang ada hanyalah waktuuntuk memperoleh rokok tersebut. Pilihan ini dapat dikategorikan sebagai Smaller Short-TermReward (SS).

Pilihan kedua yang dihadapi adalah pilihan untuk tidak merokok. Uang yang selama inidigunakan untuk merokok dapat dialokasikan untuk mengonsumsi lebih banyak komoditi lain yang menjadi trade-off dari rokok kretek filter, seperti telur, daging, tahu, dan tempe. Dengan demikian, diasumsikan akan ada manfaat yang jauh lebih besar yaitu tingginya tingkatkesehatan serta kualitas hidup seseorang. Namun, diasumsikan pula bahwa manfaatnya tidakbisa secara langsung melainkan di masa depan yang akan datang, karena proses untukmemiliki tingkat kesehatan dan kualitas hidup yang tinggi tidak bisa diperoleh secara sesaat.Pilihan ini dapat dikategorikan sebagai larger long-term reward.

Menggunakan asumsi yang biasa digunakan dalam Ilmu Ekonomi bahwa seseorang akanselalu memilih tindakan yang memberikan nilai (dalam kasus ini, reward) paling besar, pilihanyang logis adalah untuk tidak merokok. Namun, kenyataannya tidaklah demikian. Tindakanyang diambil oleh orang pada umumnya untuk tetap merokok dibanding makanan pokok adalahtindakan irasional yang didasarkan pada impuls. Pengambilan keputusan yang irasional inidinamakan impulsive decision-making.

Untuk menjelaskan fenomena perubahan pilihan tersebut, dapat digunakan suatu indeksmengenai pengambilan keputusan secara impulsif yang dinamakan Delayed RewardDiscounting (DRD). DRD adalah indeks yang menggambarkan seberapa cepatnya sebuahpilihan berkurang nilainya berdasarkan jarak waktu. Dalam kata lain, DRD merupakan indeksyang membuktikan bahwa orang sering overvalue reward kecil yang ada di depan mata, danundervalue reward besar yang ada di masa depan.

Samuelson P (1937) dalam artikelnya yang berjudul: "A Note on Measurement of Utility",termuat dalam The Review of Economic Studies volume 4, mencetuskan model matematikapertama dari konsep DRD ini sebagai berikut:

picture1-5c07bcdc12ae945f256db307.png
picture1-5c07bcdc12ae945f256db307.png
Sumber: dokumen pribadi

Model tersebut adalah Exponential Discount Function. Atribut V menggambarkan penilaian saatini yang diberikan oleh seseorang terhadap suatu reward. Atribut A menunjukan kuantifikasi darinilai sebenarnya reward tersebut. Atribut b adalah atribut yang menunjukan tingkat impulsivitasdari suatu tindakan, digambarkan sebagai discounting rate. Terakhir, atribut D adalah atributyang menunjukan jarak waktu didapatnya reward tersebut dari masa sekarang, dalam satuanwaktu. Secara keseluruhan, fungsi tersebut menyatakan bahwa nilai subjektif saat ini dari suatureward masa depan adalah hasil dari berkurangnya amount (nilai sebenarnya) secaraeksponensial yang diakibatkan oleh discounting rate dan jarak waktu.

Agar fungsi tersebut dapat merepresentasikan fenomena yang ada, diperlukan beberapakondisi berikut:

ass-5c07bd2aaeebe168d86f9395.jpg
ass-5c07bd2aaeebe168d86f9395.jpg
Sumber: dokumen pribadi

Grafik di atas adalah grafik yang menggambarkan Exponential Discount Function.
Grafik di atas adalah grafik yang menggambarkan Exponential Discount Function.
Dari titik awal sampai dengan menjelang T2, menggambarkan jangka waktu dari kondisi ideal(rasional) sampai ada kesempatan untuk merokok atau muncul dorongan kuat (impuls) untukmerokok, dapat ditemukan V LL > V SS. Artinya apabila pengambilan keputusan dilakukan dalamjangka waktu tersebut, opsi LL akan dipilih. Hal ini juga menunjukan rasionalitas dari setiaporang untuk memilih sesuatu yang memiliki reward lebih besar. Artinya, pada jangka waktu ini,asumsi yang digunakan dalam ilmu ekonomi klasik selama ini benar. Hal ini disebabkan karenawaktu untuk mendapat kedua reward masih jauh di masa depan.

Setelah T2, keadaan yang ada berbalik menjadi V LL < V SS. Pada titik ini, seakan-akan rokokada di 'depan mata'. Ketergantungan akan nikotin mendorong orang tersebut untuk segeramemenuhi kebutuhan impulsifnya tersebut. Setelah T2, terjadi perubahan preferensi(preference reversal) dari LL menjadi SS. 

Perubahan preferensi inilah yang sering kali dianggapirasional dan melanggar asumsi stasioneritas (stationarity) yang ada dalam ilmu ekonomi klasik yang menyatakan bahwa apabila satu pilihan telah dipilih, pilihan tersebut akan dipilih sampaijangka waktu manapun.

Salah Siapakah?

Sekitar 30,9 juta orang Indonesia merokok dan masih berada di bawah garis kemiskinan. Iniartinya, sebanyak 30,9 juta orang Indonesia masih menghabiskan sekitar 10% daripenghasilannya untuk rokok dan hanya sekitar 3-4% untuk membeli telur, daging, dan bahkanhanya sekitar 1% untuk pendidikan.

Merekalah bukti nyata dari indeks Delayed Reward Discounting ini. Mata serta pikiran merekaseakan-akan 'rabun' ketika digunakan untuk melihat reward besar yang mereka bisa dapatkandengan berinvestasi lebih besar untuk makanan pokok dan pendidikan. Mudah bagi lapisanmasyarakat menengah dan atas untuk menyalahkan mereka apabila mereka terus miskin danmenghambat perkembangan Indonesia mengingat perilaku mereka ini. Namun, apakah merekabisa sepenuhnya disalahkan?

Di Amerika Serikat dari tahun 1965-1999 hanya 9% keluarga kelas bawah (dengankecenderungan tingkat pendidikan yang rendah) dibandingkan dengan 62% keluarga kelas atas(dengan kecenderungan tingkat pendidikan yang tinggi) yang berhasil berhenti merokok. 

Menurut Keith Humphreys (2015), ada 3 penyebab yang muncul. Masyarakat kelas bawahmenghisap rokok dengan lebih mendalam dan menyebabkan tingkat adiksi lebih tinggi. Selain itu, lingkungan kerja yang cenderung memisahkan masyarakat kelas bawah dan atasmengakibatkan sulitnya memiliki lingkungan untuk berhenti merokok bagi masyarakat kelasbawah. Terakhir, akses terhadap kesehatan khususnya program untuk berhenti merokokcenderung masih tertinggal dibandingkan dengan masyarakat kelas menengah ke atas

Di luar dugaan-dugaan umum tersebut, penelitian dalam ranah Ilmu Psikologi sebagai ilmuyang terkait secara langsung dengan fenomena ini belum bisa memberikan banyak jawabanmengenai penyebab terjadinya DRD. 

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan-ilmuwanasal Jepang, Prancis, dan Amerika Serikat menyatakan bahwa rendahnya hormon Serotonin(hormon yang berkontribusi pada perasaan well-being dan bahagia) menyebabkanmeningkatnya DRD. Terdapat juga penelitian lain yang menyatakan adanya keterkaitan antaraadiksi, kesalahan pengelolaan uang, dan DRD namun menyatakan perlunya penelitian lebihlanjut.

Di tengah ketidakpastian mengenai penyebab DRD, menyalahkan kaum miskin dengansemena-mena atas kondisi yang terjadi hanya akan memperkeruh jurang yang ada. Meskipuntelah terbukti bahwa mereka bertindak berdasarkan impuls dan tidak didasari oleh pemikiranyang rasional, terdapat alasan-alasan kuat yang berasal dari luar diri mereka untuk kembali menghabiskan banyak dari pengeluarannya untuk rokok. Akan lebih bijaksana untuk berempatibagi mereka serta turut mencari solusi yang tepat untuk mengubah pola konsumsi mereka,dibanding sekedar menggerutu dan menyalahkan mereka sebagai penghambat perkembanganIndonesia.

Oleh Kevin Bagas Ksatria | Ilmu Ekonomi 2018 | Trainee Divisi Kajian Kanopi FEB UI 2018 (Kajian)

Referensi

1. Badan Pusat Statistik (BPS). 2018. Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2018.

2. Dhruv Khullar. How Behavioral Economics Can Produce Better Health Care.https://www.nytimes.com/2017/04/13/upshot/answer-to-better-health-care-behavioral-economics.html. Diakses pada 25 November 2018.

3. James Mackillop, Michael Amlung, dkk. 2011. Delayed reward discounting and addictivebehavior: a meta-analysis.

4. Leonard Green, Joel Myerson. 1993. Alternative Frameworks for the Analysis of SelfControl.

5. BHP UMY. 2018. Jumlah Perokok Di Indonesia Masih Tinggi.http://www.umy.ac.id/jumlah-perokok-di-indonesia-masih-tinggi.html. Diakses pada 26November 2018.

6. Nicolas Schweighofer, Mathieu Bertin, dkk. 2008. Low-Serotonin Levels IncreaseDelayed Reward Discounting in Humans.

7. Kristen R Hamilton, Marc N Potenza. 2012. Relations among Delay Discounting,Addictions, and Money Mismanagement: Implications and Future Direction.

8. Keith Humphreys. 2015. Why the wealthy stopped smoking, but the poor didn't

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun