Bagi Anda penggemar drama korea, tentu tidak asing dengan drama berjudul Reply 1988 yang bercerita tentang sekelompok remaja di sebuah gang kecil di sudut Kota Seoul. Kisah Duk Seon dan kawan-kawan tersebut mengangkat potret hidup bertetangga khas masyarakat Korea Selatan di akhir tahun 1980-an.
Selain itu, barangkali anda juga masih belum lupa serial kartun Hey Arnold! yang berkisah tentang petualangan karakter Arnold dan teman bermainnya yang tinggal di sebuah komplek perumahan kelas bawah di tengah-tengah kota fiksi bernama Hillwood.
Terlepas dari dua cerita fiksi tersebut, di dunia nyata pun kita hampir tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bertetangga, apalagi dalam konteks masyarakat Indonesia yang komunal. Tetangga memiliki pengaruh yang krusial terhadap perilaku dan keputusan-keputusan kita.
Misalnya, keputusan dalam membeli suatu produk, memilih sekolah, belajar, melakukan tindakan kriminal, merokok, hingga mencari pekerjaan. Tanpa kita sadari, rangkaian keputusan kita yang dipengaruhi oleh hidup bertetangga tersebut berdampak pada status dan pencapaian sosioekonomi saat ini dan di masa depan. Hal inilah yang disebut dengan neighborhood effect.
Dalam setengah abad terakhir, ekonom dan sosiolog saling bahu membahu, mencoba mengurai fenomena ini untuk melihat bagaimana peran lingkungan bertetangga menentukan kualitas hidup, seperti kesehatan, pendidikan, hingga karir seseorang.
Mungkinkah prestasi akademik Duk Seon akan lebih gemilang jika ia tidak tinggal di Ssangmun-dong? Atau bisakah Arnold mendapat pekerjaan yang lebih mapan ketika dewasa bila ia tidak tinggal di rumah susun milik kakeknya?
Bagaimana Tetangga Memengaruhi Kualitas Hidupmu?
Pertama, mari melihat neighborhood effect terhadap aspek kesehatan. Sosiolog sudah lama bersepakat bahwa lingkungan tempat tinggal berpengaruh terhadap perkembangan fisik dan psikologis seseorang lewat adaptasi nilai dan norma---yang kemudian menjadi perilaku---dari tetangga dan teman bermain di sekitar rumah.
Terkait pengaruhnya pada kesehatan, salah satu penelitian empiris yang paling komprehensif dan menarik perhatian pernah dilakukan oleh Alvarado (2016) dengan menggunakan data National Longitudinal Survey of Youth di Amerika Serikat. Ia mencoba melihat pengaruh dari hidup di lingkungan perumahan untuk kelas menengah ke bawah terhadap tingkat obesitas anak-anak dan remaja.
Penelitiannya menemukan terdapat asosiasi yang signifikan antara dua variabel tersebut. Sebuah temuan menarik dari penelitiannya menyatakan bahwa kelompok umur remaja (11-18 tahun) memiliki peluang mengidap obesitas lebih tinggi dibanding kelompok usia anak-anak (2-11 tahun). Hal ini disebabkan karena seiring bertambahnya usia, anak-anak mendapat eksposur lebih dari lingkungan tempat tinggalnya karena frekuensi interaksi dan sosialisasi yang meningkat.
Sementara itu, anak perempuan ternyata memiliki peluang mengidap obesitas lebih tinggi dibanding anak laki-laki. Peneliti menduga hal ini dapat dijelaskan karena anak perempuan memiliki lebih sedikit pilihan aktivitas fisik di luar rumah dibanding anak laki-laki.
Setidaknya ada dua mekanisme yang dapat menjelaskan hubungan lingkungan perumahan dan kehidupan bertetangga terhadap obesitas. Kondisi pertama berkaitan dengan food insecurity, yaitu kondisi di mana terbatasnya akses untuk memperoleh makanan bernutrisi dengan jumlah cukup dan harga terjangkau.
Townsend et al. (2001) menemukan bahwa food insecurity memiliki hubungan positif dengan kenaikan berat badan pada usia anak-anak. Anak-anak yang tumbuh di lingkungan perumahan di mana makanan sehat sulit didapat terpaksa harus mengonsumsi makanan tinggi kalori dan rendah nutrisi yang dapat menaikkan berat badan mereka hingga terkena obesitas.
Kedua, selain faktor makanan, obesitas juga dapat diatribusikan pada rendahnya aktivitas fisik. Di lingkungan perumahan kelas bawah, anak-anak cenderung tidak memiliki jadwal aktivitas fisik yang terstruktur, seperti yang ditemukan Kim dan Cubbin (2017). Akibatnya, ketidakaktifan menjadi norma dan berujung pada peningkatan peluang mengidap obesitas.
Selain berpengaruh terhadap kesehatan, lingkungan tempat tinggal juga berperan besar terhadap capaian akademik seseorang. Banyak studi yang membuktikan bahwa ada hubungan kuat anatara lingkungan rumah terhadap pencapaian seseorang di bidang pendidikan yang diukur melalui sejumlah indikator, seperti kesiapan bersekolah, nilai ujian, hingga tingkat kelulusan SMA.
Misalnya, penelitian Jeon (2013) yang menemukan adanya hubungan positif antara lingkungan tempat tinggal layak dengan kesiapan anak-anak untuk bersekolah. Hal ini diduga karena di lingkungan tempat tinggal tersebut umumnya tersedia fasilitas taman kanak-kanak atau child care yang memungkinkan anak-anak usia prasekolah untuk berlatih membaca dan menulis.
Penelitian lain yang menarik mengenai kaitan lingkungan tempat tinggal dengan capaian pendidikan dilakukan oleh Martens et al. (2013). Mereka mencoba melihat fenomena ini di kalangan anak-anak yang tinggal di social housing (mirip dengan rumah susun bersubsidi di Jakarta).
Temuannya menyatakan bahwa anak-anak yang tinggal di social housing memiliki capaian akademik yang lebih buruk dibanding anak-anak yang tinggal di selain social housing, meskipun orang tua mereka berada pada kuintil pendapatan yang sama.
Selain itu, penelitian ini juga menemukan bahwa remaja yang tinggal di social housing yang lokasinya dekat dengan area elit menunjukkan performa akademik lebih baik dibanding social housing di area non-elit.
Selaras dengan dampaknya terhadap faktor kesehatan, neighborhood effect juga lebih kentara terjadi pada kelompok usia sekolah dibanding usia dini. Temuan ini dapat dijelaskan oleh peer effect, yakni situasi ketika dampak dari interaksi anak di luar semakin besar dan mengimbangi dampak internal dari keluarga dan lingkungan tempat tinggal.
Artinya, meskipun secara umum anak yang tinggal di social housing memiliki performa akademik lebih rendah, tetapi, begitu mereka memasuki usia sekolah dan mendapat eksposur dari lingkungan elit di sekitar social housing, performa akademik mereka dapat menjadi lebih baik.
Terakhir, menarik pula untuk melihat bagaimana tetangga dan lingkungan tempat tinggal mempengaruhi pilihan karir dan pendapatan ketika dewasa. Karir dan pendapatan seseorang berkaitan erat dengan bagaimana tahap awal kehidupannya. Sosiolog Souglas Massey dan Ekonom Jonathan Rothwell mencoba melihat bagaimana pengaruh tetangga dan lingkungan tempat tinggal yang seseorang huni selama 16 tahun pertama memengaruhi pendapatannya pada usia 30 dan 44.
Mereka menemukan bahwa neighborhood effect memegang peran yang hampir sama dengan efek pendidikan orang tua (parenting effect). Temuannya menyatakan bahwa individu yang dibesarkan di lingkungan tempat tinggal 20 persen terkaya memiliki pendapatan masa depan 900.000 dollar AS lebih tinggi dibanding orang yang tumbuh di lingkungan tempat tinggal 20 persen termiskin. Jarak ini hampir sama dengan jarak yang ditimbulkan oleh perbedaan tingkat pendidikan antara sarjana dan lulusan SMA.
Penelitian lain yang cukup menarik dan berbeda dilakukan oleh Martin Prosperity Institute. Alih-alih membandingkan pendapatan di masa depan, mereka melihat bagaimana lokasi tempat tinggal berpengaruh terhadap pendapatan seseorang saat ini. Dengan menggunakan data mikro di Swedia, mereka menemukan bahwa neighborhood effect memberikan dampak yang berbeda terhadap pekerja kreatif dan kerah putih dengan pekerja kerah biru, di mana pengaruh lokasi tempat tinggal lebih sensitif pada pekerja kerah biru.
Hal ini disebabkan karena mereka cenderung lebih mungkin untuk berjejaring dengan teman dan tetangga untuk menemukan pekerjaan yang cocok. Sementara itu, pekerja kreatif dan kerah putih lebih independen terhadap lingkungan tempat tinggal karena keputusan karir dan pendapatannya lebih tergantung pada lingkungan tempatnya bekerja.
Apakah Pindah Rumah Solusi Terbaik?
Berangkat dari fakta-fakta empiris di atas, terlihat benang merah yang jelas bahwa mobilitas sosial vertikal naik bisa dicapai dengan pindah ke lingkungan yang lebih mampu menjanjikan kesempatan untuk mendaki status sosioekonomi.
Bagi kelas menengah, keputusan untuk pindah ini tentu masih cukup terbuka. Namun, bagaimana bagi kelompok miskin? Apakah pemerintah perlu memfasilitasi perpindahan tersebut? Pilihan kebijakan apa saja yang dimiliki pemerintah untuk mengurangi ketimpangan antar lingkungan tempat tinggal ini?
Raj Chetty, ekonom muda Harvard, lewat sejumlah penelitiannya memberikan wawasan tentang bagaimana keputusan untuk pindah rumah mempengaruhi kesempatan seseorang dalam mendaki tangga status sosioekonomi. Ia membagi wilayah-wilayah di Amerika Serikat berdasarkan tingkat seberapa besar kemungkinan seseorang dari 20% termiskin menjadi 20% terkaya.
Kemudian, ia mencoba melihat seberapa besar manfaat yang didapat seseorang apabila ia pindah dari daerah yang kesempatan mobilitas sosialnya kecil (less opportunity area) ke daerah yang bisa menjanjikan mobilitas sosial (more opportunity area) pada tingkat usia tertentu. Penemuannya menyebutkan bahwa semakin cepat seorang anak pindah, maka manfaat yang ia terima akan semakin besar, yang ditunjukkan oleh pendapatan ketika dewasa yang lebih tinggi.
Hal ini bisa ditempuh dengan membangun rumah bersubsidi di kawasan dengan tingkat kemiskinan rendah atau memberi insentif berupa fasilitas tax credit bagi keluarga yang memiliki anak usia dini untuk pindah ke rumah bersubsidi yang telah disediakan.
Pendekatan kedua adalah dengan meningkatkan kualitas perumahan yang berada di less opportunity area. Berinvestasi pada existing neighborhood ini penting untuk menjaga keseimbangan dari kebijakan sebelumnya. Namun, tantangan dari kebijakan ini adalah mengetahui determinan apa yang membuat suatu lingkungan tempat tinggal mampu menawarkan kesempatan untuk mobilitas sosial vertikal naik dibanding yang lain.
Penelitian Chetty (2016) menyebutkan bahwa faktor-faktor seperti segregasi tempat tinggal, modal sosial, struktur keluarga, dan kualitas sekolah, mampu menjelaskan perbedaan tersebut.
Oleh karena itu, investasi barang publik bisa diarahkan untuk memperbaiki faktor-faktor ini, misalnya untuk kasus obesitas di bagian sebelumnya. Dengan mengetahui bahwa anak-anak di less opportunity area tidak memiliki tempat untuk berkegiatan fisik, maka pembangunan taman bermain di wilayah tersebut boleh jadi berdampak besar terhadap pengurangan obesitas.
Pembelajaran paling penting dari mengetahui bahwa ketimpangan juga terjadi di level lingkungan tempat tinggal menitipkan pesan bahwa upaya mengurangi ketimpangan dan mendorong mobilitas sosial tidak bisa berhenti di tataran nasional, tetapi harus spesifik meruncing ke tingkat lokal sampai ke lingkungan perumahan.
Memahami apa yang membuat suatu lingkungan perumahan lebih baik dari yang lainnya adalah kunci utama. Oleh sebab itu, penelitian dan penggunaan big data perlu terus dikembangkan agar mengidentifikasi daerah mana yang paling membutuhkan dan kebijakan apa yang paling berpengaruh dapat dilakukan dengan lebih mudah.
Referensi
Alvarado, S. E. (2016). Neighborhood disadvantage and obesity across childhood and adolescence: Evidence from the NLSY children and young adults cohort (1986--2010). Social Science Research,57, 80-98. doi:10.1016/j.ssresearch.2016.01.008
Chetty, R., & Hendren, N. (2016). The Impacts of Neighborhoods on Intergenerational Mobility I: Childhood Exposure Effects. Quarterly Journal of Economics, 133(3), 1107-1162. doi:10.3386/w23001
Florida, R. (2015, January 16). How Your Neighborhood Affects Your Paycheck. Retrieved from https://www.citylab.com/life/2015/01/how-your-neighborhood-affects-your-paycheck/384536/
Jeon, Lieny. "The Effects of Family, Neighborhood, and Child Care Contexts on Preschool Children's School Readiness." Electronic Thesis or Dissertation. Ohio State University, 2013. OhioLINK Electronic Theses and Dissertations Center.
Kim, Y., & Cubbin, C. (2017). The role of neighborhood economic context on physical activity among children: Evidence from the Geographic Research on Wellbeing (GROW) study. Preventive Medicine, 101, 149-155. doi:10.1016/j.ypmed.2017.06.007
Martens, P. J., Chateau, D. G., Burland, E. M., Finlayson, G. S., Smith, M. J., Taylor, C. R. (2014). The Effect of Neighborhood Socioeconomic Status on Education and Health Outcomes for Children Living in Social Housing. American Journal of Public Health, 104(11), 2103-2113. doi:10.2105/ajph.2014.302133
Rothwell, J. T., & Massey, D. S. (2014). Geographic Effects on Intergenerational Income Mobility. Economic Geography, 91(1), 83-106. doi:10.1111/ecge.12072
Townsend, M. S., Peerson, J., Love, B., Achterberg, C., & Murphy, S. P. (2001). Food Insecurity Is Positively Related to Overweight in Women. The Journal of Nutrition, 131(6), 1738-1745. doi:10.1093/jn/131.6.1738
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H