Siapa menyangka ada yang tidak kalah bahagia dari Prancis pasca final piala dunia 15 Juli 2018 lalu. Ialah para pegiat pembangunan--mulai dari menteri dan barisan teknokratnya, akademisi, hingga aktivis swadaya masyarakat.Â
Sebab pada siang keesokan harinya, BPS merilis berita statistik paling ditunggu tahun ini: persentase penduduk miskin turun menjadi satu digit, mencatatkan level terendah sepanjang sejarah, 9,82 persen. Upaya bahu mereka berbuah manis. Bagaimana tidak, data tersebut menyampaikan pesan bahwa lebih kurang 633,2 ribu orang berhasil keluar dari kemiskinan sejak September 2017.
Menariknya, pencapaian ini tidak hanya bermakna ekonomis, tetapi juga bercita rasa politis. Mendekati tahun politik, data perekonomian seperti ini bisa menjadi peluru ampuh untuk memompa elektabilitas. Maka tidak mengherankan bila sepanjang minggu selepas data tersebut dirilis, humas berbagai kementerian sibuk mengemasnya menjadi berita fantastis.
Berangkat dari alasan itu pula, pencapaian ini tak sepenuhnya disambut positif. Ada suara sumbang mengemuka. Mulai dari yang meragukan kesahihan garis kemiskinan hingga mempertanyakan metode penanggulan kemiskinan yang dipakai.Â
Lantas, benarkah statistik kemiskinan bisa berbohong? Bagaimana sebaiknya membaca angka-angka kemiskinan? Apa dampaknya bila tak bijak memahami data kemiskinan?
 Yang Tidak Dikatakan Tentang Kemiskinan
Membaca ramainya diskusi soal angka kemiskinan ini menggiring saya pada suatu dugaan bahwa ada jurang pemisah antara pemahaman masyarakat awam dengan realitas di balik statistik kemiskinan. Jurang pemisah ini kerap menjadi celah untuk masuknya informasi bohong (hoax) karena di sana bisa diselipkan apa saja; mulai dari isu moralitas hingga retorika politis. Untuk itu, mari menelusuri lebih jauh apa yang tidak dikatakan media (dan kebanyakan orang) ketika bicara soal kemiskinan.
Pertama, terkait perdebatan tentang garis kemiskinan yang dinilai tidak utuh merekam fakta kemiskinan itu sendiri. Perdebatan ini ramai di kalangan politisi dan diamini oleh masyarakat awam. Namun, benarkah isu ini begitu penting sehingga perlu menjadi perhatian utama?
Untuk menjawabnya, ada baiknya memahami terlebih dahulu bagaimana BPS menetapkan garis kemiskinan. Garis ini menjadi penting karena ia berkuasa memisahkan si miskin dengan si tidak-miskin. Sementara untuk mendefinisikan siapa si miskin saja kita bisa berdebat semalam suntuk.Â
Oleh karena itu, dari berbagai pilihan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach) dalam mengukur kemiskinan. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar yang diukur dari sisi pengeluaran. Lalu, bagaimana menilai seseorang dapat memenuhi kebutuhan dasarnya?
PBB merekomendasikan untuk menggunakan pendekatan pengeluaran makanan dan non makanan sebagai ukurannya. Untuk mengukur pengeluaran makanan, digunakan asumsi kebutuhan manusia akan 2.100 kilokalori per hari. Oleh karena itu, dibuatlah  Garis Kemiskinan Makanan (GKM).Â
GKM adalah jumlah nilai pengeluaran dari 52 komoditas dasar makanan yang riil dikonsumsi penduduk referensi (20 persen penduduk yang berada di atas garis kemiskinan sementara) yang kemudian disetarakan dengan 2.100 kilokalori per kapita per hari. Kebutuhan dasar tentu tak berhenti soal perut. Maka ada yang dikenal dengan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). GKNM merupakan penjumlahan nilai kebutuhan minimum dari komoditas nonmakanan terpilih seperti perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan.
Dengan menjumlahkan kedua garis kemiskinan ini, maka diperoleh batas garis kemiskinan total. Dari proses yang amat baku tersebut, rata-rata garis kemiskinan Maret 2018 jatuh di angka Rp401.220 per kapita per bulan atau sekitar Rp13.000 per hari. Mereka yang pengeluaran hariannya di bawah itulah yang dikategorikan miskin.
Garis kemiskinan inilah yang menjadi kontroversial karena dinilai tidak utuh merekam fakta kemiskinan yang sesungguhnya. Sejumlah pihak menilai garis kemiskinan ini terlalu rendah Padahal, kita perlu berhati-hati untuk sampai ke kesimpulan tersebut.Â
Ketika kita membayangkan pengeluaran Rp13.000 per hari tidak cukup untuk bertahan hidup dengan menggunakan diri kita atau mungkin orang yang kita kenal sebagai referensi, itu bukanlah gambaran yang memiliki keterwakilan cukup. Hal tersebut terlalu subjektif dan secara ilmiah sulit dipercaya. Di sanalah pentingnya kehadiran statistik. Â
Statistik membantu kita melihat referensi populasi yang menyeluruh, bebas bias. Statistik kemiskinan adalah agregasi yang mewakili ratusan juta unit populasi yang tentu saja tak secara sederhana dapat kita analogikan dengan sesuatu yang kasuistik.
Lantas, kemudian muncul aspirasi untuk menggunakan garis kemiskinan versi lain, misalnya Bank Dunia. Ternyata, apabila garis kemiskinan ekstrem versi Bank Dunia yang dipatok PPP $1,99 digunakan (ingat! tidak bisa dikonversi ke kurs biasa), angka kemiskinan Indonesia justru lebih rendah, hanya 3,8 persen atau setara 10,9 juta orang. Beda lagi halnya jika kita memakai garis kemiskinan untuk negara berpendapatan menengah ke atas yang dipatok sebesar PPP $5,5.Â
Dengan mengacu pada garis kemiskinan ini, maka lebih dari setengah, 54,6 persen, masyarakat Indonesia tergolong miskin. Ini tentu juga terlalu tinggi dan akan dibantah karena makin tak memberikan gambaran utuh kemiskinan di Indonesia.Â
Lalu bagaimana seharusnya? Menanggapi persoalan ini, ada ekonom yang menjawabnya sambil berkelakar: kalau tidak puas dengan garis kemiskinan versi BPS dan Bank Dunia, silakan pakai garis kemiskinan versi hati nurani sendiri. Â
Jawaban tersebut boleh jadi hanya kelakar, tetapi juga bisa ditafsirkan sebagai sindiran. Hikmahnya adalah meributkan soal garis kemiskinan sejatinya menjauhkan kita dari diskusi yang produktif dan substantif. Pemaparan singkat di atas menyadarkan kita bahwa garis kemiskinan bersifat dinamis dan tergantung pada tingkat pembangunan ekonomi sebuah negara.Â
Selama metode pengukuran yang digunakan sahih secara ilmiah, ia akan senantiasa menyesuaikan dengan kompleksitas masyarakat. Berdasarkan Dartanto dan Otsuho (2013), masyarakat yang masih terbelakang akan fokus pada ukuran kemiskinan pangan, sedangkan masyarakat sedang berkembang ukuran kemiskinan terletak pada kebutuhan dasar (pangan, sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan).
Kedua, dari poin pertama kita tahu media dan diskusi masyarakat awam biasanya terlalu terfokus pada indikator kemiskinan makro, yaitu angka persentase kemiskinan. Jika hanya berbekal wawasan mengenai angka kemiskinan yang kerap menjadi headline media tersebut, kita tidak bisa berbicara banyak tentang kemiskinan sebab itu hanya menyatakan indeks kemiskinan head count.Â
Indeks kemiskinan head count hanya memberi tahu berapa banyak persentase dan jumlah orang miskin di suatu wilayah pada waktu tertentu. Tidak ada kebijakan optimal yang bisa berpijak pada data tersebut.Â
Banyak hal yang tidak ia katakan, seperti seberapa parah tingkat kemiskinan, seberapa timpang kondisi di antara orang miskin, berapa banyak yang masuk kelompok rentan miskin, bagaimana profil kelompok miskin, dan wawasan penting lainnya. Maka biarkanlah politisi saja yang sibuk meributkannya, rakyat harus naik kelas ke diskusi yang lebih berarti.
Untuk itu, publik juga perlu tahu indikator kemiskinan lain, misalnya poverty severity index, yaitu indeks yang menunjukkan tingkat keparahan kemiskinan. Bagaimana jadinya bila persentase penduduk miskin turun tetapi diiringi dengan fakta bahwa mereka yang miskin ternyata semakin terpukul? Namun, sayangnya pembahasan ini jarang disentuh media arus utama. Padahal, bukankah diskusi semacam ini yang sebaiknya ditumbuhkan di akar rumput?
Ketiga, hal yang menggelitik dan juga sepi dari pembicaraan khalayak adalah bagaimana angka kemiskinan itu bisa "dipijat" dengan intervensi kebijakan pemerintah. Kebijakan penanggulan kemiskinan memang bisa mengurangi angka kemiskinan, tetapi belum tentu menyentuh struktur masalahnya. Bagaimana hal ini terjadi?
Di Indonesia, sumber data untuk pengukuran kemiskinan  yang digunakan adalah Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Pencacahannya dilakukan setiap Maret dan September. Selain itu, kita juga maklum bahwa beras adalah komoditas penyumbang terbesar dalam penghitungan garis kemiskinan.Â
Akibatnya, angka kemiskinan akan sangat sensitif terhadap perubahan harga beras. Yusuf (2018) menemukan setiap 1% kenaikan harga beras, misalnya, terdapat potensi kenaikan jumlah orang miskin di Indonesia sebanyak hampir 300 ribu orang. Maka untuk menyiasati agar angka kemiskinan dapat ditekan, pemerintah akan dengan segala upaya, at all cost, menggelontorkan beras sejahtera di bulan-bulan mendekati masa pencacahan.
Contohnya, untuk mencapai angka kemiskinan satu digit pada Maret 2018, pemerintah memastikan distribusi rastra berjalan paripurna. Waktu rastra sampai ke tangan masyarakat disesuaikan dengan jadwal survei.Â
Hal ini terbukti dari data realisasi distribusi rastra pada Januari, Februari, dan Maret 2018 yang  mencapai 99%. Praktik ini telah berlangsung dari pemerintahan sebelumnya karena dinilai mampu memitigasi memburuknya angka kemiskinan. Dahulu, upaya seperti ini dilakukan dengan mendistribusikan rastra (dulu raskin) sebanyak dua kali pada bulan saat survei dilakukan.
Praktik seperti ini berbahaya karena selain menciptakan angka kemiskinan artifisial, ini juga menggiring pemerintah untuk rentan mengambil kebijakan yang salah kaprah. Dengan mengetahui bahwa beras menyumbang satu per lima komponen pengeluaran makanan, pemerintah akan fokus bagaimana menekan harga beras dan mengurangi tekanan pada kelompok 40 persen terbawah.Â
Sekilas tidak ada yang salah, tetapi memaknai penanggulangan kemiskinan dengan memastikan harga beras terjangkau bisa berdampak pada over-simplifikasi permasalahan. Ini memberi kesan pemerintah menggampangkan urusan kemiskinan dengan menjadikan faktor beras sebagai penentu jumlah orang miskin.
Dengan merangkul persepsi seperti itu, kita bisa terjebak pada perangkap yang kita buat sendiri. Karena ingin mengurangi jumlah penduduk miskin, alih-alih memperbaiki tata niaga, pemerintah justru menekan harga beras dengan cara menetapkan harga eceran tertinggi (HET) yang berpotensi menekan harga di tingkat petani.Â
Cara itu bisa menekan kemiskinan di satu sisi tetapi menambah kemiskinan di sisi lain. Tanpa menyentuh akar persoalan dan tutup mata pada masalah struktural, kita  akan terus diberi tontonan penurunan angka kemiskinan semu yang makin lama makin melambat.
Lebih Jujur Bicara Kemiskinan
Dengan menyadari kegagapan kita memahami angka kemiskinan, kita belajar untuk tidak sekadar memelototi deretan angka ketika membaca data statistik. Apa jadinya jika kita bisa menjadi lebih jujur bicara tentang angka kemiskinan?
Jawabannya sederhana: kita akan punya pijakan yang kokoh dalam merumuskan kebijakan dan upaya mengurangi jumlah penduduk miskin akan lebih nyata. Upaya tersebut memerlukan kesamaan pemahaman tentang makna dari angka kemiskinan yang dihasilkan. Jika masih ada jurang antara kebijakan dan pemaknaan yang benar terkait kemiskinan makro dan dimensi-dimensinya, sangat memungkinkan bahwa hasil dari pembangunan yang cukup agresif saat ini akan berbeda dengan yang diharapkan (Hasbullah, 2017).
Ada satu definisi kemiskinan yang cukup retoris, sering disingkat 4L: Â the last, the least, the lowest, and the loss. Mereka yang miskin adalah mereka yang senantiasa paling akhir dalam memperoleh beragam kesempatan, paling sedikit menerima tetesan berkah pembangunan, paling rendah derajat kehidupan sosialnya, dan senantiasa kehilangan arah dalam menentukan pilihan-pilihan kesempatan.Â
Dengan jujur mengakui bahwa kelompok 4L ini sulit tersentuh dengan berbagai program seperti pembangunan infrastruktur padat karya, pemberian modal usaha, penyediaan fasilitas kredit, dan pemberian subsidi input pertanian, kita sudah maju selangkah. Artinya, kita bisa menggeser fokus untuk merumuskan program penanggulangan kemiskinan yang lebih tepat sasaran.
Tentu dengan menelusuri siapa sebenarnya si miskin dan bagaimana karakteristiknya, diskusi akan menjadi lebih kritis, positif dan produktif.Â
Misalnya dengan mengetahui konsentrasi penduduk miskin ada di aktivitas pekerja serabutan di pertanian, buruh tani, dan petani gurem, kita bisa mempertanyakan: apakah beragam program penanggulangan kemiskinan di perdesaan yang ada saat ini telah berpijak pada realitas tersebut?Â
Apakah proyek infrastruktur skala besar, menengah, bahkan infrastruktur yang dibangun dengan dana desa telah memberi peluang bekerja bagi kelompok penduduk tersebut atau justru peluang itu lebih banyak dinikmati mereka yang berada di lapisan di atas garis kemiskinan?
Begitu juga dengan buruh kasar bangunan, buruh industri rumah tangga, buruh angkut, buruh yang bekerja di rumah makan skala kecil, apakah telah terakomodasi dengan beragam paket kebijakan penanggulangan kemiskinan yang ada? Jika pembuat kebijakan bersandar pada kejujuran data, lalu kebijakan penanggulangan kemiskinan dirancang berdasarkan karakteristik yang digambarkan oleh statistik tersebut, hasilnya tentu akan lebih nyata dan efektif.
Membaca data statistik bukan sekadar melihat besaran angka lalu memperdebatkannya. Konsep, definisi, metode pengukuran, dan karakteristik yang melingkupinya akan banyak berbicara tentang pemaknaan dari setiap angka yang dihasilkan.
Oleh Zihaul Abdi | Ilmu Ekonomi 2016 | Wakil Kepala Divisi Kajian Kanopi 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H