GKM adalah jumlah nilai pengeluaran dari 52 komoditas dasar makanan yang riil dikonsumsi penduduk referensi (20 persen penduduk yang berada di atas garis kemiskinan sementara) yang kemudian disetarakan dengan 2.100 kilokalori per kapita per hari. Kebutuhan dasar tentu tak berhenti soal perut. Maka ada yang dikenal dengan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). GKNM merupakan penjumlahan nilai kebutuhan minimum dari komoditas nonmakanan terpilih seperti perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan.
Dengan menjumlahkan kedua garis kemiskinan ini, maka diperoleh batas garis kemiskinan total. Dari proses yang amat baku tersebut, rata-rata garis kemiskinan Maret 2018 jatuh di angka Rp401.220 per kapita per bulan atau sekitar Rp13.000 per hari. Mereka yang pengeluaran hariannya di bawah itulah yang dikategorikan miskin.
Garis kemiskinan inilah yang menjadi kontroversial karena dinilai tidak utuh merekam fakta kemiskinan yang sesungguhnya. Sejumlah pihak menilai garis kemiskinan ini terlalu rendah Padahal, kita perlu berhati-hati untuk sampai ke kesimpulan tersebut.Â
Ketika kita membayangkan pengeluaran Rp13.000 per hari tidak cukup untuk bertahan hidup dengan menggunakan diri kita atau mungkin orang yang kita kenal sebagai referensi, itu bukanlah gambaran yang memiliki keterwakilan cukup. Hal tersebut terlalu subjektif dan secara ilmiah sulit dipercaya. Di sanalah pentingnya kehadiran statistik. Â
Statistik membantu kita melihat referensi populasi yang menyeluruh, bebas bias. Statistik kemiskinan adalah agregasi yang mewakili ratusan juta unit populasi yang tentu saja tak secara sederhana dapat kita analogikan dengan sesuatu yang kasuistik.
Lantas, kemudian muncul aspirasi untuk menggunakan garis kemiskinan versi lain, misalnya Bank Dunia. Ternyata, apabila garis kemiskinan ekstrem versi Bank Dunia yang dipatok PPP $1,99 digunakan (ingat! tidak bisa dikonversi ke kurs biasa), angka kemiskinan Indonesia justru lebih rendah, hanya 3,8 persen atau setara 10,9 juta orang. Beda lagi halnya jika kita memakai garis kemiskinan untuk negara berpendapatan menengah ke atas yang dipatok sebesar PPP $5,5.Â
Dengan mengacu pada garis kemiskinan ini, maka lebih dari setengah, 54,6 persen, masyarakat Indonesia tergolong miskin. Ini tentu juga terlalu tinggi dan akan dibantah karena makin tak memberikan gambaran utuh kemiskinan di Indonesia.Â
Lalu bagaimana seharusnya? Menanggapi persoalan ini, ada ekonom yang menjawabnya sambil berkelakar: kalau tidak puas dengan garis kemiskinan versi BPS dan Bank Dunia, silakan pakai garis kemiskinan versi hati nurani sendiri. Â
Jawaban tersebut boleh jadi hanya kelakar, tetapi juga bisa ditafsirkan sebagai sindiran. Hikmahnya adalah meributkan soal garis kemiskinan sejatinya menjauhkan kita dari diskusi yang produktif dan substantif. Pemaparan singkat di atas menyadarkan kita bahwa garis kemiskinan bersifat dinamis dan tergantung pada tingkat pembangunan ekonomi sebuah negara.Â
Selama metode pengukuran yang digunakan sahih secara ilmiah, ia akan senantiasa menyesuaikan dengan kompleksitas masyarakat. Berdasarkan Dartanto dan Otsuho (2013), masyarakat yang masih terbelakang akan fokus pada ukuran kemiskinan pangan, sedangkan masyarakat sedang berkembang ukuran kemiskinan terletak pada kebutuhan dasar (pangan, sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan).
Kedua, dari poin pertama kita tahu media dan diskusi masyarakat awam biasanya terlalu terfokus pada indikator kemiskinan makro, yaitu angka persentase kemiskinan. Jika hanya berbekal wawasan mengenai angka kemiskinan yang kerap menjadi headline media tersebut, kita tidak bisa berbicara banyak tentang kemiskinan sebab itu hanya menyatakan indeks kemiskinan head count.Â