Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Memitigasi Bencana Ekonomi dari Kredit Pendidikan

13 April 2018   16:30 Diperbarui: 13 April 2018   20:22 2458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wacana kredit pendidikan telah menimbulkan pro dan kontra di masyarakat, terutama di kalangan mahasiswa. Ini memang tak lepas dari adanya kelemahan dan tantangan dalam pelaksanaannya. Akan tetapi, perdebatan yang berlangsung lebih sering berkutat pada masalah kepantasan, sasaran target, serta frasa-frasa normatif lainnya. Kajian ini akan fokus ke dampak kredit pendidikan terhadap perekonomian Indonesia.

Perlu diingat bahwa adanya kredit pendidikan tidak harus berarti bahwa pemerintah berhenti menyediakan berbagai program beasiswa. Penawaran kredit pendidikan dapat berjalan bersamaan dengan adanya beasiswa pemerintah, di mana kredit pendidikan bersifat komplementer, bukan menggantikan. 

Kredit pendidikan dapat ditujukan untuk membantu masyarakat yang tidak cukup mapan untuk membayar segala biaya kuliah, tetapi juga belum tentu memenuhi syarat untuk mendapatkan bidikmisi atau beasiswa semacamnya. Hal ini sangat relevan di Indonesia, merujuk pada pernyataan Bank Dunia bahwa saat ini 45% masyarakat Indonesia berada pada 'kelas aspirasi', yakni tidak miskin dan tidak rentan untuk menjadi miskin, tetapi belum mencapai kemapanan ekonomi dan gaya hidup kelas menengah.

Sementara, Amerika Serikat baru saja mengalami kenaikan debtpada student loan yang menyentuh US$1,49 triliun, tertinggi sepanjang sejarahnya. Jumlah ini ditanggung 45 juta peminjam dan persentase student loan delinquency rate (peminjam gagal atau terlambat membayar dalam tempo 90 hari atau lebih) mencapai 11,2 persen. Setiap bulannya, peminjam berusia 20 hingga 30 tahun harus membayar pinjamannya dengan besaran rata-rata US$351.

Masalah utama pada kebijakan ini adalah minimnya kesadaran mahasiswa sebagai debitur akan konsekuensi yang mengikuti keputusannya mengajukan kredit pendidikan meskipun sudah ada konseling sebelumnya. Imbasnya, debitur tidak memiliki strategi yang ampuh untuk membayar utang. Di AS, kebanyakan orang membutuhkan waktu 20 tahun untuk melunasi pinjamannya, lebih lama dari aturan yang ditetapkan.

Tantangan lain dari implementasi kebijakan kredit ini adalah kenaikan permohonan kredit yang berujung pada kenaikan biaya kuliah. Ini disebabkan oleh valuasi siswa terhadap universitas tujuan lebih besar ketimbang biaya yang harus dikeluarkan, sehingga memberi insentif bagi pihak kampus untuk terus menaikkan uang kuliah[1]. Apabila jumlah pinjaman dibatasi pada titik tertentu di bawah biaya kuliah yang ditetapkan kampus, maka banyak mahasiswa yang akan mengurungkan niatnya karena gap yang terbentuk.

Kredit pendidikan juga memiliki risiko terjadinya bubble. Risiko economic bubble chain yang dimaksud adalah potensi risiko sistemik bagi sektor finansial seperti subprime mortgage crisis pada 2008 silam. Namun, risiko serupa tampaknya masih sulit terjadi. Jika dibandingkan dengan utang kepemilikan rumah di AS, rasio utang kredit pendidikan tergolong masih kecil (10%). Kredit pendidikan juga tidak memiliki volume dan kekuatan yang cukup besar untuk memengaruhi sistem finansial. 

Dampak risiko gagal bayar yang terjadi di jenis pinjaman ini tidak akan sebesar jika gagal bayar terjadi pada kepemilikan rumah (mortgage loans), sebab total pinjaman outstanding untuk kredit pendidikan hanya sepersepuluh dari kredit kepemilikan rumah. Kasus subprime mortgage sendiri terjadi karena kenaikan pinjaman yang sangat besar (61,3%) dalam rentang 2004 sampai 2008. 

Sementara itu, dalam kurun waktu yang sama, kredit pendidikan hanya tumbuh sebesar 36%. Perlu ada tingkat kenaikan yang sama pada kredit pendidikan secara drastis dalam waktu singkat serta sebaran efek gagal bayar yang luas pada para pemain di sistem finansial untuk mencapai level krisis yang sama.

Perkara lain yang justru perlu ditakutkan adalah efek kredit ini bagi universitas dan sekolah-sekolah tinggi. Model bubble pada umumnya adalah harga suatu aset yang melebihi nilai intrinsiknya ditambah antusiasme investor yang besar karena ekspektasi akan kenaikan harga terus berlangsung. Letusan terjadi saat penawaran investor atas aset pada harga yang tinggi tidak dibarengi oleh kehadiran pembeli baru. Maka jatuhlah harganya. 

Dalam konteks pembahasan ini, institusi pendidikan sebagai penjual melakukan ekspansi dengan meningkatkan kapasitas tampung serta 'produk' yang ditawarkan. Bubble akan meletus saat penilaian mengenai perlunya memiliki gelar menurun, barangkali dipicu oleh kesulitan mencari pekerjaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun