Salah satu pertanyaan yang sering muncul dalam perdebatan adalah sejauh mana kredit pendidikan bermanfaat bagi kualitas sumber daya manusia suatu negara. Penelitian dari University of Pennsylvania menunjukkan bahwa pemberlakuan kredit pendidikan di negara berkembang dapat membantu meningkatkan kualitas SDMÂ melalui peningkatan tingkat partisipasi pendidikan tinggi.
Bila kita mencermati lebih dalam, kredit pendidikan ini dapat digunakan sebagai alat untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja di beberapa sektor dengan menjadikannya sebagai insentif bagi calon mahasiswa agar memilih jurusan-jurusan yang dibutuhkan oleh negara dan masyarakat luas. Sebagai contoh, Presiden Jokowi pernah menyebutkan bahwa Indonesia kekurangan insinyur dan lulusan sarjana teknik.Â
Melalui kredit pendidikan, pemerintah dapat mendorong anak-anak muda untuk menjadi insinyur dengan memberikan keringanan pada pelunasan kreditnya. Jadi, dengan skema dan sasaran yang tepat, insentif yang diberikan pemerintah ini dapat membantah kekhawatiran banyak pihak soal adanya kemungkinan peminjam kredit pendidikan menganggur setelah lulus dan terjebak perangkap utang.
Selain aspek manfaat, persoalan kemungkinan penerapannya di Indonesia juga kerap dipertanyakan. Sejauh ini, wacana kredit pendidikan disambut baik oleh perbankan selaku penyedia pinjaman. Dalam keterangannya, Deputi Gubernur BI Erwin Rijanto mengatakan bahwa dengan mitigasi risiko yang baik, kebijakan ini dapat diterapkan.Â
Bahkan  Bank Rakyat Indonesia baru-baru ini meluncurkan program kreditnya yang diperuntukkan bagi mahasiswa pascasarjana. Respons positif yang ditunjukkan dunia perbankan Indonesia memberi sinyal bahwa pelaksanaan kredit pendidikan bagi mahasiswa di Indonesia sangat dimungkinkan.
Selain itu, pemerintah Indonesia sebenarnya telah memiliki landasan hukum yang kuat pada pasal 76 Undang-Undang Pendidikan Tinggi No. 12 Tahun 2012 yang mengizinkan pemberian pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi setelah lulus dan/atau memperoleh pekerjaan.
Untuk menilai prospeknya di masa depan, mari kita gunakan Malaysia sebagai contoh pembanding. Sejak peluncurannya pada 1 November 1997, Perbadanan Tabung Pendidikan Tinggi Nasional sebagai institusi di bawah Kementerian Pendidikan Malaysia yang bertanggung jawab menyalurkan pinjaman telah merealisasikan pinjaman senilai 49,65 miliar Ringgit Malaysia untuk 2.668.966 siswa.Â
Pemerintah Malaysia pun kerap memberikan keringanan bagi peminjam kredit pendidikan melalui potongan harga dan perpanjangan masa tenggang, sampai pembebasan dari kewajiban membayar bagi mahasiswa dengan performa akademis yang memuaskan. Sebanyak 42.904 debitur dengan total pinjaman sebesar 1,27 miliar Ringgit dibebaskan dari kewajiban membayar karena performa akademis yang memuaskan (data Mei 2017).
Dampak kebijakan ini adalah kenaikan tingkat penerimaan mahasiswa lebih dari 50% semenjak program ini dijalankan. Rata-rata penerimaan dalam 15 tahun (2001 s.d. 2015) berada pada level 31,1%, hanya kalah dari Singapura dan Thailand. Sementara untuk urusan kualitas, riset QS menunjukkan bahwa ada 5 perguruan tinggi Malaysia yang masuk dalam 50 besar universitas terbaik di Asia dan 1 PT dalam 200 besar dunia.
Berangkat dari pemaparan di atas, prospek penerapan kredit pendidikan di Indonesia cukup terbuka lebar. Akan tetapi, kesempatan tersebut juga dibayangi oleh risiko-risiko yang substansial. Untuk itu, sebelum merealisasikan wacana kredit pendidikan, ada baiknya Indonesia berkaca dan belajar dari kesalahan  serta memahami tantangan yang harus dihadapi.
Belajar dari kesalahan