Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Demokrasi dan Cacatnya Kebijakan Publik

16 Juni 2017   19:31 Diperbarui: 17 Juni 2017   05:25 1495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam The Inaugural Mubyarto Public Policy Forum1 di UGM bulan Mei lalu, Prof. Boediono mencoba menyingkap realita ketimpangan dan kemiskinan yang terjadi di Indonesia. Lewat grafik sederhana, beliau menunjukkan bahwa pascareformasi, dua indikator ini berjalan saling memunggungi satu sama lain. Angka kemiskinan menurun, tetapi ketimpangan---yang diukur menggunakan indeks gini terus melejit. Dalam pidatonya, beliau menekankan, mengapa kondisi ini justru terjadi di era demokrasi yang identik dengan kebebasan dan transparansi?

Kondisi di atas barangkali dapat menjadi pelajaran empiris penting bagi kita dalam perjalanan membangun bangsa. Akan tetapi, tidakkah hal itu juga menggoda kita untuk membahas lebih jauh mengapa demokrasi cenderung menghasilkan kebijakan publik yang kurang baik? Secara teori, demokrasi diharapkan dapat menjadi benteng dari kebijakan yang socially harmful. Namun, realitanya demokrasi justru kerap mempertahankan dan mengadopsi kebijakan-kebijakan yang dampaknya kerap tidak efektif. Lantas, bagaimana menjelaskan paradoks ini?

TeoriRational Irrationality

Ketika seseorang memutuskan untuk mendalami disiplin ilmu ekonomi, Ia akan dihadapkan pada sejumlah asumsi atau prinsip dasar yang membatasi semua model ekonomi yang akan dipelajari. Salah satu yang paling sering ditekankan, khususnya di kalangan ekonomi neoklasik adalah asumsi bahwa pelaku ekonomi bersifat rasional. Artinya, dalam mengambil keputusan, para pelaku ekonomi akan menimbang biaya (cost) yang dikeluarkan dan manfaat (benefit) yang akan diterima. Keputusan akan jatuh pada pilihan yang paling bisa memaksimalkan kepuasan. Begitu singkatnya prinsip dasar ini dibangun untuk menyederhanakan kompleksitas ekonomi yang sesungguhnya terjadi.

Sepintas, tidak ada keraguan pada asumsi ini. Pelaku ekonomi memang merupakan makhluk rasional ketika mengambil keputusan yang dampaknya langsung dirasakan oleh dirinya, seperti dalam memilih pekerjaan, membeli susu, mempekerjakan karyawan, atau menentukan strategi bisnis. Namun, perlu digarisbawahi bahwa mereka hanya akan rasional apabila terlalu besar biaya yang harus ditanggung (costly) jika keputusan yang dipilih tidak tepat. Dalam hal ini, seseorang akan menanggalkan keyakinan yang ia pegang demi mencapai kepuasan atau keuntungan maksimal. 

Sebagai gambaran, seorang rasis akan tetap mempekerjakan karyawan kulit hitam jika opsi mempekerjakan pekerja kulit putih sangat mahal. Seorang proteksionis juga akan memilih outsourcing untuk menjaga keunggulan komparatifnya dari kompetitor agar dapat bertahan dalam bisnis.

Akan tetapi, akan berbeda perkaranya ketika keputusan yang diambil seseorang tidak memengaruhi dirinya secara langsung. Dalam artian, memilih keputusan yang salah memiliki biaya yang murah atau dampaknya sangat kecil (costless). Dalam kondisi ini, seseorang akan cenderung memegang keyakinan tertentu dan menikmati keyakinan tersebut. 

Inilah yang disebut Rational Irrationality, ketika memegang suatu keyakinan (meskipun itu salah) menjadi murah, maka meyakini hal tersebut adalah rasional. Semakin kecil biaya yang harus ditanggung dari sebuah keputusan, maka semakin besar tingkat kesediaan seseorang untuk menjadi tidak rasional.

Contoh nyata dan paling umum dari teori yang dikembangkan oleh Bryan Caplan ini adalah kasus pemilihan umum. Negara yang menganut sistem demokrasi tentu akrab dengan proses pemilihan umum (election). Berbagai studi menunjukkan bahwa pemilih pada pemilu kerap mengalami seperti apa yang dijelaskan dalam teori rational irrationality. Pemilih menghargai dampak dari suara yang mereka berikan sangat kecil relatif terhadap seluruh jumlah suara, sehingga siapapun yang mereka pilih, tidak akan memberi pengaruh secara langsung. Oleh karena itu, mereka akan sangat nyaman menempatkan keyakinan mereka di atas segala pertimbangan lain, karena bagi mereka hal tersebut adalah rasional adanya.

Mari kita jadikan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta putaran ke-dua bulan April lalu sebagai refleksi akan eksistensi teori rational irrationality. Sebelum itu, penulis ingin menggarisbawahi bahwa pembahasan ini adalah murni dilihat dari sudut pandang ekonomi politik. Penulis tidak sedang memberi justifikasi benar atau salah, karena setiap orang bebas memilih berdasarkan pendekatan pahala-dosa atau rasional-tidak rasional.  

Hasil akhir terkait menangnya pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno jelas tidak dapat dipisahkan dari fakta bahwa pemilih di DKI Jakarta menentukan pilihan atas dasar keyakinan yang mereka anut. BPS mencatat 83% penduduk Jakarta memeluk agama Islam. Bagi umat muslim, seperti yang dikuatkan oleh fatwa Majelis Ulama Indonesia, adalah haram hukumnya menjatuhkan pilihan pada calon pemimpin yang tidak seiman. Oleh sebab itu, jika merujuk pada teori rational irrationality, kondisi ini menunjukkan pemilih muslim akan mengedepankan keyakinannya untuk memilih pemimpin dengan agama yang sama. 

Dengan konsekuensi, pertimbangan-pertimbangan lain seperti program, kinerja, dan track record calon kepala daerah  harus dikesampingkan. Hal ini secara eksplisit terungkap dari data hasil exit poll SMRC yang menunjukkan 42.8% alasan memilih pasangan Anies-Sandiaga berkaitan dengan alasan agama (26% memilih karena agama yang sama, 16.8% memilih karena dinilai paling memperjuangankan Islam). Sementara itu, hanya 11.6% yang memilih berdasarkan program yang dijanjikan.  Di lain sisi, pasangan Basuki-Djarot harus menelan kekalahan. Meskipun satu bulan sebelum pemilu digelar, tingkat kepuasaan warga (yang berasosiasi kuat dengan kinerja) terhadap pasangan petahana ini mencapai 73.5%, Basuki-Djarot dalam hal ini harus menjadi korban dari rational irrationality.

Demkorasi dan Bad Policies

Merujuk pada pertanyaan di awal tulisan ini, bagaiaman sebenarnya proses politik dalam sistem demokrasi, khususnya pemilihan umum dapat berujung pada pembuatan kebijakan yang tidak efektif? Setidaknya ada tiga faktor penting yang bisa dijadikan alasan.

Pertama, pemilih yang memiliki sikap rational ignorance. Rational ignorance adalah buntut dari rational irrationality. Pemilih dengan sikap seperti ini cenderung untuk tidak melakukan usaha apapun dalam mencari tahu program dan rekam jejak kandidiat. Hal ini disebabkan mereka mengira diri mereka cukup rasional untuk menentukan pilihan yang tepat, padahal sebenarnya peran emosilah yang memiliki pengaruh lebih besar ketika pemilih diminta untuk menentukan keputusan politik. Alih-alih mencari tahu bibit, bebet, dan bobot kandidiat, pemilih akan menjatuhkan pilihan pada kandidat yang sesuai dengan keyakinan mereka, meskipun keyakinan itu salah.

Kedua, alasan memilih karena kesamaan ideologi memberi insentif kepada pemimpin terpilih untuk tidak mengambil kebijakan yang paling tepat. Setiap permasalahan yang muncul perlu diselesaikan dengan cara yang paling tepat. Terkadang, cara yang paling tepat tersebut berseberangan dengan ideologi atau keyakinan yang seorang pemimpin 'jual' kepada pemilih saat kampanye. Sebagai contoh, seorang pemimpin konservatif yang menjual wacana proteksionisme kepada pemilih saat kampanye, dihadapkan pada persoalan yang memaksanya untuk membuka hambatan perdagangan. Dalam hal ini, pemimpin tersebut sering kali terpaksa mengambil jalan tengah. Hal ini dilakukan agar ia tidak kehilangan suara pemilih, apakah karena kebijakan yang buruk atau kebijakan yang tidak sesuai ideologi. Sayangnya, kebijakan 'jalan tengah' ini dampaknya kerap kali tidak efektif.

Ketiga, adanya fenomena systematic bias. Dalam proses pemilihan umum, pemilih sangat rentan mengalami bias. Caplan dalam bukunya berjudul The Myth of Rational Voters menyebutkan ada empat bias utama yang menjadi akar dari ketidakrasionalan pemilih, yaitu: 1) make-work bias, yakni  tendensi untuk menyamakan pertumbuhan ekonomi dengan tumbuhnya lapangan kerja. Hal ini tidak dapat dibenarkan karena pada dasarnya pertumbuhan adalah produk dari peningkatan produktivitas tenaga kerja yang dicerminkan oleh peningkatan PDB; 2) anti-foreign bias, yakni tendensi untuk meng-underestimate manfaat ekonomi dari hubungan perdagangan antarnegara, pihak asing diangap sebagai musuh; 3) pessimistic bias, yakni tendensi untuk melebih-lebihkan suatu permasalahan ekonomi, dan cenderung mengabaikan performa maupun perkembangan ekonomi terkini dan di masa depan; 4) anti-market bias, yaitu tendensi untuk meremehkan mekanisme pasar.

Bias-bias yang sering terjadi di kalangan pemilih ini memengaruhi keputusan politik individu, kemudian terakumulasi menjadi suatu keputusan kolektif yang dilegitimasi oleh pemilihan umum. Keputusan kolektif yang tidak lagi jernih inilah yang disebut dengan systematic bias. Fenomena ini rentan menimbulkan terpilihnya pembuat kebijakan yang tidak cakap, sehingga bemuara pada kebijakan publik yang tidak efektif.

Kecacatan pada sistem demokrasi tidak selayaknya dijadikan kambing hitam untuk mencari jalan keluar lain dengan kembali pada sistem dictatorship. Bryan Caplan membuka hipotesisnya dengan mengatakan bahwa pemilih sejatinya merupakan sekumpulan orang-orang yang berpegang teguh pada miskonsepsi. Oleh sebab itu, untuk menciptakan kebijakan yang lebih berkualitas dalam bingkai demokrasi, prasyarat utamanya adalah memperbaiki kesalahpahaman yang terjadi pada pemilih mayoritas, yang tidak memahami logika dan alur berpikir ekonomi.

Caplan menjelaskan ada ketimpangan pemahaman antara pemilih. Ketimpangan ini jelas diakibatkan oleh adanya bias yang telah disebutkan sebelumnya. Salah satu yang paling mencolok adalah anti-market bias. Untuk membuktikannya, Caplan mencoba membandingkan jawaban masyarakat Amerika biasa (public) dengan jawaban para ekonom  tentang siapa yang paling bertanggungjawab atas kenaikan harga bahan bakar. Ekonom dalam kasus ini dijadikan patokan tingkat pemahaman yang baik terkait sebuah permasalahan ekonomi, Jawabannya sebagai berikut:

picture1-5943cef1450dae24f56471b2.png
picture1-5943cef1450dae24f56471b2.png
Public meyakini bahwa kenaikan bahan bakar diakibatkan oleh keinginan perusahaan minyak yang ingin meningkatkan keuntungan, sementara ekonom, sebaliknya yakin bahwa hal tersebut adalah fenomena permintaan-penawaran biasa.

Lantas siapakah Enlightened Public? Kelompok ini adalah bagian dari public yang memiliki kesejahteraan rata-rata. Kelompok ini dinilai memiliki pemahaman yang sudah baik dan bebas dari bias. Dapat dilihat bahwa deviasi pemahaman antara ekonom dan kelompok ini cenderung kecil. Oleh sebab itu, benang merah yang dapat ditarik adalah: mengupayakan kebijakan berkualitas dalam sistem demokrasi harus diawali dengan meningkatkan proporsi kelompok enlightened public.

Mengakhiri tulisan ini, mari menyimak pesan penting Robert P. Murphy dalam bukunya yang berjudul Lesson for the Young Economist:

It really doesn't matter if the man on the street thinks quantum mechanics is hoax; the physicists can go on with their research without the approval of the average Joe. But if most people believe the minimum wage laws help the poor, or that low interest rates cure a recession, then the trained economists are helpless to avert the damage that these policies will inflict society.

Oleh Zihaul Abdi | Ilmu Ekonomi 2016 | Staf Divisi Kajian KANOPI 2017

Referensi:

TheMyth of the Rational Voter Why Democracies Choose Bad Policies by Bryan Caplan.https://object.cato.org/sites/cato.org/files/pubs/pdf/pa594.pdf

RationalIgnorance vs. Rational Irrationality http://highmesa.us/ratirnew.pdf

Economics and voter irrationality: my review of The Myth of theRational Voter by Andrew Gelmanhttp://andrewgelman.com/2009/12/27/economics_and_v_1/

https://www.theatlantic.com/business/archive/2013/01/the-irrational-consumer-why-economics-is-dead-wrong-about-how-we-make-choices/267255/

The Irrational Consumer: Why Economics Is Dead Wrong About HowWe Make Choiceshttps://www.theatlantic.com/business/archive/2013/01/the-irrational-consumer-why-economics-is-dead-wrong-about-how-we-make-choices/267255/

The Myth Of The Irrational Voterhttp://www.huffingtonpost.com/gleb-tsipursky/the-myth-of-the-irrationa_b_12799464.html

We're rarely rational when we vote because we're rarelyrational, periodhttp://www.latimes.com/opinion/op-ed/la-oe-sapolsky-how-we-decide-how-to-vote-20160403-story.html

http://pilkada.liputan6.com/read/2927828/alasan-warga-dki-memilih-anies-sandi-versi-smrc-dan-populi-center

http://megapolitan.kompas.com/read/2017/04/13/16401651/lsi.denny.ja.tingkat.kepuasan.terhadap.ahok-djarot.di.atas.70.persen

 

Catatan:

1 The Inaugural Mubyarto PublicPolicy Forum merupakan forum yang didedikasikan untuk mengenang pemikiran dan karya Prof. Mubyarto, ekonom yangterkenal dengan gagasan Ekonomi Pancasila. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun