Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Demokrasi dan Cacatnya Kebijakan Publik

16 Juni 2017   19:31 Diperbarui: 17 Juni 2017   05:25 1495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dengan konsekuensi, pertimbangan-pertimbangan lain seperti program, kinerja, dan track record calon kepala daerah  harus dikesampingkan. Hal ini secara eksplisit terungkap dari data hasil exit poll SMRC yang menunjukkan 42.8% alasan memilih pasangan Anies-Sandiaga berkaitan dengan alasan agama (26% memilih karena agama yang sama, 16.8% memilih karena dinilai paling memperjuangankan Islam). Sementara itu, hanya 11.6% yang memilih berdasarkan program yang dijanjikan.  Di lain sisi, pasangan Basuki-Djarot harus menelan kekalahan. Meskipun satu bulan sebelum pemilu digelar, tingkat kepuasaan warga (yang berasosiasi kuat dengan kinerja) terhadap pasangan petahana ini mencapai 73.5%, Basuki-Djarot dalam hal ini harus menjadi korban dari rational irrationality.

Demkorasi dan Bad Policies

Merujuk pada pertanyaan di awal tulisan ini, bagaiaman sebenarnya proses politik dalam sistem demokrasi, khususnya pemilihan umum dapat berujung pada pembuatan kebijakan yang tidak efektif? Setidaknya ada tiga faktor penting yang bisa dijadikan alasan.

Pertama, pemilih yang memiliki sikap rational ignorance. Rational ignorance adalah buntut dari rational irrationality. Pemilih dengan sikap seperti ini cenderung untuk tidak melakukan usaha apapun dalam mencari tahu program dan rekam jejak kandidiat. Hal ini disebabkan mereka mengira diri mereka cukup rasional untuk menentukan pilihan yang tepat, padahal sebenarnya peran emosilah yang memiliki pengaruh lebih besar ketika pemilih diminta untuk menentukan keputusan politik. Alih-alih mencari tahu bibit, bebet, dan bobot kandidiat, pemilih akan menjatuhkan pilihan pada kandidat yang sesuai dengan keyakinan mereka, meskipun keyakinan itu salah.

Kedua, alasan memilih karena kesamaan ideologi memberi insentif kepada pemimpin terpilih untuk tidak mengambil kebijakan yang paling tepat. Setiap permasalahan yang muncul perlu diselesaikan dengan cara yang paling tepat. Terkadang, cara yang paling tepat tersebut berseberangan dengan ideologi atau keyakinan yang seorang pemimpin 'jual' kepada pemilih saat kampanye. Sebagai contoh, seorang pemimpin konservatif yang menjual wacana proteksionisme kepada pemilih saat kampanye, dihadapkan pada persoalan yang memaksanya untuk membuka hambatan perdagangan. Dalam hal ini, pemimpin tersebut sering kali terpaksa mengambil jalan tengah. Hal ini dilakukan agar ia tidak kehilangan suara pemilih, apakah karena kebijakan yang buruk atau kebijakan yang tidak sesuai ideologi. Sayangnya, kebijakan 'jalan tengah' ini dampaknya kerap kali tidak efektif.

Ketiga, adanya fenomena systematic bias. Dalam proses pemilihan umum, pemilih sangat rentan mengalami bias. Caplan dalam bukunya berjudul The Myth of Rational Voters menyebutkan ada empat bias utama yang menjadi akar dari ketidakrasionalan pemilih, yaitu: 1) make-work bias, yakni  tendensi untuk menyamakan pertumbuhan ekonomi dengan tumbuhnya lapangan kerja. Hal ini tidak dapat dibenarkan karena pada dasarnya pertumbuhan adalah produk dari peningkatan produktivitas tenaga kerja yang dicerminkan oleh peningkatan PDB; 2) anti-foreign bias, yakni tendensi untuk meng-underestimate manfaat ekonomi dari hubungan perdagangan antarnegara, pihak asing diangap sebagai musuh; 3) pessimistic bias, yakni tendensi untuk melebih-lebihkan suatu permasalahan ekonomi, dan cenderung mengabaikan performa maupun perkembangan ekonomi terkini dan di masa depan; 4) anti-market bias, yaitu tendensi untuk meremehkan mekanisme pasar.

Bias-bias yang sering terjadi di kalangan pemilih ini memengaruhi keputusan politik individu, kemudian terakumulasi menjadi suatu keputusan kolektif yang dilegitimasi oleh pemilihan umum. Keputusan kolektif yang tidak lagi jernih inilah yang disebut dengan systematic bias. Fenomena ini rentan menimbulkan terpilihnya pembuat kebijakan yang tidak cakap, sehingga bemuara pada kebijakan publik yang tidak efektif.

Kecacatan pada sistem demokrasi tidak selayaknya dijadikan kambing hitam untuk mencari jalan keluar lain dengan kembali pada sistem dictatorship. Bryan Caplan membuka hipotesisnya dengan mengatakan bahwa pemilih sejatinya merupakan sekumpulan orang-orang yang berpegang teguh pada miskonsepsi. Oleh sebab itu, untuk menciptakan kebijakan yang lebih berkualitas dalam bingkai demokrasi, prasyarat utamanya adalah memperbaiki kesalahpahaman yang terjadi pada pemilih mayoritas, yang tidak memahami logika dan alur berpikir ekonomi.

Caplan menjelaskan ada ketimpangan pemahaman antara pemilih. Ketimpangan ini jelas diakibatkan oleh adanya bias yang telah disebutkan sebelumnya. Salah satu yang paling mencolok adalah anti-market bias. Untuk membuktikannya, Caplan mencoba membandingkan jawaban masyarakat Amerika biasa (public) dengan jawaban para ekonom  tentang siapa yang paling bertanggungjawab atas kenaikan harga bahan bakar. Ekonom dalam kasus ini dijadikan patokan tingkat pemahaman yang baik terkait sebuah permasalahan ekonomi, Jawabannya sebagai berikut:

picture1-5943cef1450dae24f56471b2.png
picture1-5943cef1450dae24f56471b2.png
Public meyakini bahwa kenaikan bahan bakar diakibatkan oleh keinginan perusahaan minyak yang ingin meningkatkan keuntungan, sementara ekonom, sebaliknya yakin bahwa hal tersebut adalah fenomena permintaan-penawaran biasa.

Lantas siapakah Enlightened Public? Kelompok ini adalah bagian dari public yang memiliki kesejahteraan rata-rata. Kelompok ini dinilai memiliki pemahaman yang sudah baik dan bebas dari bias. Dapat dilihat bahwa deviasi pemahaman antara ekonom dan kelompok ini cenderung kecil. Oleh sebab itu, benang merah yang dapat ditarik adalah: mengupayakan kebijakan berkualitas dalam sistem demokrasi harus diawali dengan meningkatkan proporsi kelompok enlightened public.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun