Hanya saja, behavioral economicsmenunjukkan bahwarasionalitas manusia tidak sempurna dan tergantung pada informasi yang diterimanya.Konsep rasionalitas ini dikenal juga sebagai Bounded rationality[6]. Dalam bounded rationality,tindakan yang rasional bagi seseorang belum tentu rasional bagi orang lain. Melakukan ibadah 5 waktu ke masjid atau ke gereja akhir setiap minggu merupakan tindakan rasional bagi penganut agama yang taat, namun hal tersebut bisa saja irrasional bagi seorang atheis.
Dalam terorisme, konsep inilah yang menjelaskan mengapa pemberantasan aksi teror begitu sulit. Menurut konsep bounded rationality,seseorang dapat bertindak dengan tidak optimal karena keterbatasan informasi.Sebagai contoh, secara teoritis seharusnya negosiasi dapat dilakukan untuk mengatasi pelaku teror yang didasari oleh perjuangan ideologis. Akan tetapi, karena pelaku teror menerima doktrin untuk tidak mempercayai pemerintah, negosiasi pun gagal dilakukan. Selain itu, pemerintah juga semakin sulit mengidentifikasi motivasi seorang teroris karena informasi yang diterima pelaku teror mustahil untuk diketahui secara pasti.
Fenomena Gunung Es: Kerugian Pasca Aksi Teror
Serangan teror yang diluncurkan di berbagai negara telah menimbulkan kerugian yang tidak sedikit. Sebagai gambaran, serangan 9/11 di Amerika Serikat menimbulkan kerugian sebesar US$31,4 miliar[7]. Kerugian ini muncul diantaranya dari rusaknya fasilitas, meninggalnya ratusan orang (jika nyawa diukur dengan uang, estimasi kerugiannya sebesar US$8,7 miliar), dan hilangnya pendapatan korban yang mengalami kecacatan pasca serangan. Sayangnya, angka sebesar US$ 31,4 miliar “hanya” sebagian kecil dari dampak total yang ditimbulkan.
Kerugian pertama yang muncul pasca aksi teror adalah meningkatnya pengeluaran pemerintah untuk menghadapi terorisme. Sebagai gambaran, pengeluaran pemerintah AS untuk keamanan nasional pasca serangan 9/11 (2002) sebesar 4,3% dari GDP, naik dari 3,4% di tahun 2001. Hal ini menjadi masalah karena pemerintah terpaksa anggaran di pos-pos lainnya untuk pembiayaan keamanan nasional, misalnya dalam pendidikan maupun pembangunan infrastruktur.
Kerugian kedua adalah melemahnya kepercayaan masyarakat. Secara tidak langsung, serangan terorisme menunjukkan ketidakmampuan pemerintah untuk menghadapi ancaman. Akibatnya, kepercayaan pasar terhadap pemerintah berpotensi menurun. Dampak menurunnya kepercayaan pasar dapat dilihat dari kondisi Wall Street di AS pasca serangan 9/11, dimana indeks saham turun sebesar 7,1% sehari setelah aksi teror dilakukan[8].
Melemahnya kepercayaan pasar juga berdampak pada lambatnya implementasi kebijakan. Hal ini lagi-lagi berkaitan dengan perilaku masyarakat, yakni rational expectation.Teori rational expectationmenjelaskan bahwa manusia akan membuat pilihan secara rasional, yakni berdasarkan pengalaman dan informasi yang ada[9]. Jika masyarakat memiliki pengalaman bahwa pemerintah di masa lalu tidak dapat dipercaya, masyarakat akan cenderung sulit untuk mempercayai pemerintah. Akibatnya, kebijakan yang diambil pemerintah akan sulit untuk dirasakan dampaknya karena masyarakat tidak merespon dengan baik. (Sederhananya, bukankah sulit bagi kita untuk mempercayai kebijakan yang dikeluarkan anggota dewan?)
Kerugian ketiga adalah berubahnya pola aktivitas masyarakat sehari-hari. Pasca aksi teror, ketatnya pengamanan di bandara seringkali memaksa calon penumpang untuk menjalankan pemeriksaan yang lebih panjang. Asumsikan bahwa calon penumpang harus menunggu 30 menit lama akibat pemeriksaan. Jika waktu manusia dihargai Rp30,000 per jam dan rata-rat ada 50 ribu penumpang setiap harinya, kerugian ekonomi dari menunggu 30 menit mencapai Rp750 juta per harinya. Kerugian tersebut akan semakin besar jika anda kalikan dengan 365 hari dan jumlah bandara di Indonesia.
Belum lagi jika kita menghitung kerugian dari ketakutan di tengah masyarakat. Seringkali kita melihat bahwa pasca aksi teror, banyak aktivitas perdagangan yang ditutup karena khawatir akan aksi teror berikutnya. Masyarakat juga akan lebih menekan konsumsinya karena adanya kecenderungan menghindar dari risiko dalam kondisi yang tidak ideal[10]. Dampaknya, kegiatan perekonomian tidak dapat berjalan secara optimal. Tiga kerugian tersebut pada akhirnya memberikan dampak yang cukup signifikan bagi perekonomian. Jika melihat kasus teror di Irak pada tahun 2005 – 2014, secara akumulatif aksi teror menyebabkan kerugian sebesar US$159 miliar, atau setara dengan hilangnya 32% GDP Irak di periode yang sama[11].
Kesimpulan
Dari penjabaran diatas, aksi terorisme pada nyatanya berasal dari pemikiran pelaku teror yang “rasional”. Sehingga, untuk mengatasi aksi tersebut, idealnya pemerintah harus mengetahui dan memahami rasionalitas pelaku teror. Namun, mengingat rasionalitas seseorang sulit dipastikan, maka pemerintah sebaiknya fokus untuk mempertahankan “harga” dari terorisme, misalnya dengan meningkatkan pengawasan dan memperberat hukuman untuk pelaku teror.