Mohon tunggu...
Dika Hadi
Dika Hadi Mohon Tunggu... Buruh - peternak biasa

yah cuma peternak biasa itu saja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebuah Puisi yang Tertinggal

17 April 2017   16:47 Diperbarui: 17 April 2017   17:19 745
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku ingin engkau tahu seperti apakah dunia di dalam gelap itu. Aku ingin engkau tahu seperti apa wajahku setelah 30 tahun berlalu. Apakah luka ini masih dalam dan tetap terbuka dimana kau menelan jantungku bulat-bulat utuh. Kau mengambilnya, kau mencurinya, kau membuatku terjatuh ke dalam labirin halusinasi, fatamorgana yang tidak berujung.

Dua ratus ataukah tiga ratus, entah sudah berapa kali tulangku patah dan meradang. Aku masih enggan untuk menghitungnya, aku masih tak mau untuk melepaskan mulutku meskipun harus berbaring dalam lubang tanah. Kau tak akan pernah mendengar suaraku keluar untuk kedu kalinya lagi.

Hei apakah kau masih ingat bagaimana aku melindungimu dari lontaran lidah api di musim kemarau yang panjang. Masihkah kau dapat mengingat hari dimana aku memotong dan mengiris dagingku sendiri untuk mengobati dahagamu yang tak terhindarkan. Aku tahu apa yang kau pikirkan dan tak mau menerimanya begitu saja.

Ekspresimu, seperti apakah yang akan tergambar saat kau memalingkan wajahmu dari depan tiang gantungan nanti seperti halnya orang lain dan para saudara-saudaraku. Kini apa yang tertinggal di lidahku hanyalah rasa getir dan hambar. Seember peluh tidak berguna yang tertinggal di ruangan ini akan menadi garam yang menyebarkan rasa anyir dimulutku nanti.

Aku ingin melihatnya, melihat wajahmu meskipun hanya sekali saja. Aku ingin kau menelanjangi tubuh rentaku yang penuh dengan derita kebohongan ini. Aku ingin kau tahu aku bukan siapa-siapa dikehidupan ini ataupun dikehidupan sebelum dan sesuadahnya.  Ini bukanlah karma yang aku tanam dengan sengaja melainkan kau yang melakukannya.

Lari, aku harus berlari dan menembus jerui ini sekalipun mereka mengoyak tubuhku menjadi serpihan daging berbentuk manusia. Hidup, ya aku harus hidup walaupun cuma sedetik saja. Aku akan menembus dinding merubah mereka menjadi serpihan taam yang memotongku hidup-hidup. Aku akan berlari menuju dapur mengambil sebuah pisau dan menatapmu dengan dua buah bola mata yang hampir keluar dari rumahnya. Aku akan menggorok leherku sendiri tanpa bantuanmu dan bertanya,”Apakah ini sudah cukup, apakah ini yang kau inginkan?”. Kemudian aku akan mati bertumpahkan darah seperti seekor anjing yang ditelantarkan tuannya.

Ah, akhirnya aku mengingatnya, sebuah kata yang masih belum sempat tertulis dalam wasiatku, TIADA.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun