Sebuah Puisi Yang Tertinggal
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana seperti apa yang diisyaratkan awan kepada hujan yang membuatnya.....
Aku terhenti, termenung dan termakan dalam lamunanku. Ini hanyalah sebuah puisi namun tanganku enggan merampungkan kata terakhir dalam karya Sapardi Doko Darmono itu. Apa, kata apakah yang hilang itu. Aku bisa merasakannya diujung lidahku namun enggan rasanya untuk menghamburkannya dalam sebuah lembaran kertas buram dengan pena bertinta darah ini.
Aku menghela nafas, mengetuk kepala dan mulai termenung lagi. Apakah aku perlu menuliskannya. Sebuah puisi cinta untuk dikenang, sebuah cerita yang nantinya akan didongenkan kepada anak cucu. Ah, apa yang kulakukan. Aku bodoh idiot dan tidak berguna. Aku bukanlah pujangga cinta, aku juga bukanlah seorang penulis puisi. Aku ya hanyalah aku. Dua buah mata, sebuah hidung dengan dua buah lubang disana. Sepasang telinga, tubuh yang lengkap dengan mulut yang bisa mengajakmu berbicara.
Mengapa aku merasakan keraguan dalam hatiku yang memang tidak pernah ada di rongga tulang rusuk ini. Aku mengusap pipiku yang mulai basah entah karena keringat ataupun air mata yang belum kering. Aku tidak tahu, aku tidak mau tahu lagi apa yang akan terjadi nantinya di masa depan. Aku tidak ingin menuliskannya lagi sekalipun seorang milyuner memberiku emas sebesar kepala kerbau.
Aku ingin mencintaimudengan sederhada, apakah kalimat itu layak keluar dari mulutku yang bau comberan ini. Apakah kalimat itu berhak diucapkan oleh makhluk berlumpur hitam yang lebih kotor ataupun bau dari kotoran manusia ini. Sesosok monster yang mungkin haus darah dan penuh dengan bibit penyakit dalam setip liur yang menetes dari mulutku. Sejak awal haruskah aku bilang cinta meskipun ini hanyalah sebuah lelucon kekanakan atau barang kali maas hiperbola yang dilebih-lebihkan lagi. Sepertinya ini bukan lagi masalah yang sederhana seperti hasil penjumlahan dua angka satu.
Aku ingin menghantamkan kepalan tanganku ke dinding, mengukir mereka dengan amarah yang bisa membakar serangga hidup-hidup. Aku ingin mengukir dan menusuk mereka dengan pena hingga lubang yang nampak seperti manusia muncul di dinding siap menelan tubuhku seperti serigala yang kelaparan. Aku akan melompat, mengeluarkan seluruh tenaga dikakiku untuk keluar dari penjara kebebasan ini. Aku tidak ingin menjadi narator dalam kematianku sendiri. Aku akan keluar dari penjara terkutuk ini untuk mencarimudan melihatmu sekali saja.
Aku ingin mengobati rasa penasaranku, aku ingin melihat dengan kedua buah mataku ini seperti apa ekspresi yang akan kau tunjukkan jika kau melihat tubuhku yang mulai mengering dengan keriput yang berubah seperti sisik ikan hiu. Ekspresi apa yang akan kau perlihatkan padaku jika kau melihatku seperti ini? Apakah kau akan tersenyum begitu melihatku bebas, memeluk tubuhku yang kotor menepuk-nepuk pundakku dan berkata semuanya akan baik-baik saja ataukah kau akan menyiapkan sebuah jamuan dengan semangkuk sup bercitarasa racun kacang almond yang bahkan belum dipanggang. Katakan padaku, haruskah aku memilihnya dari dua ekspresi itu yang ingin sekali kulihat. Aku tidak akan pernah bisa memikirkannya sekalipun satu abad telah berlalu.
Aku ingin berteriak, mengaum sekencang mungkin hingga seluruh dunia ini bangun dari kegelapan malam. Sekalipun semuanya hanya mimpi aku ingin setidaknya pena-pena besi itu tidak diam dalam acara mogok bicara mereka. Aku ingin berbicara dengan seseorang hingga matahari terbenam dan muncul lagi keesokan paginya sebelum aku menjadi gila karena kesepian ini. Bentang malam yang panjang mungkin tidak bisa lagi membuatku terluka.
Kasihku, tahukah engkau bagaimana rasanya kesepian itu disaat dewa bahkan ikut terdiam? Aku ingin mengisyaratkannya padamu dalam beberapa lembar kertas buram yang kini masih kosong dan polos seperti anak berusia tiga tahun yang belum tahu apapun tentang dunia ini. Aku ingin menuliskannya dalam beberapa kata atau beberapa kosa kata yang belum belajar bicara. Aku ingin berbicara, mencetak wajahku dengan darah dan daging di atas lembarang kertas itu. Aku ingin meresapkannya dalam-dalam seperti sebuah tinta di atas kain mori. Aku ingin menatap kedua bolah mata birumu sekali lagi walaupun dari balik sebuah sketsa wajah yang dingin. Aku ingin berbicara meskipung menggunakan tenggorokan dan pita suara imajiner yang tidak pernah nyata. Aku harus bercerita padamu apa yang terjadi ketika malam mulai memudar dunia yang sunyi kini tak lagi terlelap.
Tahukah kamu seperti apa rasanya terjebak di antara tumpukan tulang, debu keramik dan ribuan pena besi berkarat yang diam. Tahukah kau berapa liter darah yang harus tertumpah setiap kali aku bersujud, meratap dan memohon ampunan dari para makhluk bar-bar itu. Aku suci bagaikan bayi yang baru lahir tetapi mereka bilang setan tidak akan percaya padaku.
Aku ingin engkau tahu seperti apakah dunia di dalam gelap itu. Aku ingin engkau tahu seperti apa wajahku setelah 30 tahun berlalu. Apakah luka ini masih dalam dan tetap terbuka dimana kau menelan jantungku bulat-bulat utuh. Kau mengambilnya, kau mencurinya, kau membuatku terjatuh ke dalam labirin halusinasi, fatamorgana yang tidak berujung.
Dua ratus ataukah tiga ratus, entah sudah berapa kali tulangku patah dan meradang. Aku masih enggan untuk menghitungnya, aku masih tak mau untuk melepaskan mulutku meskipun harus berbaring dalam lubang tanah. Kau tak akan pernah mendengar suaraku keluar untuk kedu kalinya lagi.
Hei apakah kau masih ingat bagaimana aku melindungimu dari lontaran lidah api di musim kemarau yang panjang. Masihkah kau dapat mengingat hari dimana aku memotong dan mengiris dagingku sendiri untuk mengobati dahagamu yang tak terhindarkan. Aku tahu apa yang kau pikirkan dan tak mau menerimanya begitu saja.
Ekspresimu, seperti apakah yang akan tergambar saat kau memalingkan wajahmu dari depan tiang gantungan nanti seperti halnya orang lain dan para saudara-saudaraku. Kini apa yang tertinggal di lidahku hanyalah rasa getir dan hambar. Seember peluh tidak berguna yang tertinggal di ruangan ini akan menadi garam yang menyebarkan rasa anyir dimulutku nanti.
Aku ingin melihatnya, melihat wajahmu meskipun hanya sekali saja. Aku ingin kau menelanjangi tubuh rentaku yang penuh dengan derita kebohongan ini. Aku ingin kau tahu aku bukan siapa-siapa dikehidupan ini ataupun dikehidupan sebelum dan sesuadahnya. Ini bukanlah karma yang aku tanam dengan sengaja melainkan kau yang melakukannya.
Lari, aku harus berlari dan menembus jerui ini sekalipun mereka mengoyak tubuhku menjadi serpihan daging berbentuk manusia. Hidup, ya aku harus hidup walaupun cuma sedetik saja. Aku akan menembus dinding merubah mereka menjadi serpihan taam yang memotongku hidup-hidup. Aku akan berlari menuju dapur mengambil sebuah pisau dan menatapmu dengan dua buah bola mata yang hampir keluar dari rumahnya. Aku akan menggorok leherku sendiri tanpa bantuanmu dan bertanya,”Apakah ini sudah cukup, apakah ini yang kau inginkan?”. Kemudian aku akan mati bertumpahkan darah seperti seekor anjing yang ditelantarkan tuannya.
Ah, akhirnya aku mengingatnya, sebuah kata yang masih belum sempat tertulis dalam wasiatku, TIADA.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H