Mohon tunggu...
Kanina K
Kanina K Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kamis Kelabu

8 November 2017   01:30 Diperbarui: 8 November 2017   01:32 628
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ku lihat ayah berlari ke arah ku dengan air mata bercucuran deras di pipinya. Sontak, Aku, Ibuku, dan Adik ku terbangun dari kursi yang kami duduki. "Aisyaahh, ambilkan ayah segalas air cepaaatt!!!", kata ibu memberikan perintah pada adik ku yang baru berumur 11 tahun. Aisyah berlari ke dapur segera mengambilkan air untuk ayah, sedangkan Aku dan Ibu menghampiri ayah dan mendapati Ayah yang sedang kesakitan akibat terjatuh. Ayah berlari terlalu kencang dengan matanya yang basah sampai-sampai tidak sadar ada batu di depannya.

            Aku membantu Ayahku bangun dan menuntun nya berjalan ke teras rumah kami. Kaki ayah memar namun tidak begitu besar. Aisyah memberikan ayah segelas air lalu di teguk lah air itu oleh Ayahku. Setelah Ayah tenang, ibu bertanya "Pakk kenapa Bapak berlarian seperti tadi? Sambil menangis pula.. ada apa pakk?". Ayah membalas nya dengan senyuman dan air mata yang menetes lagi setelah tadi sempat berhenti. 

"Mereka sudah pergi.. Mereka sudah kalah dalam peperangan", kata ayah. Air mata ku yang sudah kering akibat semalaman menangis sekarang kembali jatuh mengaliri pipi kanan dan pipi kiri ku. Air mata kebahagiaan itu tidak bisa ku tahan lagi. Mereka memang sudah lama sekali menjajah bangsa kami. Ya, mereka para compagnie melakukan hal-hal yang semena mena, padahal kita sama-sama manusia. Berhari-hari Ayah dan Ibu pergi untuk di paksa bekerja membuat jalan sepanjang pulau Jawa untuk kepentingan para compagnie yang tidak aku tau apa tujuannya. 

Semua penduduk di kampung di paksa bekerja untuk membangun satu jalan panjang itu. Aku yang berumur 15 di tugaskan oleh ayah dan ibu untuk menjaga adik ku Aisyah. Setiap hari aku dan Aisyah menunggu kapan kepulangan ayah dan ibu sampai seminggu yang lalu, ya, tepat seminggu yang lalu, ibu datang pulang tapi tidak bersama ayah. Kata Ibu, Ibu berhasil kabur dari kerja paksa tersebut. Lalu hari ini Ayah juga pulang membawa berita yang sangat amat baik bahwa para compagnie sudah pergi akibat kekalahan belanda dalam perang.

            Ibu, Ayah, Aisyah dan Aku sekarang semuanya sudah lengkap berkumpul di rumah. Rumah yang tembok nya hanya terbuat dari bamboo dan kayu akhirnya setelah sekian lama terasa sangat nyaman dan aman. Memiliki keluarga yang lengkap memberikan ku semangat untuk hidup walaupun kadang aku sudah lelah menjalani hidup seperti ini, tapi merekalah penyemangat ku. Sebelum tidur aku selalu berdoa. Hari ini doa ku sedikit berbeda dengan hari-hari sebelumnya yang penuh dengan tangis sedih. Hari ini doa ku hanyalah untuk berterima kasih kepada Tuhan karena Tuhan sudah mengumpulkan keluarga ku kembali. Malam ini, aku akan hanyut terbawa oleh mimpi indahku bersama bintang-bintang di langit.

***

            Ibu menyiapkan sarapan pagi untuk Ayah, Aisyah dan Aku. Singkong rebus hasil tanam kami sendiri. Kami memiliki beberapa simpanan hasil tanam keluarga kami, karena jika tidak, kami bisa mati kelaparan karena adanya tanam paksa. Para compagnie selalu merampas semua hasil panen dari keluarga kami. Bukan hanya keluarga kami, tapi seluruh desa hasil tanamnya pasti di ambil oleh para compagnie secara paksa tanpa memikirkan bagaimana nasib perut kami jika semuanya mereka ambil. 

Singkong rebus itu terasa nikmat. Apalagi di padukan dengan kopi hitam buatan ibu. Aku selalu suka dengan kopi hitam tapi ibu tidak pernah membiarkan aku meminum kopi hitam, karena katanya kalau aku minum kopi hitam, aku tidak akan bisa tidur dan akan terus memikirkan tentang hidup kami yang sulit.

            Aku, dan keluarga ku datang ke balai desa siang itu. Kami mendengarkan berita di radio dan di radio terdengar suara laki-laki yang mengatakan bahwa akan ada pengganti belanda. Kalau tidak salah namanya adalah bangsa Jepang. Menurut laki-laki yang ada di radio, Jepang sudah memberikan janji kemerdekaan bagi bangsaku, bangsa Indonesia. Balai desa langsung hebohmembicarakan bangsa yang akan menggantikan kedudukan belanda. 

Respon dari penduduk desa yang hadir berbeda-beda. Banyak yang senang dengan kedatangan bangsa pengganti Belanda, tapi banyak juga yang khawatir akan nasib mereka kedepannya. Kalau buat aku dan keluarga ku, aku siap dengan pengganti Belanda. Aku pikir mereka baik, karena mereka sudah menjajikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Setelah selesai mendengarkan radio, aku dan keluarga ku pun pulang.

            Sore telah datang, menyelimuti desa ku. Namun tak lama sebelum matahari terbenam, ada sekumpulan orang menggunakan truk datang. Mereka berkulit putih dan matanya tidak besar dan bulat seperti kita melainkan hanya segaris. Ternyata mereka adalah bangsa Jepang yang tadi pagi kita dengarkan di radio. Mereka sudah datang ke desa kami dengan damai. Seluruh orang di desa menerima orang jepang itu dengan baik karena mereka datang ke desa dengan damai.

            Tak terasa sudah seminggu mereka terus berdatangan ke desa kami. Mungkin awal mereka datang mereka membawa pengharapan bagi kami. Tapi ternyata, semua harapan kami pupus karena tidakan mereka yang lebih kejam daripada compagnie-compagnie yang dulu. Mereka mendatangi setiap rumah di desa dan merampas hasil tani penduduk. Bukan hanya itu, aku dan adikku juga di paksa bekerja tanpa di bayar sedikit pun. 

Kami di sebut dengan romusha. Mereka masuk ke rumah kami dan tiba-tiba memaksa kami untuk pergi bekerja dengan ancaman jika tidak mau maka akan di bunuh. Kami tidak tau lagi mau berbuat apa, jadi kami menuruti saja apa perintah dari para tentara itu. Adikku menangis dan keletihan akibat bekerja. Kita juga harus membayar pajak jika melewati jalan raya, jembatan dan semua fasilitas yang kami buat sendiri selama masa belanda. Hidup ku serasa makin menderita di bawah kekuasaan Jepang. Mendadak aku ingin kembali seperti dulu bersama para compagnie yang menurut ku tidak membuat rakyat semenderita sekarang.

            Kamis, 9 Agustus 1945, aku melihat ayah ku terbaring pucat di atas lantai. Ayahku satu-satunya yang sangat amat kucintai pergi meninggalkan ku, ibu dan adik ku tapi kali ini kepergiannya berbeda dengan kepergiannya yang sebelumnya, kali ini ia pergi untuk selama-lamanya. Sedih bukan lagi kata yang tepat untuk menggambarkan betapa pedihnya hati ini saat di tinggalkan oleh orang yang sangat berpengaruh dan juga merupakan semangat untuk hidupku. 

Tak kuasa aku menahan rasa sakit, letih, dan kecewa terhadap nasib ku sendiri, aku ingin Tuhan juga merenggut hidup semua tentara yang sudah membuat ayahku terbaring tak berdaya seperti ini. Hatiku kini sudah tergores bahkan sudah ada bekas rasa sakit hati dan dendam yang begitu mendalam kepada para penjajah. Tak ada obat dan tak ada ruang dalam hati untuk memaafkan mereka, para penjajah bangsa.

Penulis: Made Dewi Puspitasari

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun