Mohon tunggu...
Kanina K
Kanina K Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kamis Kelabu

8 November 2017   01:30 Diperbarui: 8 November 2017   01:32 628
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Tak terasa sudah seminggu mereka terus berdatangan ke desa kami. Mungkin awal mereka datang mereka membawa pengharapan bagi kami. Tapi ternyata, semua harapan kami pupus karena tidakan mereka yang lebih kejam daripada compagnie-compagnie yang dulu. Mereka mendatangi setiap rumah di desa dan merampas hasil tani penduduk. Bukan hanya itu, aku dan adikku juga di paksa bekerja tanpa di bayar sedikit pun. 

Kami di sebut dengan romusha. Mereka masuk ke rumah kami dan tiba-tiba memaksa kami untuk pergi bekerja dengan ancaman jika tidak mau maka akan di bunuh. Kami tidak tau lagi mau berbuat apa, jadi kami menuruti saja apa perintah dari para tentara itu. Adikku menangis dan keletihan akibat bekerja. Kita juga harus membayar pajak jika melewati jalan raya, jembatan dan semua fasilitas yang kami buat sendiri selama masa belanda. Hidup ku serasa makin menderita di bawah kekuasaan Jepang. Mendadak aku ingin kembali seperti dulu bersama para compagnie yang menurut ku tidak membuat rakyat semenderita sekarang.

            Kamis, 9 Agustus 1945, aku melihat ayah ku terbaring pucat di atas lantai. Ayahku satu-satunya yang sangat amat kucintai pergi meninggalkan ku, ibu dan adik ku tapi kali ini kepergiannya berbeda dengan kepergiannya yang sebelumnya, kali ini ia pergi untuk selama-lamanya. Sedih bukan lagi kata yang tepat untuk menggambarkan betapa pedihnya hati ini saat di tinggalkan oleh orang yang sangat berpengaruh dan juga merupakan semangat untuk hidupku. 

Tak kuasa aku menahan rasa sakit, letih, dan kecewa terhadap nasib ku sendiri, aku ingin Tuhan juga merenggut hidup semua tentara yang sudah membuat ayahku terbaring tak berdaya seperti ini. Hatiku kini sudah tergores bahkan sudah ada bekas rasa sakit hati dan dendam yang begitu mendalam kepada para penjajah. Tak ada obat dan tak ada ruang dalam hati untuk memaafkan mereka, para penjajah bangsa.

Penulis: Made Dewi Puspitasari

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun