Ulinuha telaten melayani pembeli. Musim liburan begini, pengunjung warung bakso tempatnya bekerja relatif ramai. Berbekal ijazah SMA tak ada pilihan lain selain bekerja sebagai pelayan warung bakso. Kerap kali ia mencoba melamar pekerjaan. Apesnya, tak ada satupun yang menerimanya walau sekadar panggilan wawancara.
Sampai tiba beberapa bulan lalu, saat Ulinuha sedang bersiul-siul di kamar mandi, ia dikagetkan pintu kamar mandi digedor ibunya. Setengah berteriak ibunya mengingatkan ada temannya menunggu di beranda rumah.
Selepas mandi Ulinuha terlihat semringah begitu tahu, Yanto, teman sekelasnya waktu SMA mampir ke rumahnya.
"Wah mimpi apa aku semalam, Yan. Aku nggak nyangka kamu ke rumah."
"Iyalah, Ulin, terakhir ketemu sekitar lima bulan lalu, ketika kau tak sengaja mampir di warung bakso tempatku kerja."
Awal pertemuannya dengan Yanto, ketika Ulinuha mencari tempat makan siang meski waktu sebenarnya beranjak sore. Ia memilih warung bakso pojok seberang jalan untuk sekadar mengganjal perutnya. Pagi hingga jelang sore ia keliling ke berbagai tempat membuat perutnya keroncongan.
Tanpa dinyana yang mengantarkan bakso pesanannya, Yanto --teman sekelasnya dulu. Dari pertemuan ini pula Ulinuha menceritakan perihal dirinya yang luntang lantung mencari pekerjaan. Â Pandemi Covid-19 tiga tahun lalu membuat banyak usaha semaput, termasuk homestay tempatnya bekerja.
Sejak saat itu Ulinuha memilih pulang kampung karena homestay sudah seperti rumah hantu, tak berpenghuni. Sepi tamu. Setelah berhenti kerja di sana, ia bekerja serabutan. Apapun yang mendatangkan uang ia kerjakan. Mulai dari kuli panggul musiman di ruko penjual sembako atau jadi cleaning service dadakan pernah ia jalani.
"Kau kuajak kerja di tempatku, Ulin,"Yanto mengutarakan kunjungannya. Sambil mengunyah penganan ringan yang disuguhi  ibu Ulinuha yang kebetulan baru pulang dari rumah sebelah. Ibu Ulinuha bekerja sebagai ART paruh waktu.
Yanto menunggu respons kawannya. "Oke, Yan, tapi ..." Bicaranya menggantung. "Maksudku sudah kau beritahu Bos kau itu,Yan?"Ulin terlihat ragu. Apalagi ia tak memiliki uang cukup untuk membelikan sebungkus Marlboro -- kebiasaan Yanto yang ia artikan sebagai balas jasa.